Oleh Mohamad Muzamil
Hubungan ulama (para alim al-alamah) dan Umaro (pemerintahan) dalam sejarah Islam sangat menarik perhatian, karena mengalami hubungan yang dinamis sesuai perkembangan jaman.
Pada masa Nabi Muhammad SAW dan khulafa’ al-rosyidin, antara fungsi ulama dan umaro menjadi terpadu dipegang oleh ahlinya. Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah utusan Alloh yang diberikan wahyu melalui Malaikat Jibril alaihi salam. Setiap tindakan dan kebijakannya selalu benar dan diikuti oleh para sahabatnya. Selain Nabi adalah ma’shum, selalu terjaga benar dan tidak pernah salah, ia memiliki karakter yang sangat kuat dan terpuji: selalu jujur, amanah, cerdas atau Fathonah dan tabligh atau menyampaikan apa yang perlu disampaikan kepada mereka yang berhak. Dengan karakter kepemimpinannya yang autentik, ia tercatat sebagai pemimpin nomer wahid di seluruh dunia sepanjang sejarah.
Setelah Kanjeng Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinannya diteruskan oleh Sahabat Abu Bakar Asshidiq ra, Sahabat Umar bin Khattab ra, Sahabat Utsman bin Affan ra, dan Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. Para pemimpin yang dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin tersebut meskipun bukan merupakan Nabi dan bukan Rasulullah, namun sejak awal telah dididik langsung oleh Rasulullah Muhammad SAW, sehingga merupakan pribadi yang agung, al-alim al-alamah dan sekaligus bersikap adil dalam memimpin, sehingga Islam dapat diterima di hampir seluruh penjuru dunia.
- Iklan -
Dalam masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin tersebut terlihat jelas bahwa ulama dan umaro menyatu dalam karakter kepemimpinannya. Mungkin dari sini muncul ungkapan bahwa ulama dan umaro adalah saudara kembar, agama yang dipegang supremasinya oleh ulama merupakan asasnya atau pondasinya, sedangkan umaro sebagai penjaganya.
Kemudian pada masa selanjutnya seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah serta sesudahnya masa kerajaan atau kasultanan Islam di berbagai belahan dunia Islam mengalami perubahan, kadang ulama hanya menjadi penasehat sultan atau raja, dan kadang juga disingkirkan.
Dalam perjalanan berikutnya justru sering terjadi ketegangan antara ulama dan umaro, dan bahkan cenderung ulama hanya dimanfaatkan umaro untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan politiknya. Namun juga ada ulama yang dengan tegas menyatakan yang benar atau haq adalah benar dan yang salah atau batil adalah batil.
Kemudian pada era negara bangsa dewasa ini juga terdapat pasang surut hubungan antara ulama dan umara.
Pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia, ulama dapat berperan signifikan melalui organisasi seperti hizbullah dan sabilillah, sehingga muncul resolusi jihad oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dalam mengusir para penjajah.
Pada masa Presiden Soekarno, ulama menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan pemerintahan. Setelah itu ulama tidak lagi berada di pemerintahan secara signifikan.
Kemudian pada era reformasi ada upaya kembali ulama masuk di pemerintahan, seperti dilakukan oleh KH Abdurrahman Wahid hingga menjadi Presiden. Setelah itu ulama tidak lagi signifikan kecuali hanya sekedar sebagai “pupuk bawang” dalam kebijakan pemerintah.
Karena itu sejarah adalah guru terbaik untuk pembelajaran saat ini dan mendatang bahwa di dalam pemerintahan selalu ada faksi-faksi, maka seyogyanya ulama tidak melibatkan diri dalam pergerakan faksi-faksi itu, namun tetap komitmen mengamalkan dan mengajarkan ilmu dan akhlaq mulia, seperti dilakukan oleh Pangeran Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dan sebagian laskar Pangeran Diponegoro yang selamat dan terhormat tetap berada di desa-desa mengasuh pesantren-pesantren, sehingga keberadaan ulama menjadi kekuatan moral yang efektif dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat banyak. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah.