Oleh Hamidulloh Ibda
Dalam artikel ilmiah, khususnya tugas akademik seperti tugas akhir (D3), skripsi (S1), tesis (S2), disertasi (S3), atau artikel ilmiah publikasi di jurnal, prosiding seminar, best practice, yang namanya menyadur pendapat, temuan, data, atau tulisan pribadi itu dibatasi. Bahkah, haram dan dilarang. Padahal, pendapat-pendapatnya sendiri. Mbuh, kenopo?
Saya dulu awalnya juga tak terlalu paham, bahwa author guidelines, pedoman penulisan, atau kaidah selingkung penulisan artikel ilmiah sekaku, sedetail, dan seketat itu. “Namanya juga karya tulis ilmiah,” kata dosen begitu.
Lima tahun kurang saya mendalami dunia artikel ilmiah terhitung sejak 2016. Awalnya ya jengkel, karena ribet, bertele-tele, repetitif, menuruti masukan reviewer, dan membosankan. Maklum, saya pribadi berangkat dari hobi dan kebiasaan menulis artikel/esai populer sejak menjadi mahasiswa tahun 2008 silam.
- Iklan -
Saya nyemplung di dunia artikel ilmiah ya sejak 2013 kala masuk S2. Awalnya memang agak malas, karena kebiasaan menulis opini dengan narasi bebas, kalau menulis artikel ilmiah harus ada aturan penulisan, juga rujukan. Itu pun bervariasi. Harus ada buku, hasil riset terbaru, jurnal bereputasi minimal terindeks Sinta, Scopus, Thomson Reuters, atau Web of Science.
Merujuk pun banyak aturannya. Mulai disarankan memakai aplikasi Manajemen Referensi seperti Mendeley, Zotero, dan lainnya. Selain itu juga literatur yang kita sadur tak boleh lebih dari sepuluh atau lima tahun terakhir, kecuali kitab-kitab atau buku-buku babon.
Mazhab Plagiasi
Plagiat, plagiarisme, jiplak-menjiplak, juga bermacam-macam mahzab, tapi harus dihindari. Ada plagiasi, duplikasi, fabrikasi, falsifikasi. Ditambah, dalam artikel ilmiah khususnya yang dipublikasikan jurnal lmiah atau prosiding seminar ada istilah similarity alias tingkat kesamaan tulisan dengan yang ada di internet.
Khususnya, artikel di blog, media siber, jurnal ilmiah. Meski kita memiliki buku aslinya, lalu kita menyadur, tapi ketika kata, frasa, kalimat, sampai paragraf, kita juga kena hukum similarity. Secara umum, similarity diperbolehkan di bawah 25-30 persen dari total artikel kita.
Ini sangat susah. Sebab, kita harus lolos seleksi aplikasi deteksi plagiasi seperti Turnitin, Grammarly, Plagiarism Checker, dan lainnya. Meski menyadur dari buku cetak, tapi kok kutipan itu sudah ada di internet, maka ya tetap plagiasi namanya. Atau tepatnya itu similarity.
Lalu, kalau menyadur karya sendiri bagaimana? Termasuk plagiat atau tidak? Mari kita urai masalah ini.
Self Plagiarism
Apakah merujuk karya sendiri itu plagiat? Pertanyaan ini pernah muncul saat mengajar mata kuliah Karya Tulis Ilmiah. Saya menjawab, itu bagian dari self plagiarism. Bisa saya sebut, swaplagiat.
Uniknya, saya bilang unik ya, ketika menyadur atau menyitasi artikel, data, atau buku karya diri sendiri juga ada aturan. Bahkan, ihwal self plagiarism ini sudah diregulasikan.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 yang mengatur tentang hak cipta mengerem segala bentuk plagiasi sesuai mazhab di atas. Sementara secara khusus, self plagiarism diatur Permendiknas No 17/2010, yang di dalamnya menyebut nomenklatur ”auto-plagiat” atau bisa disebut self-plagiarism.
Self plagiarism, sepaham saya intinya sebuah tindakan menyadur atau menyitasi karya sendiri dalam bentuk artikel, data, atau sekadar kutipan satu dua paragraf bahkan identik tanpa ada proses parafrasa.
Beberapa pakar yang saya temui, mendebatkan ihwal self plagiarism. Pendapat pertama memperbolehkan, karena bukan tindakan mencuri pendapat atau data orang lain. Bahkan, menyadur karya sendiri justru dapat mendukung pendapat sendiri ketika sesuai state of the art of research. Tujuannya banyak, salah satunya menaikkan jumlah sitasi di Google Scholar.
Pendapat kedua justru sebaliknya. Self plagiarism tergolong plagiat dan tidak diperbolehkan meski karya sendiri. Sebab, alasannya karena tidak objektif, malas mencari referensi lain, dan termasuk jalan pintas menaikkan jumlah sitasi di Google Scholar yang tidak tergolong organik, natural atau alamiah.
Kelemahan dan kelebihan penulis ilmiah salah satunya soal self plagiarism. Artinya, menyadur karya pribadi tergolong plagiasi karena dinilai tidak ada novelty lagi, karena hanya pengulangan temuan saja.
Tapi, saya pribadi dulu awal-awal juga tidak tahu. Sebab, saya menemukan beberapa guru besar dan doktor juga kebanyakan menyadur artikel ilmiahnya sendiri. Mungkin saja karena alasan menaikkan jumlah sitasi di Google Scholar, atau menjaga kepakaran sesuai genre atau tema tulisan, atau terpaksa menyadur karena tidak ada artikel lain, atau juga lantaran malas.
Maka solusinya, lebih baik menyadur karya orang lain. Itu sih. Sebab, beberapa reviewer dan editor jurnal juga menyarankan hindari self plagiarism, karena ketika kita submit di jurnal yang sudah Scopus akan ditolak. Lebih banyak ditolak karena dianggap self plagiarism juga artikel kita disebut sebagai artikel yang referensinya lemah.
Berikutnya, lebih baik menyadur artikel ilmiah pada jurnal yang kita tuju. Selama ini sudah ada aturan itu tertulis di author guideline yang mewajibkan setiap author yang akan submit di jurnal X, maka ia harus menyadur beberapa artikel yang sudah dimuat di sana.
Perlu juga author menguatkan tradisi membaca. Kelemahan penulis itu malas membaca, khususnya temuan atau artikel baru yang mendukung artikel yang ia tulis.
Masalahnya, tidak semua akademisi tahu hukum atau aturan self plagiarism. Dorongan dan kebutuhan pengisian borang akreditasi, gengsi sitasi di Google Scholar yang tinggi menjadi alasan untuk melakukan self plagiarism.
Rata-rata pelaku self plagiarism itu yang artikelnya banyak. Ketika tidak punya artikel di jurnal ber OJS, kok melakukan self plagiarism, la yang diplagiasi itu artikelnya siapa? Ini yang aneh bin ajaib.
Saran saya, hindari self plagiarism dengan menyadur artikel orang lain. Atau, kita sadur artikel teman-teman kita sekampus kalau orientasi kenaikan jumlah sitasi di Google Scholar. Hal itu justru lebih aman.
Masalahnya, ada tiga tipe dosen yang saya temui. Pertama, pemalas menulis sehingga ia tidak tahu dunia itu dan tak mungkin melakukan self plagiarism. Kedua, produktif menulis tapi menghalalkan segala cara agar cepat dan jumlah sitasi di Google Scholar naik. Ketiga, produktif menulis dan taat pada aturan. Nah, Anda yang mana?
Baca selengkapnya esai-esai Hamidulloh Ibda.