Oleh Hamidulloh Ibda
Saya, ya mungkin Anda juga, merasa terhantam corona dari sisi bahasa. Soal kesehatan dan bahayanya sudah jelas. Tapi, hadirnya corona ini benar-benar menabrak pola berpikir, cara dan sikap berbahasa kita. Setia kepada NKRI salah satu wujudnya adalah setia berbahasa Indonesia, bukan malah melakukan perselingkuhan bahasa.
Lebih sarkas lagi, corona menjadi embrio “inlanderisasi” dari sisi bahasa. Sudah jelas, bahwa bahasa itu wujud nasionalisme, ihwal latar belakangnya tentu dari Sumpah Pemuda atau keputusan Kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928.
Saya curiga, corona ini ditunggangi “penjajah” dari berbagai sisi. Salah satunya sisi bahasa, karena bahasa ini sebagai simbol, instrumen dan sikap nasionalisme, yang sengaja dihantam melalui idiom-idiom asing yang dibiasakan, dan akhirnya menjadi kebenaran. Padahal, harusnya “kebenaran harus dibiasakan”, bukan “membenarkan kebiasaan”.
- Iklan -
Kata-kata terkait corona sudah nglambe, bahkan caggahnya anakku saja nyebut-nyebut lockdown. Masih banyak pula orang di luar sana tak sadar bahwa itu penjajahan dalam bentuk baru. Ya, ini penjajahan, bro!
Dalam dunia bahasa, ada tiga tahap yang harus diperhatikan. Mulai dari pemerolehan-pembelajaran, pergeseran, dan pemertahanan. Kita hari ini, disuguhkan dengan berbagai macam istilah asing seiring wabah pandemi corona menjalar. Nyebahi tenan!
Istilah Asing: Penjajahan Bahasa?
Istilah asing mendera di berbagai media massa, percakapan sosial, hingga spanduk-spanduk meski banyak yang salah. Sebut saja istilah itu seperti covid-19 (nineteen), lockdown, rapid test, swab test, social distancing, physical distancing, work from home, stay at home, hand sanitizer, suspect corona, flattening the curve, herd immunity, imported case, local transmission, SARS-coV-2, cluster, sampai new normal. Iki pakanan opo, Cah?
Lantaran bahasa-bahasa itu adalah serapan, atau Indoglish (Indonesian-English), maka sangat wagu dan lucu ketika banyak meme tersebar karena banyak warga menulis istilah-istilah di atas dengan cara yang salah. Salah menyerap, ya hasilnya otomatis salah karena itu bukan bahasa asli (bahasa ibu).
Contohkan saja di-lockdown menjadi “didownload”, lock dont, lauk daun, dan lainnya. Juga hand sanitizer menjadi “heng sanitizer”, “hen sanitijer”, dan lainnya. Awalnya benar, tertulis salah dan menjadi “bahan tertawaan” para netizen di bumi Nusantara, buminya manusia yang suka guyonan.
Istilah ini kita pahami sebagai penjajahan ya sah-sah saja. La wong dunia akademik kita juga tidak mewajibkan lulusannya lulus atau mengantongi uji kemahiran bahasa Indonesia (UKBI) kok, yang wajib justru Test of English as a Foreign Language (TOEFL), International English Language Testing System (IELTS), Test of Arabic Foreign Language (TOAFL), Ikhtibar Mi’yar Kafa’ah Al Lughoh Al Arobiyyah (IMKA), dan lainnya. Kita ini bangsa Indonesia atau bangsa Inggris, bangsa Arab?
Calon lulusan magister (S2) dan doktor (S3) di kampus-kampus Indonesia, bahkan calon sarjana (S1) wajib mengantongi sertifikat-sertifikat di atas. Masih sedikit yang mewajibkan calon lulusannya mengantongi sertifikat UKBI. Mengapa ini terjadi?
Sikap Bahasa Kita
Bukan berarti saya antiasing, antibahasa asing, namun kebijakan seperti ini menjadikan generasi muda terdidik kita bermental inlander jika nasionalismenya tidak kuat. Apalagi, bahasa pada dasarnya memang arbitrer, mana suka, sewenang-wenang, sakarepe dewe, maka wajar jika bahasa asing yang hijrah ke Indonesia ini menjadi nglambe, dan akhirnya menggeser bahasa ibu kita.
Bahkan, untuk menyatakan rasa cinta kepada bangsa sendiri, Indonesia, kita juga sering menggunakan bahasanya orang lain, bahasanya bangsa lain. Sebut saja I love Indonesia, we love Indonesia, I love Semarang, dan lainnya.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud maupun Balai Bahasa di tingkat provinsi menggelorakan manifesto “Utamakan Bahasa Indonesia, Pelajari Bahasa Asing, Lestarikan Bahasa Daerah”. Namun kenyataannya, mental bangsa ini memang “tidak mau menjadi Indonesia seutuhnya”.
Efek pandemi corona ini juga membuktikan sikap bahasa kita yang mudah anut-anutan. Dengan didukung pembiasaan dari pemerintah, media massa yang tanpa filter, media sosial dengan segala kebenarannya, menjadikan sikap bahasa kita tercerabut dari akarnya.
Kita tak dapat berbuat apa-apa. Minimal, melakukan pemertahanan dan perlawanan. Pertama, pendidikan harus berani dan tegas menjadikan Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) menjadi syarat kelulusan. Titik. Soal pencarian, pelajar atau mahasiswa dapat belajar mandiri melalui laman ukbi.kemdikbud.go.id yang disediakan gratis.
Kedua, menerapkan “Utamakan Bahasa Indonesia, Pelajari Bahasa Asing, Lestarikan Bahasa Daerah” setotal-totalnya. Ini jangan sampai hanya sekadar jargon, pantes-pantesan, tapi harus mendarahdaging, karena kita ini bangsa Indonesia, bukan bangsa asing. Kita tentu malu dan paradoks, ketika banyak londo (bule) belajar bahasa Jawa, Sunda, Madura, Indonesia, sedangkan kita manusia indigen (pribumi) Nusantara malah “buta aksara Jawa” termasuk saya. Ini kan ironis namanya.
Ketiga, pembelajaran, pembiasaan/pembudayaan, dan keteladanan berbahasa Indonesia dari keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai wujud atau komitmen menjaga identitas bangsa ini. Lewat percakapan oral, tulisan, atau dialek, harus mencerminkan sikap bahasa yang mengutamakan bahasa Indonesia. Sebab, banyak sekali bahasa Indonesia ini serapannya nglambe dan seolah-olah itu bahasa kita. Sebut saja dilist, dienter, didownload, discreenshot, diclose, diopen, kedelete, dan lainnya.
Keempat, pemberian keteladanan dari guru, dosen, jurnalis (media massa), dan pejabat publik untuk berbahasa Indonesia dengan benar, baik, dan indah. Sebab, mereka inilah yang menjadi contoh masyarakat biasa yang melahirkan sikap bahasa. Jika mereka memberikan contoh yang inlander, masyarakat biasa akan mudah menirunya.
Kita harus tegaskan, berbahasa Indonesia itu wajib, bahasa lokal harus, bahasa asing itu sunah. Memiliki generasi yang cinta tanah air, pandai berbahasa lokal dan asing adalah kegembiraan yang tiada tara, namun ketika lupa akan bahasa ibunya, lebih menggunggulkan bahasanya orang lain, ini yang tidak boleh.
Sebab, kita kadang tidak sadar, itu adalah penjajah lewat bahasa, dan kadang juga, kita menikmati pemerkosaan bahasa. Bukankah demikian?
-Penulis adalah Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Temanggung, menulis buku Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut untuk Mahasiswa (2019).