Oleh Ahmad Farisi
Judul: Ensiklopedia Khittah NU Jilid 1
Penulis : Nur Khaliq Ridwan
Penerbit: Diva Press, Jogjakarta
- Iklan -
Cetakan: April, 2020
Tebal: 458 halaman
ISBN: 978-602-391-967-3
Di kalangan masyarakat NU, istilah Khittah NU bukan barang asing lagi. Bahkan, istitlah ini sangat populer dan sering disebut-sebut dalam diskusi-diskusi ke-NU-an. Hal itu, disebabkan karena (Khittah NU 1926) merupakan sebuah garis besar ke-NU-an yang harus menjadi acuan dan rujukan bagi setiap gerakan sosial-keagamaan NU, baik di masa kinia ataupun di masa depan.
Dalam hukum kausalitas disebutkan,”tidak ada akibat jika tidak ada sebab”. Begitupun dengan Khittah NU, “takkan ada khittah NU jika tidak ada sesuatu yang melatarinya”. Berbicara soal latar atau sebab dari lahirnya Khittah NU, buku yang ditulis oleh Nur Khaliq Ridwan ini mencatatnya dengan cukup baik. Terdiri dari empat jilid dan, soal latar belakang dan sejarah lahirnya, dibahas pada jilid satu, tentunya.
(Dan, ulasan sederhana saya ini, untuk sementara juga akan fokus pada latar dan sejarahnya saja. Sementara, hal-hal lain yang juga berkaitan dengan Khittah NU, maka akan dibahas pada jilid buku berikutnya; kedua, ketiga dan keempat).
Secara garis besar, buku Nur Khaliq Ridwan ini menyebutkan lahirnya seruan kembali ke Khittah NU 1926, disebabkan karena adanya ketidakseimbangan gerakan pengurus NU dalam tubuh NU. Ketidakseimbangan gerakan pengurus itu, disebabkan karena kuatnya hasrat pengurus-pengurus NU kala itu untuk ikut andil dalam kancah politik nasional. Hal itu, karena bagi mereka dengan melalui jalur politik gerakan NU akan lebih maksimal. Pun, pada kenyataannya ada beberapa bagian pengurus yang tak mengamini gerakan di jalur politik itu.
Keinginan untuk ikut andil mendandani perkembangan politik nasional itu semakin mendapat angin segar pasca habisnya Statuta NU. Statuta NU, adalah semacam naskah pendek yang terdiri dari 13 pasal yang berisi nama organisasi dll. Dan, pada pasal 1 dienyebutkan tentang lamanya NU didirikan, yakni dalam kurun waktu 29 tahun. Jadi, jika NU dirikan hanya untuk keperluan dalam jangka waktu 29 tahun. Maka tahun 1955 adalah masa habisnya Statuta itu. Yang lantas menjadikan NU berubah menjadi partai politik, bertepatan dengan pemilihan umum (Pemilu) 1955 pertama yang diadakan pemerintah RI.
Singkat kata, setelah beberapa tahun NU menjadi partai politik sejak 1955, tepatnya pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta 13-18 Desember 1959, gagasan-gagasan agar NU kembali ke Khittah mulai disuarakan pengurus NU. Khususnya oleh KH. Achyat Chalimi, seorang juru bica PCNU Mojokerto. Menurut KH. Achyat, “peranan politik NU telah hilang dan peranan dipegang perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang”.
Oleh karena itu, di usulkan oleh KH. Achyat agar NU kembali ke Khittah 1926, yaitu sebagai organisasi keagamaan. Akan tetapi, situasi dan kondisi pada saat itu tidak cukup mendukung. Karena saat itu NU sedang getol-getolnya menjadi partai politik di tengah iklim sosial yang memang mengarahkan ke politik praktis. Apalagi, pada saat itu faktor politik dianggap sebagai faktor penting yang menjadi alat bagi setiap kelompok untuk memperjuangkan kepentingannya (hlm 34).
Menurut Greg Fealy, dalam Ijtihad Politik Ulama, gerakan Khittah NU adalah kritik untuk para elit politik NU yang menganggap bahwa politik membantu tercapinya tujuan keagamaan dan kemasyarakatan. Padahal, menurut para pro-Khittah NU, politik (salah satunya) telah menyebabkan pengurus NU mengabaikan peran sosial dan spritualnya terhadap umat.
Kemudian, pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo, gagasan kembali ke Khittah NU sebagai jam’iyah diniyah kembali disurakan oleh para pengusung ide tersebut. Namun nasibnya juga masih sama. Mengalami penentangan dan penolakan. Dalam Muktamar NU ke-25 di Surabaya, tahun 1971, gagasan kembali ke Khittah kembali muncul. Namun juga gagal seperti sebelum-sebelumnya.
Selanjutnya, pada Muktamar NN ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979) suasanya mulai berbeda. Gagasan kembali ke Khittah mulai mendapat tempatnya. Hal itu, disebabkan karena disetjuinya program yang bertujuan menghayati makna dan seruan kembali ke khittah juga memenuhi tekad intern dan memantapkan cakupan partisipasi NU secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.
Dan, kabar baiknya, menurut Nur Khaliq Ridwan, sebelum muktamar dimulai juga sudah beredar tulisan berjudul Khittah Nahdliyah karangan KH. Ahmad Siddiq yang sekaligus menjadi tulisan pertama yang memperkenalkan istilah “khittah” kepada publik. Akan tetapi, para muktamirin (peserta muktamar) tetap bersikukuh menginginkan NU tetap masuk politik, dengan memilih KH. Idam Chalid sebagai ketua umum PBNU.
Akan tetapi, meski pada Muktamar Semarang NU ini gagal lagi untuk kemabali ke khittah. Tetapi beberapa hal penting yang menjadi cikal-bakal suksesnya NU kembali ke khittah telah berhasil dirumuskan. Seperti adanya penetapan pengurus Dewan Syuriah NU sebagai pimpinan tertinggi yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan NU; dan juga adanya penetapan pengurus Tanfidziyah yang bertugas sebagai pelaksana sehari-hari NU yang berkewajiban melaporkan semua aktivatas NU kepada Dewan Syuriah. Pada saat bersamaan, juga ditetapkan sekurang-kurangnya dua tahun sekali pertemuan Munas Alim Ulama NU berkaitan dengan kedudukan Syuriah dalam kepemimpinan NU (hlm 36).
Dua tahun kemudian, pada 30 Agustus 1981 sampai 2 September 1981 di Kaliurang, Yogyakarta. Munas Alim Ulama NU mengadakan pertemuan pertamanya. Pertemuan perdana itu berhasil memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan soal yang belum selesai di muktamar sebelumnya. Dan juga diputuskan KH. Ali Maksum sebagai pengganti KH. Bisri Syansuri sebagai ketua Ra’is Am PBNU yang tengah berpulang keharibaan-Nya.
Satu tahun kemudian, setelah insiden 28 Mei 1982, para elite NU terpecah menjadi dua kubu: Kubu Situbondo dan Kubu Cipate. Kubu Situbondo kemudian berhasil mengegolkan Munas Alim Ulama NU pada tahun 1983 yang menghasilkan keputusan-keputusan penting. Hal itu adalah berupa dibentuknya Komisi Pemulihan Khittah NU 1926 yang dipimpin KH. Chamid Widjaya dengan sekretaris Sa’id Budairi (hlm50).
Melalui komisi ini, Munas Alim Ulama NU kemudian menghasilkan kesepakatan tentang Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, kedudukan ulama, hubungan NU dan politik dan makna Khittah NU 1926 (Deklarasi Situbondo). Hasil-hasil dari Munas ini kemudian ditetapkan sebagai hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dari mukatamar inilah kemudian dirumuskan bahwa NU kembali ke Khittah NU sebagai gerakan sosial-keagamaan, dan tidak lagi menjadi partai politik; tidak terikat dengan ormas dan partai politik manapun; serta membebaskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Wallahu ‘alam.
-Mahasiwa UIN Jogja