Cerpen Hasan ID
Laras merasa asing. Sudah lama dia tidak mengikuti jam’iyah istighotsah yang diselenggarakan langgar dekat rumahnya. Dia baru pulang kampung dari Jakarta setelah tujuh tahun hidup di sana untuk kuliah lanjut bekerja. Selama itu jarang pulang, sehingga tak sering lagi ikut istighotsah. Tapi, rasanya sudah terlalu banyak yang berubah setelah beberapa waktu dia absen.
Padahal sudah sejak kecil Laras mengikuti istighotsah itu. Mulai TK bahkan. Ibunya selalu mengajak Laras meski belum bisa membaca doa-doa. Sampai kemudian Laras terbiasa datang, dan diwajibkan untuk datang oleh orang tuanya.
Rasanya istighotsah sekarang tak lagi seseru dulu.
- Iklan -
Dulu, ketika masih anak-anak, istighotsah bagi Laras berarti bertemu teman dan bermain-main. Lalu membikin ramai. Lalu Paklik Takim akan marah-marah dengan membawa rotan. Tak jarang benar-benar melecutkannya. Laras sendiri sering kena. Padahal dia perempuan, dan imam yang memimpin istighotsah adalah ayahnya sendiri.
Sampai sekarang warga kampungnya tidak berubah, selalu menggiatkan istighotsah, dan mewajibkan anak-anak ikut apapun alasannya. Tapi, anak-anak itu yang berubah. Kini terasa mereka lebih bisa ditata.
Cukup aneh bagi Laras ketika dia melihat anak-anak duduk rapi di serambi, ikut membaca doa-doa. Yang nakal pasti ada, laki-laki terutama. Tapi Mbak Ratih, atau yang kini dipanggil Ustadzah karena sudah jadi guru mengaji anak-anak itu, bisa mengatasinya. Tidak perlu menggunakan rotan seperti Paklik Takim dulu. Cukup menudingkan spidol, anak yang berulah langsung diam.
Diam-diam Laras ingin tertawa, sebab Ustadzah itu dulunya pun lebih nakal daripada murid-muridnya.
Satu lagi yang dirasa Laras berubah, yang dia temukan ketika membantu persiapan istighotsah tadi sore.
Dulu, persiapan menjelang istighotsah lebih ramai. Sebelum adzan Maghrib, Paklik Takim dibantu anak-anak sudah bekerja bakti membersihkan langgar dan menyiapkan speeker. Perempuan-perempuan sibuk menyiapkan puluran, berupa jajanan dan minuman untuk dinikmati bersama seusai istighotsah. Kini tidak begitu lagi.
Langgar sudah tiap hari selalu bersih, sehingga membersihkannya tak serumit dulu. Speeker, tinggal pencet saklar di dekat pengimaman. Perkara menyiapkan puluran—ah! Tidak ada lagi puluran sekarang. Kini mereka menyebutnya konsumsi. Persiapan konsumsi gampang, tidak perlu repot bikin sendiri seperti puluran pada zaman dulu. Makanan kecil bisa dibeli di pasar, minuman dalam kemasan dibeli di toko sebelah.
Konsumsi dengan puluran, meski sama-sama jajan, rasanya tetap berbeda.
Keduanya tetap membuat anak-anak rebutan. Tapi, semangat anak-anak berebut puluran dulu rasanya lebih seru daripada anak-anak sekarang berebut konsumsi. Seperti tidak ada apa-apanya. Konsumsi sudah dijatah dengan rata dalam kotak kardus kecil, jadi meski rebutan semua kebagian. Kalau dulu, jajan-jajan digelar pada wadah nampan. Lalu benar-benar rebutan. Ada yang tidak kebagian. Lalu ada yang menangis. Kalau beruntung akan ada teman yang memotong jajannya menjadi dua, dibagi untuk dimakan bersama. Anak laki-laki sering ada yang mendapat dua. Laras sendiri juga pernah, setelah menang rebutan melawan teman-temannya.
Bedanya lebih terasa soal minuman. Dulu tidak ada minuman dalam kemasan seperti sekarang. Budhe Sum biasanya membuat wedang dalam ceret besar, minumnya menggunakan gelas. Tentu saja gelasnya tidak sebanyak jumlah jamaah. Harus gantian. Lagi-lagi anak-anak jadi rebutan. Yang duluan artinya dapat gelas baru. Yang belakangan gelas bekas. Waktu itu gelas jadi perkara penting untuk diperebutkan. Terutama anak-anak perempuan, mereka tidak akan mau gelas bekas laki-laki.
Lalu karena rebutan mereka minum dengan terburu-buru. Selalu saja ada yang tersedak. Padahal, wedang bikinan Budhe Sum adalah wedang jahe sereh yang rasanya pedas. Kalau sampai wedang yang mestinya masuk ke kerongkongan itu nyasar ke tenggorokan, rasanya sangat panas. Anehnya, wedang jahe sereh Budhe Sum tetap selalu dicari. Kalau diganti, anak-anak malah mengeluh.
“Enakan wedangnya sereh Budhe Sum.”
Laras merasa lucu, peristiwa-peristiwa tidak membanggakan seperti itu malah membuatnya rindu. Dia ingin merasakan lagi suasana istighotsah seperti masa kecilnya dulu. Mengingat minggu depan dia akan menikah, mungkin hanya ada satu kali kesempatan baginya untuk bernostalgia. Setelah menikah, suaminya akan memboyongnya ke kota yang lebih jauh dari Jakarta.
Sore itu Laras mendatangi rumah Budhe Sum untuk minta diajari membuat wedang jahe sereh. Budhe Sum sempat meledeknya, “Walah, calon manten mau belajar bikin wedang buat suami.”
Olok-olokan semacam ini awalnya terasa manis baginya, tapi belakangan sudah terlalu sering sehingga agak kecut Laras tersenyum.
“Bukan, Budhe. Ini buat istighotsah Kamis depan,” terang Laras.
Budhe Sum merasa sangsi.
Menurutnya, buat apa repot-repot membuat wedang kalau bisa beli minuman kemasan. Belum menyiapkan gelasnya. Orang sekarang kebanyakan sudah ogah minum dengan gelas bergantian, sudah tak mau pakai gelas bekas orang. Lalu, berapa lusin gelas harus dipersiapkan?
“Ayolah, Budhe. Yang penting ajarin saja. Repot-repotnya biar Laras yang ngelakuin. Laras kangen minum wedang jahe sereh buatan Budhe Sum sehabis istighotsah, seperti waktu kecil dulu,” desak Laras.
Budhe Sum ingin tertawa. Laras tidak mengerti bagaimana dirinya dulu kerepotan mengurus Laras dan kawan-kawan ketika berebut minuman. Selalu ribut, lalu bertengkar, ada saja yang tersedak, tak jarang jadi menangis. Kadang-kadang sampai ada gelas yang pecah.
Harus diakui membuat wedang jahe sereh lebih merepotkan dari yang dibayanglan oleh Laras. Tadinya dia pikir asal bahannya sama, digiling jadi satu, lalu diseduh, selesai sudah. Tapi tidak. Budhe Sum tak mengizinkannya memakai cara instan semacam itu. Bahkan, mulai dari pengumpulan bahan pun Budhe Sum sudah banyak cerewet.
“Kalau pakai jahe di pasar, nanti rasanya beda. Cari jahe di kebun belakang! Lebih sip! Serehnya sekalian, di pinggir-pinggir pagar banyak. Ambil pandan wangi juga, tidak usah banyak-banyak!”
Laras sebenarnya malas urik-urik tanah kebun. Pikirnya, bahan-bahan itu cukup dibeli saja di pasar. Tapi, dari awal memangnya siapa yang suruh bikin wedang? Berhubung sudah terlanjut, sekalian yang serius Laras mengerjakan.
Setelah bahan terkumpul dan dibersihkan, jahe dibakar dulu sebelum digeprek, kemudian direbus bersama dengan daun sereh, pandan wangi, dan gula aren. Ketika membakar jahe, jari Laras sempat kena api. Lagi-lagi, Budhe Sum menggodanya.
“Waduh, calon manten kok tangannya kebakar. Kasihan suaminya, dapat perawan tapi tangannya belang-belang.”
Laras hanya meringis sambil mengulum jari.
Tapi akhirnya Laras berhasil. Setelah sukses uji coba, Kamis sore dia membuat tiga cerek besar wedang jahe sereh untuk suguhan jam’iyah istighotsah malam harinya. Sambutan hangat dia terima dari orang-orang tua dan teman-teman sebayanya. Meskipun, olok-olok itu tetap saja muncul.
“Wah, Laras sudah siap jadi istri yang baik.”
Sedikit kesal, tapi Laras bisa mengabaikannya hari itu.
Dia beralih ke serambi, menghampiri Mbak Ratih dan anak-anak. Anak-anak itu keheranan dengan konsumsi hari ini yang minumannya memakai wedang dalam ceret besar, bukan minuman gelas kemasan seperti biasanya. Makin heran melihat jumlah gelas yang cuma empat buah, jelas tidak cukup untuk mereka semua.
“Minumnya gantian, mulai dari yang kecil dulu,” Mbak Ratih mengatur supaya tertib.
Laras agaknya kurang suka. Dia rindu melihat anak-anak rebutan, rindu dengan nuansa lama. Tapi, dia tidak bisa memprotes Mbak Ratih.
“Sini, giliran pertama, Farah dulu,” Mbak Ratih memanggil anak yang paling kecil. Gadis cilik berkerudung kuning manis itu maju dengan girangnya.
“Ustadzah! Saya kapan?” anak-anak laki-laki rupanya mulai tak sabar.
Laras tersenyum. Seperti itu yang dia inginkan! Tapi, Mbak Ratih pasti tak akan membiarkannya.
“Tunggu giliran! Nanti Ustadzah panggil,” benar saja, Mbak Ratih langsung menegur.
Farah menerima gelas wedang pertama. Matanya binar seperti menemukan mainan baru. Lalu dia meneguknya, sedikit terlalu buru-buru.
Uhk!
Farah tersedak. Minuman jahe panas salah masuk ke saluran napasnya, lalu muncrat keluar melalui hidungnya.
“Astaghfirullahaladzim,” pekik Mbak Ratih. “Hari-hati, sayang,” peringatan yang terlambat.
Farah menjatuhkan gelas dari tangannya. Tidak pecah, tapi sisa wedang menumpahi bajunya. Dia menangis. Keras. Langgar jadi ribut. Ibunya tergopoh menghampiri. Tangisan Farah makin pecah. Anak-anak lain ikut ramai. Ada yang jadi keder, lalu ogah minum. Tapi lebih banyak yang memanfaatkan kelengahan Mbak Ratih untuk mulai berebut minuman.
Riuh!
Mungkin jahat, tapi dalam kegentingan itu Laras menemukan obat rindunya. Dulu, dia pun pernah tersedak hingga menjatuhkan gelas, sampai pecah malahan. Waktu itu dia juga menangis sejadi-jadinya, tapi kini jadi kenangan bahagia.
*Hasan ID, Penulis asal Besuk Sempilan—Sambungrejo, kecamatan Sukodono, Sidoarjo,
aktif di komunitas Malam Puisi Sidoarjo,
buku kumcernya “MONSTER atau sesuatu yang sejenis dengan itu”.