Oleh: Naila Zulfa
Maryam pulang ke rumah dengan baju basah kuyup. Hujan lebat mengguyur saat perjalanan. Meski tak membawa jas hujan, ia tetap menerobos. Tak peduli hujan yang menderas dan petir yang menyambar.
Sesampai di rumah, tak ada seorang pun yang menyambutnya. Seluruh penjuru rumah sudah ia geledah. Suaminya baru akan pulang nanti sekitar jam sepuluh malam. Anak-anaknya yang sedari tadi menjadi alasan ia menerobos hujan pun tak tampak batang hidungnya.
Jam menunjukkan pukul lima sore. Mungkin anak-anak masih di madrasah diniah, pikir Maryam. Namun dengan kondisi hujan seperti ini, ia sendiri tidak yakin. Dengan langkah cepat, ia berganti pakaian, mengambil payung dan beranjak keluar, kemudian mengetuk pintu rumah tetangga sebelah. Entah karena suara air hujan lebih keras dibanding salam dan ketukannnya, pemilik rumah tak kunjung membukakan pintu. Maryam tetap bergeming, menanti.
- Iklan -
Tak lama, Yu Endah, tetangga sebelah yang ia tuju justru tampak datang dari arah jalan dengan payung yang terkembang, menghalau tetesan air hujan.
“Lho, Yu, aku kira Njenengan di rumah. Hujan-hujan begini dari mana, Yu?” sapa Maryam ramah sembari menjabat tangan Yu Endah. Sepertinya mereka lupa jika sekarang masih mewabah virus Covid-19 dan harus menjaga jarak, tak perlu ada jabat tangan apalagi cipika-cipiki.
“Aku nyari Bayu, dari tadi tidak kelihatan. Padahal hujan lebat begini,” keluh Yu Endah sambil membuka pintu dan menyilakan Maryam untuk masuk. Bayu adalah anak Yu Endah yang sepantar dengan anak sulung Maryam, Farhan.
“Bayu juga tidak di rumah, Yu?” Maryam membuang napas. “Jangan-jangan main sama Farhan dan Farid?”
“Mereka juga tidak ada di rumah tho, Yam?” kali ini, Yu Endah kaget dengan pernyataan Maryam.
“Iya, makanya aku ke sini mau nanya ke Yu Endah. Kebetulan aku baru pulang kerja, rumah sepi sekali,” jelas Maryam.
“Kira-kira mereka main ke mana ya? Aku sudah mencari ke beberapa temannya di sekitar sini, tapi teman-teman mereka semua di rumah sedang asik main HP,” terang Yu Endah yang masih berdiri di depan pintu, berhadapan dengan Maryam, belum masuk ke dalam rumah meski cipratan hujan membasahi mereka.
Mereka berdua terdiam, sejenak hening, memikirkan berbagai kemungkinan di benak masing-masing.
“Ya sudah Yu, aku coba telepon beberapa temannya. Aku pamit pulang dulu, soalnya HP-ku di rumah. Nanti kalau ada info, tolong saling kabar-kabar ya, Yu,” Maryam memecah keheningan kemudian pamit pulang.
Sesampai di rumah, ia bergegas mencari telepon genggamnya. Maryam sebenarnya lapar sekali. Apalagi tadi saing ia hanya makan lontong dan gorengan. Ia ingin makan, tapi pikirannya masih cemas karena hari makin sore, hujan lebat disertai petir, namun Farhan dan Farid belum juga kembali. Tiba-tiba suara telepon Maryam berbunyi.
“Halo, Bu. Sudah di rumah?” suara suaminya tidak begitu jelas terdengar. Sepertinya karena efek hujan, jadi sinyalnya timbul tenggelam.
“Halo, gimana, Pak? Suaranya kemresek, tidak begitu jelas.”
“Sebentar, Bu. Bapak pindah keluar dulu, biar lebih jelas.”
“Halo, sudah jelas?”
“Iya, sudah.”
“Ibu sudah di rumah?” suami Maryam mengulang kembali pertanyaannya.
“Iya Pak, ibu sudah di rumah, ini lagi nyari Farhan dan Farid, jam segini mereka tidak di rumah, padahal hujan lebat.”
“Kalau Farid, tadi pamit ke bapak, katanya dia mau main di rumah buleknya sepulang madrasah diniah. Coba Ibu telepon, pastikan Farid di sana atau tidak. Kalau Farhan tadi berangkat ke madrasah diniah sambil uring-uringan, minta dibelikan HP.”
“Hp lagi, HP lagi. Bosan ibu mendengar rengekan Farhan, Pak,” sungut Maryam.
“Namanya juga bocah, Bu, permintaannya belum dituruti ya begitu. Sudah, nggak usah dipikir, lebih baik segera telepon memastikan Farid di rumah buleknya atau tidak.”
“Oke, Pak, habis ini ibu telepon untuk memastikan. Farhan kira-kira di mana ya Pak? Ibu pusing kalau anak-anak sudah sore belum pulang. Sudah dikasih tahu berulang kali masih saja seperti ini. Mana hujan gede banget, sebel kan jadinya. Ya Allah mudah-mudahan anak-anak kita jadi anak yang saleh.” Maryam masih mengomel panjang, namun tetap diakhiri dengan doa baik untuk anak-anaknya. Suaminya hanya diam mendengarkan.
“Pak, kok diam saja?”
“Iya, bapak kan mendengarkan ibu.”
“Bapak sekarang di mana? Tadi berangkat jam berapa?” tanya Maryam sebelum menyudahi teleponnya.
“Bapak tadi berangkat sekitar jam dua, setelah anak-anak berangkat sekolah madrasah, sekarang di masjid, Bu.”
“Ya sudah, hati-hati ya, Pak.”
“Jangan lupa makan ya, Bu. Biar tetap sehat dan cantik.” Maryam tersenyum mendengar ucapan suaminya. Hatinya berbunga-bunga, sedikit mengobati keresahannya mencari anak-anak. Perhatian-perhatian kecil seperti ini membuat hubungan mereka tetap awet meski berbagai masalah dan rintangan membentang.
***
Sudah lima tahun ini Maryam bekerja menjadi buruh pabrik garmen di kotanya. Berkat keahliannya menjahit, ia diterima meski usianya tak bisa dibilang muda lagi. Satu tahun setelah Maryam resmi menjadi karyawan, suaminya mendaftar menjadi pengemudi ojek online saat aplikasi tersebut mulai menjamah daerahnya. Penantian suaminya selama dua tahun ini menganggur berakhir sudah. Sayangnya penghasilan suaminya masih tak menentu, bisa sehari sangat tinggi bisa juga nihil sama sekali. Apalagi saat pandemi seperti ini, kadang seharian tak ada satu pun yang menggunakan jasa suaminya, meski hanya jasa antar makanan. Mungkin masyarakat memilih berhemat dengan kondisi yang tidak pasti.
Jika boleh memilih, Maryam ingin sekali berhenti bekerja dan menjaga anak-anaknya. Menjadi madrasah utama untuk mereka. Namun, apalah daya, dapur harus tetap mengepul, uang saku anak-anak harus tersedia, biaya sekolah, dan kebutuhan hidup lain yang kian hari kian mencekik mengharuskannya ikut membantu perekonomian keluarga.
Saat Farhan baru berusia lima tahun dan Farid berusia tiga tahun, tepatnya lima tahun lalu, suaminya terkena PHK. Perusahaan tempat suaminya bekerja dulu adalah perusahaan padat karya, yang terpaksa gulung tikar karena tak mampu mengimbangi laju kenaikan UMK yang begitu tinggi di kota industri. Beberapa perusahan sejenis bahkan relokasi ke daerah-daerah dengan UMK yang jauh lebih rendah. Tentu saja tujuannya untuk mengurangi beban biaya tenaga kerja.
Dengan status suami pengangguran, mau tak mau mereka harus kembali ke kota kelahiran untuk melanjutkan hidup yang lebih sederhana. Meninggalkan kota industri tempat selama ini mereka bernaung dan mengais rezeki. Uang pesangon yang tak seberapa mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Waktu bergulir, sayangnya setahun berupaya, pintu rezeki belum juga terbuka untuk suaminya. Hingga akhirnya melalui tangan Maryam lah pintu itu terbuka.
Seolah terbalik, Maryam yang seharusnya menjadi tulang rusuk bertukar posisi menjadi tulang punggung keluarga. Berangkat pagi pulang sore. Suami untuk sementara waktu bertugas menjaga anak-anak. Apa pun keadaannya Maryam jarang sekali mengeluh. Satu-satunya yang ia risaukan hanyalah terkait dua anaknya. Ia takut sekali anak-anaknya kekurangan kasih sayang dan perhatian darinya sehingga pergaulannya tak terkontrol. Apalagi setelah suaminya kembali bekerja–menjadi tukang ojek online. Kekhawatirannya makin dalam. Namun, bagi Maryam, selalu ada hal yang bisa disyukuri dari keadaan sesulit apa pun. Ia tak ingin mengingkari nikmat Allah, meski secuil.
Pekerjaan suaminya tak terbatas waktu. Bisa berangkat kapan pun menyesuaikan keadaan. Syukur itu terus ia panjatkan. Semuanya bisa dikompromikan. Suaminya juga sangat menyenangkan dan pengertian diajak kerja sama, dalam segala urusan, termasuk urusan domestik sekali pun. Tapi, yang ia hadapi kini tak sesederhana yang ia bayangkan. Di usia anak pertamanya yang menjelang remaja, justru lingkungan dan pergaulan yang sangat ia risaukan. Ancaman terdekatnya adalah telepon genggam dengan kebebasan akses internetnya yang luar biasa. Ditambah lagi warung play station yang kini juga masuk ke desanya. Dan… semangat serta konsistensi anak-anaknya berangkat madrasah diniah yang masih naik turun.
Baginya, madrasah diniah adalah pilar utama, yang kelak menjadi pondasi anak-anaknya menapaki hidup sesuai syariat. Di madrasah diniah, anak-anak bisa belajar fikih harian dari mulai mengenal najis serta mensucikannya, halal haram, tata cara salat, sampai urusan hak dan tangung jawab suami istri dalam rumah tangga. Ia ingat, pengetahuan semacam itu ia terima dari ustaz dan ustazah di madrasah melalui kitab-kitab yang dikaji. Selain itu, di madrasah diniah ia juga belajar pokok-pokok akidah, meski dasar saja seperti, aqoid seket, dulu ia getol sekali menghafalkannya.
***
Maryam menyelonjorkan kakinya. Merebah sejenak. Beberapa nomor telepon telah ia hubungi, tapi belum ada perkembangan di mana posisi Farhan. Farid sudah ia pastikan ada di rumah adik suaminya, setidaknya beban pikirannya fokus di mana Farhan saat ini.
Azan magrib sebentar lagi berkumandang. Hujan yang sedari tadi membasahi, kini mulai mereda. Tinggal gerimis kecil yang tersisa. Teleponnya berdering kembali, dari Yu Endah.
“Yam, alhamdulillah Bayu sudah pulang. Tapi katanya ia nggak main sama Farhan,” seru Yu Endah.
“Bayu main di mana tadi katanya, Yu?”
“Tadi main di warung PS ujung desa, mau pulang katanya takut karena ada petir.”
“Minta tolong tanyakan ke Bayu, terakhir lihat Farhan di mana ya, Yu?”
“Tadi sudah aku tanyakan, Yam. Kata Bayu terakhir bareng Farhan pas pulang sekolah, habis itu nggak main bareng lagi.”
“Pulang sekolah atau pulang madrasah, ya?” di desa Maryam, meski saat ini masih pandemi, madrasah diniah tetap berjalan seperti biasa namun dengan protokol kesehatan. Mulai aktif kembali setelah status new normal beberapa bulan lalu. Keputusan tersebut disambut baik oleh masyarakat. Untuk sekolah formal, saat ini masih belum aktif. Para siswa berangkat hanya untuk mengambil dan mengumpulkan tugas, termasuk Farhan.
“Pulang sekolah, Yam. Bayu beberapa hari ini nggak mau sekolah madrasah. Kerjaannya kalau nggak main PS ya main HP.”
“Oh, ya sudah. Terima kasih sudah mengabari ya, Yu. aku mau lanjut cari Farhan. Assalamualaikum.”
Percakapannya dengan Yu Endah membuatnya semakin blingsatan. Pikirannya kalut. Apa mungkin Farhan main PS di desa sebelah? Agar tidak ketahuan? Apa selama ini ia terlalu mengekang? Apa keputusannya tidak memfasilitasi anaknya dengan HP sudah tepat? Bukankah Farhan memang belum membutuhkan telepon pintar, usianya baru 10 tahun. Namun… hampir semua temannya sudah mendapat fasilitas HP, tapi ia baru kelas 5 SD. Berbagai hal berkelindan di otak Maryam.
Azan berkumandang. Farhan belum juga kembali. Rencananya jika Farhan pulang, akan diajaknya menjemput Farid di rumah adik iparnya. Karena belum juga ada tanda-tanda kedatangan Farhan. Maryam beranjak untuk menunaikan salat magrib.
Usai salat, Maryam kembali ke ruang tamu. Tapi ia merasa ada yang aneh. semua lampu tiba-tiba mati. Ia merasa tidak mematikannya, pun tidak mati lampu. Saat ia hendak mengecek ke sakelar, suara gaduh pun bersahutan bersamaan dengan lampu yang dinyalakan.
“Selamat ulang tahun, Ibu…,” Farhan, Farid, Bapak beserta dengan para keponakan dan adik iparnya memberikan kejutan yang benar-benar di luar dugaan. Satu tampah nasi tumpeng sederhana tersaji di meja, lengkap dengan tumpukan kado di sebelahnya.
Mabruk alfa mabruk, alaiki mabruk.
Mabruk alfa mabruk, yaummiladik mabruk.
Mabruk alfa mabruk, alaiki mabruk.
Lantunan lagu yang bermakna doa terucap dari bibir mereka, menggema di seluruh ruangan. Seumur hidupnya, Maryam tak pernah mengingat perihal hari ulang tahunnya. Ia bahkan tadi berprasangka buruk pada anak sulungnya. Tanpa disadari, air matanya tumpah ruah mengaliri pipinya yang masih basah dengan sisa-sisa air wudu. Kali ini ia sungguh terharu. Betapa Allah menyayanginya dengan menghadirkan keluarga yang sehangat ini. (*)
*NAILA ZULFA, ibu pembelajar sekaligus buruh pabrik yang mencintai dunia aksara. Pegiat literasi di Komunitas ODOP. Santrinya almaghfurlah Abah Yai Masruri Abdul Mughni, Pondok Pesantren Al-hikmah Benda, Brebes. Domisili saat ini di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Twist di ending, keren.