Oleh Sam Edy Yuswanto
Buku adalah jendela dunia. Pepatah bijak ini seringkali kita dengar dan saya yakin setiap orang akan langsung mengamininya. Hal ini bisa dimaklumi karena buku merupakan sumbernya berbagai ilmu pengetahuan yang akan memperkaya wawasan siapa saja. Namun sayangnya, selama ini masih banyak orang yang merasa enggan untuk mempraktikkan pepatah bijak tersebut, termasuk di antaranya adalah mereka; para guru yang seharusnya memiliki kebiasaan membaca buku untuk memperkaya wawasan keilmuannya.
Membaca, sebagaimana ditulis oleh Suhadi dalam blognya, Suhadinet.wordpress.com, adalah suatu proses untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan dengan menggunakan indera mata dari sesuatu yang ditulis. Sumber tulisan (bacaan) tentu banyak jenisnya, misalnya buku, novel, majalah, koran, media daring, dan lain sebagainya. Kegiatan membaca sangat bermanfaat jika dilakukan, apalagi bila membudaya di tengah-tengah masyarakat kita. Terlebih di lingkungan para guru yang memiliki tugas mendidik anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus perjuangan bangsa ini.
Realitas memaparkan, budaya membaca di tengah-tengah masyarakat kita masih terlihat begitu memprihatinkan. Mayoritas orang lebih senang menghabiskan sebagian waktunya untuk duduk santai di depan televisi, atau nonton beragam tayangan lewat Youtube sambil rebahan. Padahal, bila kita terlalu banyak menonton televisi, menonton konten-konten Youtube, bermain game online atau terlalu banyak menekuri layar smartphone, akan menyebabkan jiwa raga kita cepat lelah dan akhirnya menjadikan kita merasa malas untuk melakukan beragam aktivitas yang lebih positif.
- Iklan -
Disadari atau tidak, selama ini, keberadaan buku-buku hanya dianggap sebatas bahan ajar di berbagai lembaga pendidikan. Selebihnya, buku-buku seolah tak ada harganya dan kehilangan fungsinya. Sehingga (seolah-olah) tak perlu untuk membeli buku dan memiliki kebiasaan membaca. Seakan-akan muncul kesan yang begitu mengakar kuat di tengah masyarakat, bahwa setelah lulus sekolah atau kuliah, kita telah terbebas dari beragam jenis buku-buku yang selama ini dianggap sangat melelahkan. Kesan atau anggapan semacam itu tentu sangatlah keliru. Karena, sebagaimana telah dimaklumi bersama, yang namanya mencari ilmu itu tidak ada kata berhentinya, alias berlaku sepanjang hayat masih dikandung badan.
Aswab Mahasin dalam tulisannya (NU Online, 08/09/2017) pernah menyinggung hal tersebut, bahwa kepentingan kita terhadap buku hanya di ladang formal, sekolahan, dan perkuliahan. Di luar itu, seakan-akan buku tidak memiliki fungsi. Mungkin kita memilki anggapan bahwa fungsi buku di luar institusi formal tidak mempunyai nilai tambah, lantas membuat kita abai terhadap keberadaan buku-buku sebagai gizi pengetahuan.
Guru yang Gemar Membaca
Guru yang baik biasanya adalah sosok pembelajar. Ia tak akan pernah berhenti memperkaya wawasannya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari beragam buku-buku, majalah, tabloid, surat kabar, dan lain sebagainya. Ia akan selalu merasa haus terhadap ilmu yang kelak dapat ditularkan kepada murid-muridnya di sekolah. Dengan kata lain, guru dan budaya membaca buku adalah dua hal yang saling berkaitan erat dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Bahkan bila perlu, selain menjadi seorang pendidik, ia bisa menekuni profesi penulis, sebagai sarana menuangkan gagasan yang kelak bermanfaat bagi para pembacanya.
Saya sangat sepakat dengan gagasan yang dituangkan oleh Aswab Mahasin pada laman NU Online (08/09/2017). Menurutnya, sudah menjadi keterikatan logis, seorang pembaca buku yang baik adalah pendidik yang baik. Begitu pun sebaliknya, seorang pendidik yang baik adalah penulis yang baik. Dan seorang penulis yang baik adalah pembaca yang baik.
Oleh karenanya, bila kita ingin menjadi sosok guru yang baik, maka berusahalah mulai sejak sekarang untuk membiasakan diri membaca beragam jenis buku. Baik itu buku fiksi maupun nonfiksi. Selain rajin membaca juga harus diiringi dengan kebiasaan membeli buku. Tentu saja buku-buku yang dibeli adalah buku yang asli (original), bukan buku-buku bajakan yang sangat merugikan pihak penulis dan penerbit. Perlu dipahami, bahwa membeli buku-buku bajakan itu adalah tindakan tercela dan akan menjauhkan kita dari keberkahan. Jangan pernah beralasan “tidak ada dana” untuk membeli buku. Sebab bila kita belum mampu membeli buku baru, kita bisa membeli buku-buku original dan murah saat ada pameran (bazar) buku.
Budaya Membaca di Kalangan Guru
Berbicara tentang budaya membaca di kalangan para guru, sepertinya memang belum membudaya. Melihat relaitas yang ada selama ini, masih banyak guru yang tak begitu memahami pentingnya memiliki kebiasaan membaca di rumah dan di mana saja mereka berada. Hal ini sekaligus mengindikasikan begitu minimnya budaya membeli beragam jenis buku di kalangan para guru. Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama.
Urip Santoso, dalam blognya pernah menjelaskan beberapa dampak (manfaat) positif dari kebiasaan guru yang gemar membaca. Di antaranya; guru bisa mengambil hikmah dari buku bacaan tersebut, mengembangkan keluwesan dan kefasihan dalam bertutur, memiliki cara pandang yang lebih bijaksana karena terbiasa membaca ide atau gagasan orang lain. Selain itu, guru yang memiliki kebiasaan membaca juga akan memiliki waktu lebih sedikit untuk berbincang dan melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat.
Saya berharap, tulisan sederhana ini bisa menjadi introspeksi bersama, terlebih bagi para guru, agar berusaha menjadi sosok pendidik yang berwawasan luas. Sosok guru yang rajin membaca dan menyisihkan sebagian uangnya untuk berbelanja buku-buku. Sehingga kelak (dari berbagai buku yang dibacanya) ia dapat menjadi sumber inspirasi bagi murid-muridnya.
-Penulis adalah alumnus STAINU, Fak. Tarbiyah Kebumen.