Kartu Tanda Buku
Judul Buku : Begini Begitu Emha
Pengarang : Tim Gambang Syafaat Semarang
Penerbit : Penerbit Beruang
- Iklan -
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Mei 2020
Tebal Halaman : 121 halaman
“Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan perjalananmu nanti akan paling-paling bersifat amuk saja, seperti kera di gelap gulita!” Heldi Cinta Terakhir Bung Karno (hlm 180)
Membaca kutiapan di atas, kita diingatkan dengan tagline majalah Historia yang berbunyi Masalalu Selalu Aktual. Majalah ini, punya cara tersendiri untuk mengolah informasi masa lalu menjadi sajian yang menarik untuk dinikmati para pembaca. Walaupun bermateri tentang masa lalu tetapi sajiannya tetap berselera masa kini. Maka tak heran jika hingga kini, pembaca muda masa kini masih menaruh perhatian pada Historia.
Seringkali Historia menampilkan sajiannya sesuai dengan apa yang terjadi hari ini, misalnya besok adalah hari pendidikan, maka mereka akan mencoba menggali sejarah pendidikan dengan berbagai sudut pandang agar dapat tampil ciamik. Nah, beberapa bulan yang lalu ada hari penting, yaitu kelahiran Emha Ainun Najib yang genap berusia 67 tahun. Tim Gambang Syafaat pun membuat sebuah buku yang materinya diambil dari arsip lama yang tersebar di beberapa majalah lawas. Buku itu berjudul “Begini Begitu Emha.”
Buku ini hadir bukan saja untuk memperingati ulang tahun Emha, lebih dari itu. Kehadirannya juga sebagai pengingat tentang masa awal Emha belajar menulis. Perjalanan ini, sangat penting, sehingga patut untuk dihadirkan kembali. Mengingat, beliau hingga kini masih aktif dalam dunia tulis-menulis. Bukunya pun dapat kita jumpai di berbagai toko buku. Salah satu yang dapat membuatnya seperti hari ini adalah prosesnya di komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Di dalam buku ini terdapat beberapa judul yang menarik untuk diobrolkan, khusunya soal proses Emha dan buku.
Judul tulisan “Kak Emha Jangan Buat Saya Putus Asa”, berisi tentang proses Emha bersama teman-temannya di komunitas PSK. Komunitas ini pada masanya pernah menjadi komunitas yang disegani banyak orang. Bahkan ada yang ingin bertemu dengan Emha, ia ingin belajar. Mari kita simak kutipan tentang hal itu. “Saya mohon bantuan Kak Emha menerima saya sebagai anggota klub itu. Jangan biarkan saya putus asa. Semua yang saya hubungi tak mampu memberi bimbingan.”(hlm 33)
Keberadaan Persada Studi Klub saat itu telah menyita perhatian banyak orang. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat pembaca yang masuk. Selain itu, wanita itu juga mengenal PSK lewat Emha dan tulisannya. Sehingga sudah tak diragukan lagi komunitas dan para anggotanya. Jika hari ini komunitas itu masih hidup, maka akan banyak pemuda pemudi yang ingin belajar di sana. Apalagi banyak dari anggota komunitas PSK yang memiliki nama besar seperti Ebiet G. Ade, Yudistira Ardhi Nugraha, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, serta Agus Dermawan T.
Namun, jika kita melihat dari kata “Semua yang saya hubungi tak mampu memberi bimbingan,” maka kemungkinan ada kesalahan ketika ia berproses. Bisa jadi dari cara dia belajar atau kesabaran dalam memahami masih kurang. Karena seperti dikatakan oleh salah satu penulis dari buku ini belajar itu tergantung pada dirinya sendiri. Marilah kita simak baik-baik kutipannya: “Belajar sastra tidak sepenuhnya ditentukan oleh siapa yang mengajari kita. Diri sendirilah yang paling menentukan itu semua.” (hlm 17)
Dalam belajar sastra saya yakin jika Emha telah melewati masa-masa yang sulit sebelum menjadi seperti sekarang yang mempunyai banyak karya yang diterbitkan oleh penerbit besar serta penjualan bukunya melejit. Emha memiliki hubungan yang tak biasa dengan penerbit yang menerbitkan bukunya. Hal itu dapat kita simak dalam buku ini di tulisan yang berjudul “Cak Nun di Antara Penerbit dan Royalti.”
Di judul ini, kita disuguhkan data penjualan buku yang terjual hingga ribuan. Beberapa judul yang terjual dengan jumlah banyak adalah; “Markesot Bertutur (1993) terjual 15.000. Markesot Bertutur Lagi (1994) terjual 12.000. Dari Pojok Sejarah (1986) terjual 10.000. Suluk Pesisiran (1989) terjual 7000. Seribu Masjid (1990) Terjual 16.000. Secangkir Kopi (1992) terjual 15.000.”
(hlm 71)
Fantastis sekali melihat penjualan buku Emha dengan sebanyak itu. Namun jika kita tahu ternyata Emha hanya mendapat royalti dari beberapa buku saja. Kita pasti berpikir ada sebuah kejanggalan. Berikut jawaban Emha ketika ditanya oleh wartawan. “ Tolong anda catat, dari 30 buku yang saya buat, yang saya dapatkan royaltinya cuma 3-4 buku. Selebihnya wallahualam.”(hlm 71) Jika Emha mendapatkan semua royalti dari bukunya, tentunya ia akan menjadi penulis yang kaya raya.
Buku berjudul Begini Begitu Emha saya kira dengan materi yang diberikan di dalamnya serta cerita proses kehidupan Emha yang kini sudah tersohor akan menarik banyak pembaca untuk melirik dan membeli buku ini. Terbukti dari tulisan ini dibuat, kabar di laman Instragram penerbitnya buku yang di cetak untuk peryaan ulang tahun ini telah ludes terjual.
Buku yang dipersembahkan Emha di ulang tahunnya yang ke 67 ini, menjadi pengingat kita tentang kehidupan Emha. Dengan ulasan yang ditulis penulisnya kita disuguhkan sudut pandang dari berbgai arah. Sehingga kita dapat memahami Emha dari berbagai sudut juga. Karena jika kita memahami Emha dari satu sudut pandang mungkin akan banyak melahirkan pandangan yang kurang moderat. Bagi penggemar Emha di seluruh penjuru, silakan bacalah buku ini!
-Peresensi M. Zainudin Aklis, Mahasiswa Universitas PGRI Semarang.