Oleh Hamidulloh Ibda
Imitasi alias meniru menjadi salah satu sifat dasar dari manusia. Dalam psikologi, hal itu termasuk tipe anak kecil. Kebanyakan anak kecil dominan meniru dibandingkan manusia dewasa. Ya, sifat dasar anak-anak selain usil, imajinatif, yang paling tampak adalah meniru. Bolehkah kita manusia dewasa menjadi peniru?
Ya, untuk anak-anak sih oke. Sebab, mereka masih berproses menjadi “manusia dewasa” dan seutuhnya. Dari menirulah, anak-anak dapat bertutur kata benar, baik, dan indah. Sampai berpikir jujur, bertindak adil, juga pada babakan makan, minum, duduk, memakai celana, memotong rambut, dan lainnya. Semua didapat hasil dari “proses meniru”.
Dus, bagaimana dengan manusia dewasa? Sama! Ada yang hidupnya seratus persen hasil tiruan, separo tiruan, bahkan menjadi manusia baru yang inovatif, kreatif, dan melakukan hal-hal baru serta menolak menjadi manusia peniru, pengekor, karena mereka ingin menjadi pelopor.
- Iklan -
Peradaban Plagiat
Rata-rata, peradaban kita mendorong dan mengamini untuk membentuk manusia tiruan. Soal tiru-meniru, di atas sudah jelas, bahwa meniru berlaku untuk anak-anak. Dus, bagaimana dengan peradaban kita?
Dalam pendidikan, misalnya, semua ilmu pengetahuan diproduksi lewat riset, karya tulis ilmiah, buku, paten, dan sejenisnya, rata-rata juga hasil meniru, bahkan diktum Anut Tiru Modifikasi alias ATM juga menjadi jurus jitu. Meniru, apakah sama dengan plagiat? Ya, secara substansi sama lah.
La wong kalau kita menulis skripsi, tesis, disertasi, ketika menyadur satu karya skripsi, tesis, atau disertasi disebut plagiat, sedangkan kalau puluhan skripsi, tesis, disertasi, disebut “riset”. Ini kan wagu sekali namanya.
Secara teknis, dalam menulis landasan teori, kajian pustaka, kerangka teori, acuan teori, kita wajib meniru, menyadur, sitasi, merujuk, pada tulisan-tulisan orang sebelumnya. Baru setelahnya, tulisan kita sah disebut ilmiah.
Dalam berpendapat, baik lisan maupun tulisan, kita juga wajib menyebut menurut buku ini, merujuk teori profesor itu, doktor itu berpendapat, dan lainnya. Jadi, dunia akademik menjadikan kaum santifik masuk ke pada lorong tiruan. Sehingga akhirnya, berpuncak pada “peradaban plagiat”.
Wajar jika banyak orang tidak merdeka dalam berpikir. Sebab, dalam pikirannya dihantui bayang-bayang teori, pustaka, dan pendapat-pendapat yang disadur. Mustahil lembaga pendidikan kita mencetak generasi genuine, bernas, dan tak lepas dari tiruan.
Sebut saja buku. Ya, buku ilmiah. Itu bukan pendapat murni penulisnya, melainkan kliping teori, kumpulan pendapat, himpunan ide, dan pabrik teori dari orang-orang yang tidak dikenal. Menulis buku ilmiah, bahkan buku umum, hanya proses “klipingisasi teori”, bukan mencurahkan ide-ide bernas, pendapat-pendapat murni dari penulisnya. Bahkan banyak, mejiplak tulisan jiplakan. Duh-duh!
Lebih mengerucut, dunia tulis-menulis membagi plagiasi ke dalam empat hal. Pertama, plagiat itu sendiri, alias menyadur tulisan tanpa mencantumkan sumbernya. Kedua, duplikasi, yaitu menduplikat sebuah karya sama persis. Ya, sama kayak Anda duplikat kunci pintu itu lah. Ketiga, fabrikasi alias memabrik data, pendapat, teori, yang digunakan untuk mendukung temuan kita, atau seolah-olah itu karya kita. Keempat, falsifikasi, yaitu memalsukan data, pendapat, atau temuan.
Teori ini kan muncul lantaran dunia akademik kita menghendaki bahwa tulisan itu wajib ada rujukan. Jadi ya lucu kadang. Nyuruh ngutip-ngutip sendiri, tapi ketika sudah ngutip, kok dibatasi oleh polisi kecurigaan, atau author guidelines, pedoman penulisan, gaya atau kaidah selingkung yang super jelimet begitu.
Ya, wajar lah, kalau orang berpendapat belum mengatakan “menurut”, “berdasarkan”, kama qala, maka omongannya yang otentik itu dianggap pseudo ilmiah. Melas nemen yak!
Dan, ketika orang memaksa menulis ilmiah untuk memproduksi temuan, tesis, atau pengetahuan, tanpa merujuk, maka disebut “asumsi” dan tidak ilmiah. Kelakuan kaum saintifik kadang memang bikin geli.
Epigon
Itulah peradaban yang membangun manusia ilmiah yang tidak genuine, sejati, karena dilahirkan dari budaya dan hukum wajib meniru. Dan, itulah yang saya sebut sebagai “manusia epigon”. Generasi yang miskin, karena tidak memiliki gagasan baru, bernas, otentik, dan hanya mengikuti orang-orang sebelumya. Dan, ironisnya, sistem dan regulasi telah mengaturnya.
Jika kita amati, pabrik manusia epigon ini adalah kampus. Ya, utamanya kampus karena yang dekat dengan aktivitas menulis, meneliti, mengembangkan, dalam ranah Tridharma Perguruan Tinggi.
Di dalam dunia sastra bahkan kebudayaan, kritik dan kajian terhadap hibrida atau spesies manusia epigon sudah lama digelorakan. Namun, dalam dunia akademik, yang diusung hanya “stop plagiasi”, pencekalan karya, dan mematenkannya dalam Hak Kekayaan Intelektual.
Anehnya, bagaimana bisa disebut “kekayaan intelektual” jika karyanya itu lahir dan meniru, kemiskinan ide dan intelektualisme. Ini juga paradoks baru yang aslinya sudah lama kan?
Jika mau serius, kalau mau sih, mbok ya jangan begitu. Harusnya, ada sistem, pola, kebijakan untuk kaum santifik agar menulis, meriset, dan mengembangkan sesuatu yang benar-benar baru. Tajdid lah. Atau, benar-benar belum pernah dikaji, diteliti, atau ditemukan orang. Itu baru “kekayaan intelektual”.
Tapi, kebodohan yang dipatenkan, kejumudan yang diatur lewat kebijakan, akan mengalahkan kecerdasan dan kebenaran yang tidak diregulasikan. Sebab, kebenaran yang secara sporadis tidak disuarakan, akan dibungkam kaum saintifik epigon di atas yang menguasai sistem.
Dan, hari ini dunia akademik kita memang demikian adanya. Seolah-olah kalau hasil riset tidak bisa dibantah, suci, dan tidak ada peluang cacat atau salahnya.
Kita harus membedah otak epigonisme ini dengan mengganti sistem yang benar-benar “merdeka belajar”. Bukan sekadar slogan dan hasil jiplakan dari Ki Hajar Dewantara tanpa nyuwun sewu kepada beliau. Mau kampus merdeka, sekolah merdeka, bahkan sampai kelas merdeka sekalipun, jika sistemnya masih warisan kolonial yang mengamini warisan bernama epigonisme dalam ranah pendidikan, maka selamanya manusia epigon tak dapat terputus embrionya.
Masyarakat di luar mainstream dunia akademik juga harusnya “hidup merdeka” mulai dari pikiran, tindakan, ucapan dan pola hidup. Merujuk, berdasar, menganut, oke-oke saja, namun tidak semua lini kehidupan harus merujuk apalagi sampai plagiat. Harusnya, di era serba daring ini, kreativitas dan inovasi semakin bergeliat, bukan sebaliknya malah membunuh daya ijtihad di wilayah intelektual atau mujahadah kita di wilayah spiritual.
Kita tinggal memilih, menjadi manusia epigon atau manusia otentik, genuine, atau manusia terbelah? Kita punya pilihan, karena hampir manusia Indonesia memang dididik untuk menjadi manusia epigon.
Ketika dunia ini banyak dihuni kaum epigon, wajar-wajar saja jika foto hasil plagiat, video hasil duplikat, meme hasil falsifikasi, atau bahkan, desain rumah ibadah juga hasil tiruan.
Dus, sampai kapan epigonisme ini berakhir?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jateng.
Penggunaan kata dus kok kurang tepat ya, seolah mengekor gaya tulisan orang. Dus artinya maka dari itu atau sehingga.