Oleh Hamidulloh Ibda
“Walah, Mas, boro-boro paham, anakku malah ngluyur dolanan (bermain) terus daripada mengerjakan tugas. Uang jajan minta nambah, orang tua tidak bisa fokus kerja, kuota internet makin boros, ditambah lagi, anak-anak setelah mengerjakan tugas malah mainan gawai”.
Curhatan ini saya dengarkan dengan seksama dengan tempo sangat singkatnya usai tahlilan di rumah saya. Bayangkan, ini curhatan petani desa. Ya, petani desa yang tiap hari harus ngluku, matun, ngedos, ngosrok, ngarit, yang masih natural dan tidak tahu-menahu harga sepeda lipat sekaliber Polygon, United, Pacific, Element.
Dus, bagaimana dengan di perkotaan? Ya, klaim saja 11-12 lah, mirip seperti anak kembar.
- Iklan -
Jika ada pertanyaan, apakah pembelajaran dalam jaringan (daring) efektif? Apakah pembelajaran jarak jauh (PJJ) solusi paling final? Ya, efektif bagi yang efektif, guru melek IT, akses internet lancar, orang tua paham, dan rata-rata di perkotaan. Namun di desa-desa, bahkan pelosok negeri, daring ini justru super tidak efektif dengan beberapa alasan.
Pertama, literasi digital masih rendah. Kedua, gawai di desa masih sebatas untuk hiburan dan iseng, di perkotaan pun, mafhum sama lah. Ketiga, tidak semua wilayah di Indonesia ada internet. Keempat, tidak semua guru dan warga sekolah sama pengetahuan dan skill dalam dunia IT.
Mengaburkan Karakter?
Wacana pembelajaran jarak jauh yang akan dipermanenkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim perlu disoal. Makin tampak, bahwa arah Mas Menteri ini “menjauhkan” guru dengan siswa. La namanya saja jarak jauh. Masak pendidikan malah menjauhkan yang dekat? Ikatan batin yang tercerabut ini makin mengaburkan transfer of morals.
Seolah-olah, bahkan memang begitu, “daringisasi” ini justru menjadi pisau penyembelih karakter.
Bagaimana bisa, anak-anak menggugu dan meniru guru jika pembelajarannya jarak jauh. Lah wong pacaran jarak jauh saja sering mengaburkan harmoni cinta, substansi rasa kok, apalagi urusannya dengan pendidikan.
Harus diingat, rumus “pembelajaran, pembudayaan-pembiasaan, keteladanan” harus diimplementasikan. Pendidikan tidak sekadar soal transfer ilmu, tapi juga transfer karakter. Apa gunanya orang pandai tapi tak berkarakter?
Kita telaah objektif saja, pembelajaran daring jangankan dapat mentransfer karakter, transfer ilmu saja susah kok. Membaca buku cetak, dan e-book, hasilnya sama atau beda? Benar nggak?
Karakter itu padatan imateri. Ia didapat dari contoh, keteladanan, laku, bukan hanya lewat aplikasi-aplikasi. Kan jelas, ilmu itu puncaknya laku, bukan ijazah dan gelar akademik.
Alasan Mas Menteri kadang juga paradoks, karena mendasarkan pada pandemi Covid-19 yang masih belum diketahui kapan akan berakhir. Kebijakan ini dilakukan juga demi menjaga siswa dari virus corona yang bisa membahayakan. Lalu jaminannya, apakah ketika pembelajaran jarak jauh, sudah otomatis anak akan terhindar dari persebaran virus corona? Kan tidak! Siapa yang bisa menjamin anak akan aman dari virus jika pembelajarannya jarak jauh? Allah dan keluarga lah jawabannya.
Pendangkalan atau Pendalaman?
Apa yang dilakukan Mas Menteri sudah bernas, tapi sesuatu yang bernas akan kurang pas jika dipermanenkan. Karena sebelum ada pandemi pun, pembelajaran jarak jauh itu sudah ada, terlaksana meskipun tidak menyeluruh. Jadi, gagasan Mas Menteri ini tidak ada hal baru yang ditawarkan. Hanya semacam epigon lah.
Jika Mendikbud berpatron pada ideologi belajarnya orang barat, bukannya akan paradoks jika pembelajaran jarak jauh dijadikan permanen. Pilar belajar ala Unesco tidak sekadar learning to know (belajar mengetahui), tapi juga larning to do (belajar melakukan sesuatu), learning to be (belajar menjadi sesuatu), larning to live together (belajar hidup bersama). Apakah pembelajaran jarak jauh mencapai itu semua?
Jika ngomong ilmu, percikan muatan dalam tujuan pembelajaran baik kognitif, afektif, psikomotorik, sebenarnya kalau lewat jarak jauh, sudah pasti dangkal. La wong yang belajar tatap muka saja masih banyak anak-anak dan mahasiswa gagal paham, plonga-plongo, la ini kok pembelajaran jarak jauh mau dipatenkan. Aneh!
Kalau itu bentuk ketakutan, okelah, tak masalah. Sehingga muncul, kebijakan pembelajaran jarak jauh yang permanen. Tapi perlu dimasak lagi, agar gurih. Karena sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi di negeri ini tidak semuanya di perkotaan. Di Jateng sendiri, apakah Anda pernah menyisir daerah perbatasan Blora-Ngawi, Brebes-Cirebon? Tak perlu jauh-jauh lah, di lereng Sindoro dan Sumbing saja, sinyal itu mendip-mendip.
Saya tak bisa membayangkan, jika nanti semua serba jarak jauh, serba online, daring, atau apa lah namanya. Saya yakin, anak semakin mumet, orang tua mereka semakin ngelu. Dan, yang diuntungkan hanya segelintir orang saja, siapa mereka? Ya, ini masih saya rahasiakan.
Jangankan siswa ya, beberapa mahasiswa yang saya amati saja, super ngelu ketika melakukan perkuliahan jarak jauh. Alasan sinyal lah, kuota lah, listrik lah, tidak memudengkan lah, apalagi kok anak SD/MI kelas 1, 2, 3, misalnya, bukannya mendalam ilmunya, pasti semakin ngambang bahkan dangkal.
Masak ada pameo “sekolah kok membodohkan”. Kan lucu banget!
Ini barusan urusan ilmu, pengetahuan, kognitif. Dus, bagaimana dengan urusan afektif, psikomotorik, karakter, akhlak, moral, budi pekerti? Apa gunanya ada Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penanaman Budi Pekerti, Perpres 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, dan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal?
Pembelajaran jarak jauh menjadi solusi terjitu di tengah pandemi saja, tidak ada masalah. Tapi jika dipatenkan atau dipermanenkan, ini namanya berpikir cekak. Apakah ini yang disebut merdeka belajar? Merdeka sih ya, sejak 17 Agustus 1945. Tapi belajarnya, mbuh!
Atau, apa memang ini yang diharapkan? Mbok jangan begitu?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.