Oleh: Jamalul Muttaqin
Siapa yang tidak kenal dengan Kiai Ma’shum Lasem (1868), beliau adalah Ayahanda Kiai Ali Maksum, Krapyak. Sebagai sosok Kiai yang alim dan disegani banyak masyarakat, namanya masyhur di kalangan Nahdiyyin. Bagi masyarakat Rembang pada umumnya dan Lasem pada khususnya, eksistensi Kiai Ma’shum, telah menjadi oase individual bagi kelompok masyarakat.
Pendiri pondok pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah ini dikenal memiliki dedikasi yang tinggi terdahap masyarakat. Hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama untuk kaum proletar atau kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian terdahap masyarakat sebagai laku tarekatnya setiap waktu. Menurut Denys Lombard (1938), ahli sejarah terkenal, Mbah Ma’shum adalah seorang guru dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat Nasional namun dikenal ditingkat lokal, kematiannya pada tahun 1972/14 Robi’ul Awal 11392 H menimbulkan guncangan hebat untuk kelompok masyarakat kelas bawah khususnya masyarakat Nahdiyyin.
Sosok Mbah Ma’shum adalah satu dari beberapa Kiai yang memiliki panggilan khas binatang jantan perkasa “Ayam Jago”. Nama itu diperoleh langsung dari sang guru, Mbah Kholil Bangkalan, Madura. Panggilan itu menandakan kegigihan seorang Kiai Ma’shum yang digambarkan sebagai petarung jantan untuk menolong masyarakat terbelakang. Ia tidak pernah segan menolong masyarakat yang membutuhkan meskipun harus mengorbankan dirinya.
- Iklan -
Bukti sebagai kiai yang sangat peduli terhadap umat adalah ia memberikan contoh dalam mendidik keluarga yang baik. Hal itu bisa dilihat bagaiman Kiai Ma’shum Lasem bisa melahirkan anak yang sangat hebat, cerdas, dan visioner. Itu terlihat dari anak yang dilahirkan oleh istri yang kedua yaitu Nyai Nuriyah, putranya sebagai tokoh sekaligus kiai terkenal yang pernah menjadi ketua Syuriyah di NU serta melahirkan murid-murid yang hebat seperti Gus Dur dan Gus Mus. Semua tidak lepas dari pendidikan kedua orang tuanya.
Memikirkan kemaslahatan umat adalah hal yang paling wajib untuk Kiai Ma’shum inplementasikan dalam laku hidup kesehariannya, hal itu biasanya banyak disampaikan oleh para santri, salah satunya pernah disampaikan oleh cerita santri yang bernama Abrori Akhwan, pesan-pesan yang disampaikan oleh Kiai Ma’shum Lasem adalah praktek mulia dalam Islam, saling tolong menolong atau membantu orang lain yang membutuhkan, karena menurut Kiai Ma’shum Lasem ibadah seperti zdikir nilainya adalah sosial. “Sosok kiai tidak hanya memakai peji, sorban, dan haji. Berdzikir kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti menolong atau mengajar.”
Tidak banyak memnag yang menulis biografi Kiai Ma’shum Lasem, menjadi kesulitan setiap para pemerhati sejarah untuk menuliskan tentang beliau. Kebanyakan cerita-cerita disampaikan secara lisan dari pasa santri dan masyarakat Rembang, terutama yang berkaitan dengan karomah-karomah Kiai Ma’shum Lasem. Selain itu, ada hal yang jarang sekali diketahui oleh masyarakat bahwa, Kiai Ma’shum Lasem, sudah sejak muda telah menjalankan kehidupan secara sederhana atau dalam tasawuf dikenal dengan istilah zuhud. Beliau bahkan sempat berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak jarang membantu orang lain. Sebelum ahkirnya setelah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Kiai Ma’shum Lasem berhenti dan membaktikan seluruh hidupnya untuk mengajar ummat. Semangat mengaji, mengajar, dan menolong itulah yang harus menjadi contoh untuk peradaban kehidupan masa depan masyarakat Indonesia.
Mencari Falsafah Kemerdekaan
Apa makna dari kata merdeka dalam konteks yang lebih luas? Merdeka artinya memiliki eksistensi dengan dirinya sendiri, tidak terbelenggu oleh orang lain. Penjajahan Belanda dan Jepang telah membuat masyarakat Indonesia tidak eksis dengan dirinya sendiri. Saat itulah ruh dan spirit untuk merdeka berkobar-kobar diluapkan dengan bentuk tindakan, ide-ide, dan perlawanan yang konkrit.
Semangat penindasan terhadap rakyat jelata adalah semangat penjajahan, disadari atau tidak, praktek demikian banyak dijumpai di Indonesia. Perlakuan hukum yang tidak proporsional antara masyarakat kecil dan kaum elite. Keadilan belum sepenuhnya bisa diteguk untuk masyarakat Indonesia, karena banyak kasus-kasus hukum yang berat sebelah, bahkan parahnya ketidak keadilan selalu dipertontonkan ke publik dengan wajah tanpa bersalah. Seakan-akan bangga.
Spirit yang dibawa oleh Mbah Ma’shum Lasem adalah spirit kemerdekaan untuk masyarakat kelas bawah. Perjuangan beliau dalam bidang sosial tidak bisa diragukan, ia tidak pernah membeda-bedakan hanya karena status sosial, itu sangat masyhur di kalangan masyarakat Nahdiyyin bahwa Kiai Ma’shum memiliki kedekatan dengan orang Tionghoa karena sebuah pengaduan seorang Tionghoa atas kasus pencurian yang menyangkut hak kemanusiaan. Mbah Ma’shum tetap membela karena menyangkut hak dan kewajiban orang lain.
Keterlibatannya dalam sosial kemasyarakat juga dibuktikan ketika mendirikan Nahdatul Ulama’. Bahkan dalam bidang politik beliau memiliki perhatian yang sangat besar, hal itu tercermin saat Mbah Ma’shum Lasem ikut menjadi kabinet Sastro Amijoyo (1955). Ketika terjadi pemberontakan G30 PKI maka Mbah Ma’shum menggunakan kediamnya sebagai markas untuk mengatur strategi melawan PKI.
Perlawanan demikian secara tegas ingin mengajarkan terhadap masyarakat dalam memegang prinsip dengan nilai nasionalisme yang tinggi, kecintaannya terhadap masyarakat kecil (baca: masyarakat tertindas) menjadi satu contoh spirit pembebasan yang lahir dari para ulama dan cendirikiawan. Perjuangan di bidang yang lain adalah untuk mencari makna hidup utuk diberikan terhadap masyarakat yang membutuhkan, untuk masyarakat yang lebih luas, untuk sebuah kemerdekaan yang hakiki baik dari penindasan kaum borjuis, pemerintah dan masyarakat asing. Wallahua’lam..
–Jamalul Muttaqin, Mahasiswa Magister UIN Sunan Kaliijaga, Pengajar di SMP-SMA Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta.