Cerpen: Zainul Muttaqin
Gambing terbangun oleh suara azan Subuh, berkumandang keras dari masjid sebelah, hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya. Ia berdiri di pinggir jendela, tangannya menggeser gorden. Dari kamarnya di lantai dua, sipit mata Gambing mengintip ke bawah, ke arah masjid yang mulai dipenuhi orang-orang untuk menunaikan sembahyang.
Tidak lama setelah orang-orang selesai sembahyang, Gambing turun dari kamarnya, keluar rumah, melihat pekarangan dan menyirami beberapa tanaman bunga. Ia membuka pagar rumahnya lebar-lebar, terlihat para tetangga pulang dari masjid. Gambing mengedarkan pandangan, melempar senyum pada mereka.
Haji Rohmat berhenti sebentar, persis di depan Gambing, jaraknya hanya beberapa meter. Laki-laki bersorban itu bertanya, “Kenapa anjingmu menggonggong?”
- Iklan -
“Mungkin lapar. Semalam saya lupa memberinya makan. Saya ketiduran.”
“Sebaiknya kau cepat beri makan. Kasihan anjing itu kelaparan. Karena lapar, manusia bisa hilang akal, apalagi binatang yang jelas-jelas tak punya akal.”
Gambing mengangguk, wajahnya belum basah oleh air. Gambing ingat, ketika dahulu, mungkin puluhan tahun lalu, Haji Rohmat yang menyelamatkan anjingnya dari kematian. Anjing bertubuh gemuk, peliharan Gambing itu terlepas, berkeliaran ke halaman rumah-rumah penduduk. Semua orang mengejarnya, berusaha menangkap, ingin menghabisi anjing itu dengan cara paling kejam.
Entah siapa yang sudah membuat anjing itu terluka, punggung dan kakinya mengalirkan darah. Anjing itu menggonggong kesakitan diburu warga, tersengal napasnya, ajal seperti sudah berada di tenggorokannya. Tidak mungkin ia lolos dari maut, semua orang sudah siap mencincang binatang itu. Terkapar anjing milik Gambing, pasrah menemui maut di tangan orang-orang yang mulai beringas, sumpah serapah keluar dari mulut mereka.
Haji Rohmat yang baru pulang dari madrasah, mengajar anak-anak, seketika itu juga berteriak dari jauh, matanya mengarah pada seekor anjing yang dikerumuni orang-orang. Ia memandangi wajah orang-orang itu satu demi satu. Mereka bergeming. Tak ada yang sanggup melawan Haji Rohmat. Sorban laki-laki berjenggot itu dibuat lap, dibersihkannya darah di tubuh anjing tersebut.
“Apa kalian ingin membunuhnya?” Haji Rohmat bertanya, nadanya tinggi. Mereka saling melirik, menyuruh agar ada yang menjawab.
Beberapa orang di antara mereka hanya mengangguk sebagai jawaban. Haji Rohmat berdiri, dalam pelukannya seekor anjing dibungkus sorban. Siang yang teramat panas kala itu membuat keringat membasuh tubuh. Haji Rohmat memandang wajah mereka kembali, sebuah pandangan kecewa. Istigfar terucap berkali-kali dari mulut Haji Rohmat, berjalan ia membawa pulang anjing itu, mengantarkannya pada Gambing.
Satu-satunya orang yang memelihara anjing di Desa Tang Batang hanya Gambing, seorang laki-laki keturunan Tionghoa. Kebencian orang-orang pada anjing tak tertakar lagi, begitupun rasa amarah kepada seluruh keluarga Gambing tertanam dalam dada mereka, meletup-letup seperti bara api dalam tungku.
“Kami tak suka anjing. Kami juga tak suka mata sipit!” Perkataan ini kerap dilontarkan oleh mereka, selalu diucapkan di mana saja, bahkan pernah dikatakan terang-terangan di depan mata Gambing.
Haji Rohmat menanggapi kata-kata mereka, “Tuhan yang menciptakan anjing, Tuhan pula yang membuat mata seseorang ada yang sipit, lebar, bulat, ada yang kulit hitam, putih, sawo matang, ada yang berambut hitam, pirang, kuning. Kamu tak menyukai perbedaan itu? Apa kau berani protes Tuhan?”
Haji Rohmat memanggil Gambing dari luar pagar, anjing itu masih meringkuk dalam dekapannya. Gambing membuka gerbang pagar, langsung tertuju matanya pada anjing yang berdarah itu. Haji Rohmat menyerahkan anjing tersebut, dan ucapan terima kasih tak henti mengalir dari mulut Gambing.
“Kenapa kau tak membunuh saja anjing ini? Bukannya mereka menginginkan anjing saya ini mati. Kenapa kau malah menolongnya? ” Gambing mencercanya dengan pertanyaan.
Haji Rohmat mengambil napas dalam-dalam, diembuskannya pelan, berkata ia dengan tenang, “Agama saya tidak mengajarkan kebencian. Saya kira semua agama sama-sama mengajarkan cinta kasih.” Gambing hampir meneteskan air mata mendengar perkataan Haji Rohmat.
Laki-laki berkulit seputih susu itu menawarkan Haji Rohmat makan siang, tetapi santun Haji Rohmat menolaknya. Waktu sembahyang Zuhur sudah masuk, segera berpamitan Haji Rohmat. Matahari sudah mulai bergeser ke arah barat, merangkak pelan-pelan di atas langit cerah, tanpa ada setitik awan yang menempel.
Sebelum langkah Haji Rohmat benar-benar jauh, Gambing mengatakan, “Saya sungguh-sungguh mengajakmu makan siang. Tenang saja, makanan saya halal. Saya tidak makan babi, apalagi anjing.”
Haji Rohmat tertawa, berujar dari jarak yang cukup jauh, “Lain kali saja. Kita makan bersama.”
Sejak hari itu, sebuah kejadian puluhan tahun lalu, dua laki-laki itu berkarib. Sepulang dari mengimami sembahyang di masjid, Haji Rohmat selalu diajak mampir ke rumah Gambing. Tidak hanya itu, Gambing juga meminta Haji Rohmat mengajak jamaah masjid, para tetangga untuk makan bersama di rumahnya.
Hanya Gambing yang terkenal sebagai satu-satunya orang terkaya di Desa Tang Batang, melimpah harta bendanya, tak kurang suatu apa pun. Ajakan Haji Rohmat ditolak mereka, alasannya lebih baik tak pernah makan enak daripada harus satu meja dengan keluarga Gambing, sebuah keluarga yang dalam gambaran kepala mereka itu tampak buruk dan menjijikkan.
Sebulan kemudian, tanpa Haji Rohmat meminta Adnan, Latip dan Kusnaidi untuk ikut makan malam selepas sembahyang Isya di rumah Gambing, mereka tiba-tiba mengajukan diri untuk ikut. Sore tadi, setelah Haji Rohmat selesai sembahyang Asar, Gambing memanggilnya, meminta laki-laki bersorban itu datang ke rumahnya, juga dengan harapan ada orang lain yang ikut. Gambing tidak menjelaskan maksud dan tujuannya secara detail mengenai makan malam yang akan digelarnya.
Sudah lima belas menit yang lalu sembahyang Isya selesai. Pintu gerbang rumah Gambing terbuka lebar, ia berdiri menunggu Haji Rohmat. Gambing mengamati orang-orang yang pulang dari masjid, lewat di depan rumahnya, tak ada Haji Rohmat yang melintas. Gambing yang hendak masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba terpeleset karena menginjak mangga busuk yang jatuh tadi sore.
Tubuh Gambing terjungkal ke tanah, sakit ditahannya. Adnan yang tiba duluan di rumah Gambing melihat kejadian tersebut, segera mungkin ia berlari, mengangkat tubuh Gambing, memapahnya ke dalam. Gambing duduk di kursi, tangannya memegang pinggul, sudah mulai menghilang rasa sakitnya.
Acara makan malam segera dimulai, semua makanan sudah terhidang di atas meja. Haji Rohmat mengangkat kedua tangannya, membukanya cukup lebar, mulutnya membaca basmalah dengan lirih. Gambing terlihat melipat kedua jari tangannya, matanya tertutup, menunduk wajahnya dengan bibir berkomat-kamit membaca sesuatu. Latip melihat pemandangan itu, takjub menyaksikan dua orang berdoa dengan caranya masing-masing, dua agama dalam satu meja makan.
“Makanan ini enak sekali. Apa ada resep rahasianya Ko?” Kusnaidi tiba-tiba bertanya, mulutnya mengunyah makanan yang baru pertama kali dirasakan lidahnya.
“Tidak ada resep rahasia. Sama saja dengan yang lain. Hanya menggunakan rempah-rempah biasa.” Gambing menjawab. Kusnaidi melirik ke arah Latip dan Adnan.
Haji Rohmat menimpali, “Makanan ini menjadi enak karena terdiri dari berbagai rempah. Rempah-rempah dari seluruh Nusantara disatukan, jadilah makanan selezat ini. Tidak akan senikmat ini jika makanan ini hanya dikasi cengkeh Maluku, hanya dikasi kayu manis Banyuwangi, hanya dikasi lengkuas Aceh. Karena bersatunya rempah-rempah itulah makanan ini menjadi nikmat yang luar biasa.”
Untuk beberapa saat Haji Rohmat berhenti, lalu kembali berkata, “Makanan ini jadi enak karena kita sudah merdeka. Apa nikmatnya makanan seperti ini kalau tanah air dijajah.”
Mendengar perkataan Haji Rohmat, semuanya mengangguk-angguk. Makan malam selesai, Haji Rohmat berpamitan pulang, tetapi Gambing meminta menunggu sebentar, pembantunya sedang mengambilkan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Girang wajah Latip, Kusnaidi dan Adnan menunggu di ruang tamu.
Tanpa sengaja, mata Latip terpaku pada sebuah foto di dinding. Ia mengamati lekukan wajah foto itu, mirip Gambing. Latip meminta Haji Rohmat, Adnan dan Kusnaidi untuk turut mengamatinya. Latar pada foto lelaki berkumis, dengan sorot mata tajam itu adalah bendera Merah Putih. Dahi mereka berkerut, bertanya-tanya dalam hati, siapa sesungguhnya lelaki dalam bingkai foto tersebut? Kenapa ada tulisan pahlawan nasional?
“Apa dia pahlawan nasional?”
“Saya belum pernah melihatnya.”
Gambing mengagetkan mereka dari belakang, ia langsung berujar, “Beliau kakek saya. Ceritanya, kata ayah saya, beliau pernah ikut membantu menyelundupkan senjata ke Indonesia, membantu Indonesia lepas dari penjajah. Sepuluh tahun yang lalu, Presiden memberinya gelar pahlawan nasional.”
Sebelum mereka keluar dari pintu, Haji Rohmat baru sadar, belum sempat bertanya perihal maksud makan malam yang digelarnya barusan. Latip, Kusnaidi dan Adnan melihat raut muka Haji Rohmat yang menggoreskan kebingungan.
“O, ya, saya lupa bertanya. Apa maksud dan tujuanmu mengundang kita makan malam tadi?”
“Hanya sebagai bentuk rasa syukur saya kepada Tuhan.”
“Syukur? Dalam rangka?” Adnan semangat bertanya.
“Anak saya seorang atlet bulu tangkis. Dia baru saja menang di kancah Internasional.”
“Siapa nama anakmu Ko?”
“Jonathan.” Gambing menjawab pendek. Mata Haji Rohmat berkaca-kaca. Sementara Latip, Adnan dan Kusnaidi saling pandang, terhenyak dengan perkataan Gambing. Sebagai penggemar bulu tangkis, ketiganya selama ini menonton pertandingan Jonathan mengalahkan para pesaingnya dari berbagai negara. Tiga hari yang lalu, mereka melihat di layar televisi, Jonathan mengibarkan bendera Indonesia.
Pulau Garam, 2019-2020
*Zainul Muttaqin lahir di Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Cerpennya berjudul “Celurit di Atas Kuburan” masuk dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019. Buku kumpulan cerpennya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2019).