Oleh Syukur Budiardjo
Pepatah Arab mengatakan bahwa buku merupakan teman setia ketika duduk. Ini berarti bahwa buku dapat menjadi sahabat siapa pun dan kapan pun. Pada saatnya memang buku merupakan satu-satunya sumber informasi, rekreasi, dan edukasi yang tidak tersaingi oleh benda apa pun.
Buku merupakan produk manusia yang sarat dengan vitamin rohani, sarana untuk melakukan wisata jiwa, dan memberikan asupan nyamikan batin. Selain itu, dengan buku terbukalah alam semesta dan seisinya ini karena — seperti disebut oleh banyak orang – buku merupakan “jendela dunia”.
Buku juga merupakan produk kebudayaan dan intelektualitas yang penting. Sebab buku merupakan salah satu sarana utama belajar memahami segalanya di kancah kehidupan yang hingar-bingar, kompetitif, terbuka, dan sarat dinamika ini.
- Iklan -
Gempuran Handphone
Teman duduk dan berdiri itu sekarang handphone atau smartphone. Tak lagi buku. Tak lagi surat kabar dan majalah. Orang-orang tak lagi berkutat dengan media cetak. Namun, intim dan merasakan kenikmatan ketika bercumbu dengan media sosial. Ketergantungan pada media sosial sudah tak bisa lagi dilepaskan.
Pada saat ini, pepatah Arab seperti sudah disinggung di muka, tergusur dan tergeser oleh slogan baru. “Handphone merupakan teman setia ketika duduk, berdiri, atau berbaring.” Ini tentu saja secara kasat mata telah menempelak penggalakan kegiatan membaca dan menulis melalui dan dengan buku. Buku dilihat dengan “sebelah mata”.
Buku kini benar-benar dalam gempuran telepon genggam atau handphone. Sebab, siapa pun lebih menyukai handphone daripada menyukai buku. Para pelajar dan mahasiwa sebagai kaum terdidik dan terpelajar pun malas membaca buku, tetapi rajin menyentuh handphone. Sebab, kecanduan menggunakan handphone, sistem sensor dan kognitif para pelajar dan mahasiswa itu telah berubah.
Ungkapan buku sebagai teman duduk yang paling mengasyikkan bagi semua orang, kini telah terdistorsi oleh kehadiran handphone. Ini bermetamorfosis menjadi handphone sebagai teman duduk, berdiri, bersandar, selonjoran, dan tidur-tiduran yang paling mengasyikkan di segala tempat dan pada segala waktu.
Pemandangan orang membaca buku atau koran di dalam kereta kini sulit kita temukan. Sebab, orang-orang lebih merasa nikmat membaca melalui telepon genggam. Ketika handphone tak mudah didapat, para penumpang kereta rel listrik Bogor-Jakarta masih terlihat membaca buku, surat kabar, dan majalah meskipun berdiri. Sekarang ini, ketika handphone mudah didapat, para penumpang Kereta Api Commuterline (KCL) Bogor-Jakarta mayoritas memegang handphone. Mereka asyik menarikan jari-jarinya meskipun berdiri.
Kini buku yang menjadi “soko guru” dunia literasi itu, tersaingi oleh berbagai perangkat digital canggih, seperti laptop, handphone, smartphone, dan gawai. Padahal, pembacaan hiperteks – membaca melalui layar komputer – menurut Bre Redana dalam artikel “Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir” (Kompas, 3 Mei 2015) berbeda prosesnya di otak dibanding dengan pembacaan linier – membaca buku.
Selain tidak fokus pada satu hal, pada pembacaan hiperteks sistem sensor dan kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Namun, kebiasaan membaca buku selain sangat menunjang dunia literasi juga dapat menyelamatkan otak.
Internet mampu menyaingi kedigdayaan buku. Google, Youtube, Facebook, dan Instagram pada saat ini telah menyihir siapa pun. Telepon genggam nan cerdas dengan segala fasilitas dan aplikasinya memang dapat membuai dan meninabobokan setiap orang. Siapa pun dan kapan pun tak mampu mengelak dan menghindar dari perangkat komunikasi yang bernama handphone.
Dengan demikian, kebiasaan membaca buku sebagai upaya menciptakan suasana yang ideal bagi dunia literasi terkendala kalau tidak boleh dikatakan terpuruk. Apalagi dengan kehadiran buku elektronik (E-book). Meski begitu, internet dan E-book hingga saat ini belum dapat menaklukkan dan mengambil alih peran buku (konvensional) secara total.
Suvenir atau Kado
Berharap agar buku menjadi benda yang layak melengkapi berbagai jenis kebutuhan hidup setara dengan sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras (jagung, sagu), gula, sayur-sayuran dan buah-buahan, daging sapi (ayam, ikan), minyak goreng (margarin), susu, telur, minyak tanah (gas elpiji), dan garam, agaknya masih menjadi mimpi yang panjang di siang bolong.
Meski demikian, upaya-upaya inovatif layak dikembangkan agar buku tak mengalami nasib serupa dengan media massa cetak surat kabar, tabloid, dan majalah yang gulung tikar, tutup, dan tidak terbit lagi. Banyak momen atau peristiwa dan kegiatan dalam kehidupan kita sehari-hari yang dapat digunakan untuk membiasakan dan membudayakan masyarakat mecintai buku.
Memberikan buku kepada teman atau sahabat, suami atau istri, dan anak pada saat pernikahan, ulang tahun, atau khitanan, belum menjadi kebiasaan bagi kita. Padahal, kado buku layak diberikan kepada mereka pada acara-acara tersebut. Memberikan suvenir, hadiah, atau kenangan-kenangan berupa buku pada momen tersebut layak dilakukan.
Kecuali itu, orang tua layaknya dapat memberikan teladan kepada putra-putrinya dalam membaca buku. Selain membuat perpustakaan pribadi di rumah, orang tua juga dapat memfasilitasi putra-putrinya dengan membelikan buku bacaan. Dengan demikian, kebiasaan membaca buku di lingkungan keluarga akan tertanam sejak dini, hingga lambat laun akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi pembentukan perkembangan kognisi, afeksi, psikomotor, emosi, dan spiritual putra-putri kita.
Lembaga-lembaga pendidikan sejak Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT) layaknya memberikan tugas dan latihan kepada peserta didik agar membuat laporan, resensi, kritik, atau ulasan terhadap buku-buku bacaan yang tersedia di perpustakaan, baik buku-buku fiksi maupun buku-buku nonfiksi. Dengan demikian, selain dapat meningkatkan aktivitas membaca, peserta didik juga terlatih membuat tulisan akademik dan tulisan kreatif.
Masyarakat, swasta, dan pemerintah layaknya memberikan penghargaan yang tinggi kepada penulis atau pengarang buku. Sebab, dengan ini dunia perbukuan akan semakin kinclong karena kegairahan dalam berkarya bagi penulis atau pengarang juga menjulang. Dengan demikian, penghasilan pengarang atau pendapatan ekonomi penulis akan meningkat pula.
Saya teringat pesan Alif Danya Munsyi atau Remy Sylado dalam buku Jadi Penulis? Siapa Takut! (2012: 26) yang berbunyi begini: “Semboyan yang betul untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, adalah: punya pangan, punya sandang, punya papan, punya buku”. Bangsa yang beradab dan berkebudayaan tak akan pernah abai terhadap buku!
________________
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru Aparatur Sipil Negaa (ASN) di Provinsi DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Kontributor sejumlah buku antologi puisi. Kontributor sejumlah buku antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Demi Waktu (2029) dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.