SUWUK GUS MUS
— di masa Corona
sempurnakanlah wudlu
kau aku akan terbasuh dari rasa rusuh
lantaran air merekam doa dan kebaikan
seperti langit merekam bumi: selepas subuh
dan sebelum matahari terbit
lidah hati kau aku mewirid
dan di batas senja dan malam
kembali suara syair itu berdesir
“Bismillaahilladzi laa yadhurru ma’asmiHi syai-un
fil ardhi walaa fissamaa-i waHua s-Samii’ul ‘Aliim”
dan bila kau aku ke luar rumah
jiwa pecinta tetaplah tinggal di dalam rumah
hati yang selalu ingin bernyanyi indah
“yaa Salaam yaa Hafiizh yaa Maani’u yaa Dhaarru”
bershalawatlah suara semesta
bershalawatlah para malaikat
bershalawatlah bibir kau aku yang
gemetar ketika disebut Nama Maha Kekasih
seperti mawarmawar merekah
petiklah wanginya sebagai hikmah
seluruh darah hingga ruh
menolak bala hingga pagebluk megat ruh
“Allahumma innaa nas’aluKa al-‘afwa wal-‘aafiata
wal mu’aafata fiddiini waddunyaa wal aakhirah”
aamiin
yogyakarta, 19 maret 2020
JUM’AT CALL DARI GUS MUS
galilah tanahmu hingga mataair
untuk airmata takjub kalbu kau aku
serupa musa di bukit tursina
membaca semesta yang maha
ulurkan tangan dengan cinta
senyum sang nabi menafasi hari
- Iklan -
yogyakarta, 6 september 2013
GUS DUR BERWAJAH CINTA
berkatalah dengan bahasa
tetapi ia akan berhenti kepada suatu jalan
dan kebingungan kemanakah arah
pulang?
kau aku tersesat di sebuah muara
ada banyak sungai bertemu
dan lautan maha luas menambah
hilangnya semua arah
kau aku di muara itu
bertemu dengan seorang yang
bergantiganti wajah
dia pembela kaum tertindas
dia pendukung kaum minoritas
dia yang humanis
yang pluralis
yang nasionalis
dia sangat kritis
dia yang demokrat sejati
yang kontroversi
yang sulit dipahami
dia yang nyeleneh
tetapi dia juga sederhana
lalu kau aku diajaklah berjalan
menyusuri tepian pantai
lalu kau aku tampaklah heran
mengapa tidak ada ikan?
yang ada justru bunga dan taman
di tengahnya jalan sunyi para kekasih
di ujungnya ada sebuah hati yang
bernama Sinta Nuria
lalu kau aku diajaklah berjalan
menyusuri tepian pantai
lalu kau aku bertambah heran
dari manapun kau aku pulang memandang
Gus Dur berwajah cinta
yogyakarta, 23 juli 2001
23 juli 2016
ZIARAH SUNAN PANDANARAN
– Tembayat, Klaten –
Tercatat sejarah : tepat di puncak Gunung Jabalkat
Entah jin ataukah malaikat
Perlahan membawa mereka mendarat
Seorang guru dan muridnya, keduanya makrifat
Tetapi tidak! Para kekasih tak perlu sayap untuk terbang
Dari satu tempat ke waktu, dari waktu ke tempat-tempat
Cukuplah mereka memusatkan niat
Selebihnya Allah yang menentu waktu dan ruang
Tepat di puncak Gunung Jabalkat
Tanpa tangga-tangga, sampailah makrifat
Tanpa tangga-tangga, namanya menjadi penerang
Selama hayat disebut-sebut “Sunan Padhang Aran”
Nama yang menjadi penerang
Melewati sang Adipati Semarang
Nama yang menjadi penenang
Di detak-detak jantungnya mewiridkan Yang
Maha Penerang Yang
Maha Penenang
Allah ….
Ya, para kekasih tak perlu sayap untuk terbang
Ya, para kekasih tanpa tangga-tangga untuk sampai
Di Gunung Jabalkat, menapaki tangga demi tangga
Para peziarah sepertiku masih juga mencari-cari arah kiblat
11 Agustus 2009
ZIARAH MAULANA MAGHRIBI
– Parangtritis –
berapa tangga lagi agar sampai padamu, kanjeng maulana?
di tiap tangga ini masih basah jejak air wudlumu
aku pun meniru caramu membasuh wajah
barangkali saja dengan air yang sama
di tangga-tangga ini antara ada tiada, terdengar
al-qur’an dilagukan dalam langgam jawa
padahal engkau hadir dari arah matahari farisi
engkau mulyakan orang di sini
dengan sapaan santri dan kiai
samasekali tak ada tanda-tanda maghribi di tanah ini
selain hurup-hurup al-qur’an
bahkan tempat tidurmu pun amatlah jawa
yang tinggal cumalah sebutan “kanjeng maulana”
di perbukitan kapur selatan ini
masih berjaga doa-doamu, sehingga amarah samodra
luruh sampai di pantai, sehingga parangtritis jadi
pagar bumi bagi yogya
kanjeng maulana
berapa tangga lagi agar sampai padamu?
di puncak itu, tak kujumpa anakcucumu
selain aura doamu, sunyi itulah yang bertahta
26 Juli 2009
*Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan lulus Program Studi Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (15/1/2019).
Buku-buku karya Achid : (1) Buku puisi, Rumah Cahaya (1995). (2) Buku esai, Sastra Melawan Slogan (2000). (3) Buku kajian sastra, Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). (4) Buku puisi, Ijinkan Aku Mencintaimu (2002). (5) Buku puisi, Tunjammu Kekasih (2003). (6) Buku puisi, Beribu Rindu Kekasihku (2004). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (2005). (9) Buku kajian sastra dan tasawuf, Gandrung Cinta (2008). (10) Buku kajian sastra, Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron (2009). (11) Buku puisi, Yang (2011). (12) Buku puisi, Kepayang (2012). (13) Buku puisi, Hyang (2014). (14) Buku puisi, Nun (2017). (15) Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus, Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020).