Oleh Hamidulloh Ibda
Adanya dampak pandemi covid-19 yang meresahkan, diperlukan pencerahan tentang ketahanan dan kemandirian ekonomi sampai tataran teknis pada masyarakat. Saat ini aktivitas di pertokoan, perkantoran, sekolah, kampus, banyak yang lockdown dan mematuhi Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB). Akibatnya, penghasilan masyarakat menurun bahkan nihil. Ini tak sekadar kebutuhan perut, namun masalah global. Jika dibiarkan, pengangguran melejit, kemiskinan melanda, dan otomatis kriminalitas melaju tanpa batas.
Menurut sebagian orang, masyarakat harus hemat, tak boleh boros dalam belanja di tengah wabah pandemi. Bagaimana umat menghemat, padahal penghasilan turun bahkan uang tiada. Harusnya masyarakat diedukasi mandiri, melakukan kerja cepat, cerdas, dan bernas untuk bertahan dari wabah ini dengan melakukan kegiatan wirausaha tanpa harus keluar rumah.
Rumah: Sumber Kehidupan
- Iklan -
Dalam agama apapun, rumah dan keluarga menjadi inti kehidupan. Namun selama ini, konsep rumah dan keluarga hanya dipahami dalam aspek pendidikan, bahkan sekadar bangunan fisik. Padahal rumah juga menjadi tempat membangun fondasi ekonomi. Kita dapat mengacu pada rumus Tri Sentra Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yang menyebut rumah menjadi tempat pendidikan utama dan pertama. Pendidikan di sekolah, dan masyarakat ditentukan pendidikan dalam keluarga. Begitu pula urusan lain termasuk ekonomi. Suksesnya seorang ditentukan kesuksesan keluarga termasuk dalam bidang ekonomi.
Dalam Islam ada diktum baiti jannati (rumahku surgaku). Namun konsep ini hanya dimaknai dalam bab pernikahan, padahal rumah dapat dijadikan aktivitas wirausaha dan membangun kemandirian ekonomi. Anggota keluarga yang mapan secara finansial akan lebih bahagia dan aman untuk mencapai kemapanan rohani.
Di tengah darurat global, konsep ini harus dibumikan dengan menggerakkan rumus “rumah menjadi sumber kemandirian ekonomi”. Berwirausaha sudah dicontonkah Nabi Muhammad Saw sejak dulu. Hal itu juga merupakan dari amanat Nahdlatut Tujjar.
Dalam rumus sosial, keluarga menentukan mandiri dan tidaknya sebuah negara. Haryono (2014:2) merumuskan tiga tipe negara yaitu mandiri, bertahan, dan bergantung. Negara mandiri memiliki beberapa asas seperti persatuan, demokratis, bertanggung jawab, antikekerasan, saling menghormati, cinta damai, kekeluargaan, dan gotong-royong.
Semua itu dapat dicapai melalui kemandirian dalam keluarga. Kekuatan sosial ini menjadi jalan jitu memberantas musuh negara. Mulai dari kemiskinan, kebodohan, kekerasan, pengangguran, kesenjangan, termasuk covid-19 yang mengakibatkan krisis di segala bidang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut angka pengangguran terbuka akan meningkat signifikan karena efek corona. Sesuai perhitungan pemerintah, untuk skenario berat akan ada penambahan 2,9 juta orang menganggur. Untuk skenario lebih berat, jumlah pengangguran bakal meningkat hingga 5,2 juta orang (Kompas.com, 14/4/2020).
Bagi pekerja kantoran seperti ASN, TNI, Polri, tentu aman dan mapan meski lockdown dengan bekerja dari rumah. Namun bagi pedagang kaki lima, buruh, sopir, tukang parkir, ojek online (ojol) dan lainnya akan lockdown penghasilannya karena corona. Mereka yang tak memiliki “gaji tetap” dan “kerja tetap” kebingungan karena pengeluaran tak berhenti namun penghasilan ter-lockdown.
Belum lagi kenaikan harga sembako dan kebutuhan rumah tangga menjadi beban berat yang menghantui menjelang bulan Ramadan dan Idulfitri. Jika dibiarkan, efek pandemi melebihi tragedi krisis moneter Indonesia tahun 1997-1999. Maka sistem “bekerja dari rumah” bukan hanya untuk pekerja kantor yang mengerjakan pekerjaannya di rumah. Melainkan menjadikan rumah sebagai “tempat kerja” tanpa harus keluar rumah karena “teror” covid-19 dengan gerakan “wirausaha di rumah”.
Homepreneurship
Istilah homepreneurship masih asing. Homepreneurship yaitu berwirausaha, bekerja, berkreasi, berinovasi di rumah. Bukan sekadar “memindah” kantor di rumah, namun rumah menjadi tempat bekerja, dan anggota rumah adalah individu-individu kreatif/entrepreneur yang melakukan kegiatan ekonomi mandiri.
Saat ini semua aktivitas bidang pendidikan, religius, sosial, ekonomi, politik serba daring. Masyarakat terpaksa sadar dan berkonversi ke sana. Momentum ini harus menjadi peluang besar masyarakat melakukan homepreneurship.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, mengubah paradigma dari konsumen menjadi produsen, dari pasif menjadi aktif. Sebab, selama ini kegiatan online lewat gawai rata-rata hanya untuk komunikasi, game, iseng, dan medsosan belaka. Gawai yang harusnya menjadi ladang bisnis dan menghasilkan pundi-pundi rupiah, justru menyedot uang karena masyarakat belum cerdas.
Kedua, mengubah paradigma work from home menjadi work in home yang puncaknya menjadi homepreneurship. Ini bukan sekadar home industry, namun menjadikan semua aktivitas di rumah harus menghasilkan rupiah. Peluang bisnis di bulan Ramadan juga harus dimanfaatkan sebagai momentum mencari rezeki dan keberkahan.
Ketiga, menjadi youtuber. Kita harus berkaca pada youtuber sukses di Indonesia seperti Atta Halilintar yang tahun 2019 masuk daftar 10 youtuber terkaya di dunia. Penghasilannya mencapai sekira Rp 269 miliar per tahun. Estimasinya, perbulan ia mendapat 1,3 juta poundsterling atau Rp 22,4 miliar (Kompas.com, 22/8/2019).
Sampai 20 April 2020, subscriber Atta mencapai 22,2 juta. Youtuber lain, Ria Ricis 19,8 juta, Raditya Dika 8,67 juta, Deddy Corbuzier 8,42 juta, Irfan Halim (deHakims) 4,17 juta subscriber, dan lainnya juga menjadi sorotan. Apakah hanya artis? Tidak. Dulu, Atta bukan artis, dan ia menjadi artis karena sukses di dunia itu. Begitu pula para youtuber lokal di Jawa Tengah, utamanya di Semarang, Grobogan, Pati, Tegal, dan lainnya. Saya menemukan youtuber lokal memiliki jutaan subscriber dengan penghasilan melimpah.
Menjadi youtuber dan conten creater sangat murah dan mudah karena hanya bermodal gawai. Mulai dari produksi video tutorial, cover musik, ulasan produk, sharing pengalaman, unboxing, tips memasak, memancing, hingga kehidupan sehari-hari. Mengapa banyak orang tak sadar melakukan hal itu? Padahal banyak konten video terbuang sia-sia. Seperti video tugas sekolah/kuliah yang dapat diunggah di Youtube yang selama ini menjadi spam, story WA atau dihapus begitu saja.
Keempat, jual-beli online melalui e-commerce, media sosial dan layanan pesan. Produknya berupa barang atau jasa yang dimiliki, ditekuni atau menjadi hobi. Kelima, mendirikan usaha yang sinergi dengan ojol. Banyak sahabat dan tetangga saya yang asalnya jualan keliling, kini berjualan di rumah dan sinergi dengan ojol karena efek corona. Akhirnya, mereka tetap dapat bekerja tanpa harus keluar rumah.
Masih banyak aktivitas homepreneurship dapat dilakukan. Semua bergantung kreativitas dan inovasi. Sudah saatnya masyarakat bertahan hidup dan mandiri melalui wirausaha di rumah. Homepreneurship di tengah pandemi corona ini memang bukan segalanya. Namun, kemandirian dan kedaulatan ekonomi keluarga dapat tumbuh dan berkembang dari sana. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi?
– Pengajar Mata Kuliah Teacherpreneurship Dasar, Penulis Buku Teacherpreneurship, Kaprodi PGMI STAINU Temanggung.