Oleh Syukur Budiardjo
Jagad cerita pendek (cerpen) di Republik ini baru-baru ini heboh karena kasus dugaan plagiasi oleh Budi Setiawan yang berjuluk Petani Kata-kata atas cerpen Agus Noor yang bergelar Pangeran Kunang-kunang. Agus Noor adalah cerpenis produktif yang menulis cerpen di berbagai media massa cetak, termasuk Kompas. Beberapa kali cerpennya yang dipublikasikan di harian Kompas, terpilih sebagai cerpenis terbaik.
Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain Memorabilia (1999), Bapak Presiden yang Terhormat (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia (2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (2006), Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik (2006), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (2010), Cerita buat Para Kekasih (2014), Cinta Tak Pernah Sia-sia, dan Barista Tanpa Nama (2018).
Sementara itu, Budi Setiawan, penulis cerpen, dianggap telah meniru cerpen karya Agus Noor yang berjudul ‘Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat’ yang pernah dimuat di Harian Kompas pada 29 Desember 2019. Budi Setiawan menulis cerpen berjudul ‘Lelaki Penggali Kubur’, yang dimuat di Harian Suara Merdeka edisi 7 Juni 2020 dan tayang pula di media daring Detik.com pada 6 Juni 2020.
- Iklan -
Setelah membandingkan kedua cerpen tersebut, saya menilai bahwa Budi Setiawan telah memermak cerpen Agus Noor. Sejak paragraf pembuka sangat jelas terlihat upaya Budi Setiawan dengan mengganti diksi, tokoh, dan judul cerpen. Ini hanya ulah akal-akalan. yang dibungkus kreativitas. Akhirnya terkuak juga pengakuan Budi Setiawan yang telah meniru ide dan cerita Agus Noor.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini, sampai plagiarisme terang-terangan bisa terjadi tanpa rasa takut seperti ini? Apa pake ilmu ‘ga sengaja’?” Tulis Agus Noor di Twitter-nya.
Definisi Plagiarisme
Plagiarisme atau plagiasi menurut web Wikipedia adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Pelaku plagiat disebut plagiator.
Penulis dilarang melakukan plagiat. Menulis apa pun memerlukan syarat kejujuran, yang merupakan basis dan fondasi dasar bangun keilmuan. Dengan demikian, jika mengutip tulisan dari penulis lain sebagai referensi atau rujukan, kita harus menyebutkan sumbernya secara akurat.
Utorodewo, dkk. dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah (2007) menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarime, yaitu: (1) mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri; (2) mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri; (3) mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri; (4) mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri; (5) menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya; (6) meringkas dan memparafrasekan (mengutip tidak langsung atau menulis kembali dengan bahasa yang berbeda meskipun intinya sama) tanpa menyebutkan sumbernya; dan (7) meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya terlalu sana dengan sumbernya.
Plagiarisme merupakan perwujudan budaya instan dan mental menerabas masyarakat akademik. Para plagiator ingin memperoleh hasil cemerlang tanpa kerja keras dan melalui proses yang panjang berliku-liku dan meletihkan. Meskipun melanggar hak cipta dan cepat diketahui publik karena kemajuan teknologi informasi, menurut Wahyu Wibowo dalam Berani Menulis Artikel: Babakan Baru Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak (2006:131), uniknya, plagiarisme di Indonesia seolah menjadi hal yang biasa.
Contoh Kasus Plagiarisme
Siapa pun bisa melakukan plagiarisme. Ini misalnya mahasiswa, dosen, guru, dan peneliti. Bisa jadi mereka adalah pejabat publik, politikus, pengusaha, dan publik figur lainnya. Berikut ini beberapa contoh kasus plagiarisme yang dilakukan oleh dosen, bahkan oleh presiden, baik di dalam negeri mupun di luar negeri.
Gelar doktor Mochammad Zulfiansyah dicopot pihak Institut Teknologi Bandung (ITB) setelah tim investigasi ITB menemukan bukti plagiarisme dalam disertasinya. Gelar doktor diperoleh Zulfiansyah pada tahun 2009 setelah ia menulis disertasi berjudul “Model Tipologi Geometri Spasil 3 Dimensi”. Dari hasil kajian diketahui bahwa disertasi tersebut jiplakan dari karya ilmuwan Siyka Zlatanova yang berjudul “On 3D Tipolligical Relationship” (Media Indonesai, 27 April 2010).
Sementara itu, Menteri Pendidikan Jerman, Annete Schavan, mengundurkan diri setelah gelar doktortnya dicabut karena dinilai telah melkukan plagiarisme. Komite Fakultas Filsafat Universitas Heinrich Heine di Duesseldorf menyatakan bahwa disertasi tentang pembentukan sura hati yang ditulis pada tahun 1980 itu merupakan jiplakan. Schavan dinyatakan telah dengan sengaja menyalin bagian-bagian dari karya orang lain dalam disertasinya tanpa menyebutkan sumbernya (Kompas, 11 Februari 2013).
Karl-Theodor zu Guttenberg, Menteri Pertahanan Jerman, mengundurkan diri dari dari jabatannya pada Maret 2011, sebelum universitas tempat ia memperoleh gelar doktor mengumumkan bahwa ia telah melakukan plagiarisme dalam disertasinya. Pihak universitas melalui seorang profesor ilmu hukum yang memeriksa disertasi Guttenberg yang dibuat pada tahun 2006, itu menemukan sebagian dari disertasi setebal 475 halaman itu diambil dari karya orang lain (Kompas, 11 Februari 2013).
Presiden Hongaria, Pal Scmitt (69 tahun) meletakkan jabatannya setelah gelar Ph.D atau gelar doktornya, yang diraih pada tahun 1992 dari Semmelweis University di Budapest, Hongaria, dicabut sesudah ia menjiplak karya ilmiah orang lain untuk digunakan pada tesisnya setebal 200 halaman. Tim peneliti dari uniiversitas tempat Schmit memperoleh gelar doktor menyimpulkan bahwa Schmitt menyalin “kata demi kata” di banyak halmanan dari karya penulis lain di dalam tesisnya mengenai Sejarah Pertandingan Olimpiade (Warta Kota, 4 April 2012).
Ranah Hukum
Tindakan Budi Setiawan yang telah melakukan permak terhadap cerpen Agus Noor menjadi batu ujian bagi pengadilan, korban, dan dunia literasi di tanah air. Permohonan maaf dan alasan tidak sengaja yang disampaikan Budi Setiawan tidak masuk akal dan tidak cukup sahih bagi sebuah keadilan yang terkait dengan karsa dan karya manusia.
Budi Setiawan telah melecehkan nalar, hati nurani, dan hukum yang kita junjung tinggi. Agus Noor sebagai korban telah melakukan somasi. Ini layak kita dukung. Langkah-langkah berikutnya di ranah hukum layak kita kawal. Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim harus memberikan perhatian yang serius terhadap upaya penegakan hukum terkait dengan hak cipta ini.
Apakah motif Budi Setiawan melakukan plagiasi? Mungkin motif ekonomi, mungkin motif popularitas, mungkin motif prestise, atau mungkin motif yang lain. Tindakan melawan hukum ini direncanakan atau tidak? Di ruang sidang pengadilan nanti akan terungkap dan kita ketahui apa motif dan alasan yang mendasari Budi Setiawan melakukan tindakan tercela ini.
Selama ini para plagiator selalu lolos dari jerat hukum setelah mereka mengajukan permohonan maaf. Para korban pun mungkin tidak sampai hati dan merasa lelah menyampaikan somasi dan melakukan pelaporan kepada aparat hukum. Sebab nurani hukum kita tidak lagi peka terhadap kasus plagiarisme yang memang tidak beraroma uang dan berbau kriminalitas dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian seseorang.
Masyarakat sangat menunggu “drama” yang akan berlangsung di pengadilan nanti. Korban telah menuntut dengan mengajukan somasi. Pelaku harus berjiwa ksatria menghadapinya. Karena kasus ini bukan tindak pidana biasa. Namun, berbau pelecehan terhadap intelektualitas kita. Dunia literasi pada umumnya dan khazanah sastra pada khususnya sudah tak sabar menantikan gayengnya “pertunjukan” yang akan digelar di ruang sidang pengadilan nanti.
________________
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru Aparatur Sipil Negara (ASN). Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indoneis IKIP Jakarta. Kontributor sejumlah buku antologi puisi. Menulis buku puisi Demi Waktu (2019) dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artkel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan sebagai Pengembangan Profesi Guru (2019). Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.