Oleh Ahmad Farichin
Tidak bosan-bosannya kita mengenang masa pendidikan di Sekolah Dasar terlebih ketika bulan puasa, banyak yang menarik untuk dipelajari, direkontruksi dalam pendidikan yang sekarang masih terus belangsung. Saya ingat sekali ketika bulan puasa sewaktu masih SD, sebelum ada liburan semua murid pasti dikasih buku saku bulan Ramadhan, siswa wajib mengisi data yang ada dalam buku itu, termasuk salah satu yang unik adalah meminta tanda tangan imam masjid/musholla untuk mengisi ketertiban dalam shalat tarawih.
Pasti setelah shalat tarawih dan berdoa imam masjid atau musholla akan ramai didatangi anak-anak kecil yang masih sekolah SD sederajat, kiai sangat masih dihormati dan beliapun merasa senang mungkin dengan kebiasaan anak-anak yang meminta tanda tangan, bukan karena kiai bangga dianggap dan diminta tanda tangannya, tapi mereka bangga dengan anak-anak yang dekat dengan para kiai, karena bagi kiai dianggap ataupun diabaikan tidak menjadi masalah, hanya tuhan yang akan menilai.
Anehnya pendidikan saat bulan puasa terasa berat, karena harus tetap menjaga diri dari dahaga, lapar, sampai kantuk agar tidak batal dalam berpuasa. Sebenarnya itulah yang menyenagkan, pada bulan ini siswa diajarkan untuk tertib melaksanakan shalat tarawih, hingga terbentuk rasa memiliki terhadap tokoh-tokoh agama,salahsatunya seperti imam masjid. Namun kali ini sedang mengalami pergeseran, terlebih dalam masa pandemi Covid-19, sangat banyak siswa yang tidak pergi ke masjid, bahkan shalat tarawih #dirumahsaja hanya menjadi wacana belaka. Jika ini terus dibiarkan, anak-anak akan merasa biasa saja meninggalkan shalat tarawih di masjid, ya walalupun ini sunnah namun bagi mereka adalah moment untuk meningkatkan kecerdasan religiusnya.
- Iklan -
Guru, Orang Tua dan Murid
Kita memang tidak bisa mengelak lagi dengan apa yang sedang terjadi saat ini, bisa dikatakan memang masa-masa sulit, bukan hanya ketimpangan ekonomi masyarakat, pendidikan juga terkena dampaknya, pembelajaran online yang menjadi solusi terjadi banyak kritik kegelisahan dari murid, orang tua bahkan juga guru, alhasil perkataan bapak pendidikan ki Hajar dewantara memang benar “setiap orang menjadi guru, setiap tempat menajdi sekolah”, ini yang perlu kita kaji lagi, karena sekarang benar-bnar terjadi dan harus dilaksanakan, membiasakan memaknai belajar tidak hanya berputar pada sekolah formal, semua aspek dalam kehidupan kita adalah proses pembelajaran.
Kita sudah memahami bersama, guru, orang tua dan murid adalah rangkaian benang yang tidak dapat dipisahkan, mereka saling terhubung dalam susunan kebatinan. Mengingat pendidikan yag sedang tidak biasa ini, orang tua adalah guru yang sebenar-benarnya guru, tidak ada yang dapat memantau anak-anak kecuali orang tua, ketika saya berbincang dengan Pak Hamidulloh Ibda beliau mengatakan “kini saatnya orang tua menjadi guru yang biologis sekaligus ideologis, tidak hanya mengasih kebutuhan jasmani, kebutuhan batin, kebahagiaan dan intelektual sudah sangat dibutuhkan”.
Sebagaimana sekarang sedang terjadi, shalat tarawih yang setiap kali dilakukan berjamaah di masjid baik anak-anak sampai orang tua, sekarang tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, bahkan zona hijau (zona yang belum terpapar virus corona)j juga membatasi kegiatan. jika anak-anak tidak diajarkan untuk melaksanakannya, lantas apa fungsi pendidikan selama ini? Bukankah hanya sebatas value saja yang didapat? Bukan berdasarkan karakter. Ini menjadi tolak ukur pendidikan kita, karakter seoarang siswa lebih diutamakan dibanding nilai yang berupa angka-angka. Lihat saja adik-adik kita selama liburan, atau bahkan kita sendiri seperti apa. Iya jika orang tua bisa mengajar dengan baik, kalau ada yang memasrahakan semuanya kepada guru? Bagaimana jadinya.
Guru dengan orang tua sama-sama punya hak untuk mengajar anak-anaknya, guru meiliki hak asuh untuk mendidik di sekolah, orang tua mempunyai kewajiban mendidik di rumah, apapun itu, semuanya bisa dilakukan untuk kemajuan dan kepentingan pendidikan yang selalu turus berkembang.
Pendidikan Anak
Karakteristik anak dalam mencerna pembelajaran meiliki cara yang berbeda-beda setiap individunya, bagiamana seorang anak akan mampu menerima dan memasukkan apa yang telah ia tangkap, sehingga bisa dicerna melalui saraf-saraf otaknya dan mampu untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-harinya. Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu tenaga fikiran dan ambisi untuk memecah kerasnya pendidikan.
Tapi tidak bisa berbohong lagi, ngomong pedidikan seperti halnya ngobrol ngalor ngidul tidak ada yang cocok, hanya sebatas wacana belaka. Anak tidak butuh dikasih wacana terus atau Mauidhoh Hasanah, namun yang dibutuhkan anak adalah uswatun hasanah atau teladan yang baik, nah ini, ini yang tergambar dalam sosok-sosok kiai, guru ngaji, mereka-mereka ini yang memiliki pendidikan karakter. jadi tidak ada salahnya jika anak-anak diajak untuk dekat dengan para guru, kiai yang ada di lingkungannya.
Kesepahaman mengenai pendidikan akan bisa dimengerti jika guru, orang tua dan murid melaksanakan sesuai tugasnya, itulah syarat yang sebenarnya harus dipenuhi. Guru mengajar dengan maksimal, orang tua mendoakan dan mencari nafkah dengan baik dan hahal, murid belajar dengan tekun.
Ketika murid dirumah gurunya orang tuanya sendiri, ketika disekolah bapak-ibunya adalah guru, dan ketika diluar guru dan orangtuanya adalah semuanya. Jika kesepahaman itu sudah didapatkan, ditengah pandemi covid 19 ini pun akan terbentuk karakter anak-anak yang religious, dengan teladan keluarga yang baik. Lantas, apakah kita sudah memberikan contoh yang baik?jangan Tanya penulis, tanyakan diri kita masing-masing.
-Ketua Unit Kajian Islam (UKI) STAINU Temanggung