Oleh Drs. KH Mohamad Muzamil
Kita sering mendengar istilah dalam pidato atau kalimat retorik; “Sebagai bangsa dan negara kita harus maju dan mandiri !” Acap kali kalimat retorik itu diucapkan berapi-api dengan tepuk tangan yang bergemuruh.
Bagaimana sebenarnya makna dari istilah maju dan mandiri itu? Ini seringkali menimbulkan polemik atau perbedaan pendapat.
Dalam sejarah kita diingatkan adanya perbedaan konsep tentang kedua istilah tersebut dari pemerintah Orde Lama dan Orde Baru.
- Iklan -
Dalam masa Presiden Soekarno yang populer disebut sebagai orde lama memberikan makna maju dan mandiri sebagai “berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri. Dengan demikian Indonesia waktu itu ingin membangun dengan kemampuan sendiri, tanpa adanya “bantuan” dari pihak luar.
Karena itu kondisi Indonesia masih alami, sehingga terlihat lambat pertumbuhan ekonominya, namun sumberdaya alam masih tersedia melimpah. Pemerintah waktu itu bukannya tidak mau memanfaatkan, namun menunggu putra putri Indonesia mampu mengelola sendiri sumberdaya alam yang tersedia, setelah anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang baik dan kemudian memiliki kemampuan untuk mengelolanya.
Meskipun pertumbuhan ekonomi lambat, namun dinamika politik sangat tinggi tensinya, sehingga terkenal kalimat “politik sebagai panglima”.
Singkat kata, sebelum mencapai sepenuhnya target dari istilah “berdikari” tersebut, ternyata terjadi berbagai peristiwa pemberontakan terhadap kepemimpinan Presiden, seperti PKI di Madiun, gerakan DI/TII, PRRI/Permesta, dan puncaknya G 30/S PKI sehingga terbitlah surat perintah 11 Maret yang dikenal dengan istilah Supersemar. Setelah itu PKI dibubarkan, dan terjadi suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Kepemimpinan Presiden Soeharto dikenal dengan sebutan “orde baru”, yang merubah konsep “maju dan mandiri” sebagai pembangunan yang terencana melalui konsep “repelita” atau rencana pembangunan lima tahun sesuai hasil pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Kemudian konsep repelita disempurnakan menjadi garis-garis besar haluan negara atau GBHN.
Waktu itu terkenal istilah modernisasi desa sesuai instruksi presiden (inpres) dengan membangun infra struktur mulai dari sekolah dasar dan fasilitas umum lainnya. Dana pembangunannya dari mana? Sebagian dari pajak, pendapatan negara bukan pajak dan sebagian dari pinjaman dari negara donor atau IGGI dan IMF.
Guna mencapai target pertumbuhan ekonomi secara maksimal, dilakukan industrialisasi sebagaimana di negara-negara maju. Namun juga dilakukan pembangunan pertanian sehingga bisa mencapai swasembada beras. Swasembada beras bisa diraih melalui program modernisasi pertanian dengan menyediakan bibit unggul dan pupuk kimia.
Intinya pada masa orde baru, bidang ekonomi menjadi skala prioritas, sehingga terkenal istilah “pembangunan ekonomi sebagai panglima”. Hal ini berlangsung hingga munculnya reformasi dengan berhentinya Presiden Soeharto, dengan naiknya Wakil Presiden BJ Habibie menjadi Presiden. Masa reformasi hanya berlaku relatif singkat hingga pemilu 1999.
Setelah pemilu 1999 suasana politik belum menemukan konsep baru yang disepakati secara utuh, sementara konsep sebelumnya telah tidak dijalankan. Hal ini berlangsung hingga amandemen UUD 1945 setiap tahun sekali mulai Sidang Umum MPR tahun 1999 hingga tahun 2002.
Setelah reformasi nyaris tidak pernah tuntas dibahas atau terjadinya kesepakatan tentang konsep “maju dan mandiri” tersebut secara bulat. Istilah GBHN diganti dengan RPJM atau rencana pembangunan jangka menengah yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep visi dan misi calon presiden dan calon wakil presiden yang telah terpilih secara langsung melalui pemilu.
Memang ada RPJP atau rencana pembangunan jangka panjang yang berlaku 25 tahun yang ditetapkan melalui undang-undang nomer 25 tahun 2004, namun RPJP ini belum sepenuhnya menjadi acuan dalam perencanaan yang komprehensif dalam RPJM karena RPJM tergantung pada Presiden dan Wapres hasil pemilu. Lebih-lebih setelah UUD 1945 diamandemen tahun 2002, suasana kebatinan-nya sarat dengan perkembangan situasi politik di tanah air. Misalnya pada masa pandemi global covid-19 ini muncul perpu nomer 1 tahun 2020 yang sama sekali tanpa mengacu pada RPJM dan RPJP, karena situasinya dipandang sebagai tanggap darurat.
Dari sini tampak visi “maju dan mandiri” masih jauh “panggang dari api”, karena terpengaruh situasi global. Pemerintah pun juga menambah hutang baru dengan jumlah relatif besar. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia kuartal pertama 2020 sebesar US$ 389,3 miliar atau sekitar 5.835 triliun (kurs Rp 15.000/US$). Angka ini tumbuh 0,5% dibanding periode kuartal sebelumnya yang tumbuh 7,8%. Jumlah utang ini terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar US$ 183,8 milyar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 205,5 miliar.
Sebenarnya wajar soal ULN itu jika ada komitmen manajemen yang baik, terbuka, dan jujur, namun karena situasi pandemi global covid-19 ini, kemandirian dan kemajuan Indonesia benar-benar kembali diuji, akan kah Indonesia mampu keluar dari krisis sebagai dampak pandemi global tersebut? Terlebih jika situasi politik dalam negeri tidak menentu akibat persaingan faksi-faksi politik yang ada.
Sekarang kecerdasan publik memang meningkat secara intelektual untuk mengkritisi kebijakan publik yang ada, namun dari segi etika atau moral harus tetap dijalankan secara hati-hati dengan mengutamakan kepentingan nasional harus diatas dari kepentingan pribadi dan golongan, sehingga Indonesia dapat keluar dari krisis dengan selamat menuju Indonesia yang maju, mandiri dan berkeadilan.
Semoga para pengambil kebijakan mau belajar dari sejarah dan ingat betul akan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana dikehendaki para pendiri republik. Amin. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah.