Oleh Muamar Ramadhan, M.S.I
Bullying menjadi istilah populer akhir-akhir ini. Bahkan fenomena bullying sudah merambah ke dunia pendidikan dan termasuk perilaku menyimpang (misbehave) siswa yang membahayakan. Celakanya, sejumlah pihak belum menganggap bullying sebagai masalah serius yang harus ditangani.
Secara umum, bullying dipahami sebagai tindakan mengejek, menghina, merendahkan, dan menyakiti. Semua ini menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pergaulan antarsiswa yang seringkali dianggap tindakan wajar. Tindakan bullying dinilai sebagai bahan candaan atau ejekan yang lumrah terjadi di usia anak-anak sekolah. Padahal, meskipun antara mengejek dan bullying sama-sama tidak diperbolehkan, namun bullying harus mendapat perhatian khusus. Hal ini karena dampak bullying akan menjadi akumulasi kekecewaan yang berujung dendam, rendah diri, depresi, bahkan bunuh diri. Paling tidak, dampak terendah bullying adalah akan menghambat pertumbuhan psikologis anak target bully dan prestasinya.
Kondisi lingkungan madrasah/sekolah yang tidak memberikan suasana belajar yang nyaman akibat ‘meremehkan’ bullying ini seharusnya tidak terjadi jika guru maupun orang tua sudah menyadari bahwa bullying berbahaya. Dengan demikian, jika ditemukan kasus bullying akan segera ditangani. Bahkan jika guru baru menemukan ‘potensi’ bullying seharusnya sudah mengantisipasi sejak awal sehingga tidak berubah menjadi tindakan bullying.
- Iklan -
Sekali lagi harus dibedakan antara bullying dan bercanda. Bercanda biasanya dilakukan oleh orang yang setara, misalnya kawan akrab atau anggota suatu komunitas. Meski dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak etis, namun di kalangan komunitas mereka, kata-kata tersebut dinilai wajar dan tidak menyakitkan. Dengan kemampuan membedakan antara bercanda dan membuli, maka perlu dikenal lingkungan siswa dan hubungan sosial antarmereka. Dengan ini, bullying tidak disamakan dengan bercanda atau ejekan biasa yang lumrah.
Unsur-unsur Bullying
Secara konseptual, tindakan bullying harus memenuhi tiga unsur penting, yaini dilakukan dengan terus menerus, bertujuan menyakiti, dan adanya superiotas/ketidakseimbangan antarpersonal. Jika hanya memenuhi salah satunya, maka belum sampai dikategorikan bullying, tetapi ‘potensi bullying”.
Unsur bullying yang pertama adalah dilakukan secara terus menerus dengan target yang sama. Unsur ini akan membuat steorotipe negatif bagi siswa yang menjadi target bullying. Hal ini tentu sangat membebani secara psikologis dan relasi sosial anak tersebut.
Seorang yang menerima bullying secara terus menerus akan menerima dampak buruk. Hal ini diperparah dengan tiadanya tempat untuk mengadu. Bahkan jika mengadu ke guru akan dianggap sepele. Seringjkali guru menganggap itu hal lumrah/wajar dalam kehidupan anak-anak. Bullying dianggap tindakan saling bercanda/mengejek di antara mereka. Demikian juga jika mengadukan ke orang tua, akan dianggap sebagai anak cengeng atau justru diberi nasehat untuk bersabar karena itu ujian dalam menempuh pendidikan di madrasah/sekolah. Tiadanya kesadaran bahwa bullying berdampak buruk bagi anak inilah yang menyebabkan sejumlah pihak tidak menganggap bullying sebagai hal yang berbahaya.
Unsur yang kedua adalah adanya tujuan menyakiti. Unsur tujuan menyakiti terpenuhi dengan tindakan bullying yang dilakukan terus menerus di atas. Tanpa adanya kesengajaan menyakiti, maka tidak mungkin bullying dilakukan terus menerus. Inilah akar permasalahannya. Di antara siswa ada yang dengan sengaja menjadikan target bullying merasa sakit.
Unsur ketiga adalah adanya ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan di antara siswa. Ketidaksetaraan ini menjadi celah bullying. Sejumlah ketidaksetaraan tersebut bisa karena perbedaan fisik (anak berkebutuhan khusus misalnya); latar belakang keluarga (kaya dan miskin); dan sebagainya. Ketidaksetaraan ini menyebabkan siswa yang merasa superior membuli siswa lain yang dinilai mempunyai kekurangan. Atau sebaliknya, siswa yang merasa tersaingi membuli siswa lain yang mempunyai kelebihan. Siswa yang cantik dan berprestasi akan dibuli, karena kecantikannyalah ia mendapatkan prestasi, mendapatkan perhatian lebih dari guru, dan seterusnya.
Dengan deskripsi di atas, sudah saatnya pihak madrasah/sekolah mewaspadai bahaya bullying sehingga dapat menciptakan madrasah/sekolah bebas bullying dan menumbuhkembangkan sikap positif siswa untuk saling menghargai. Apapun alasannya, kebiasaan membuli adalah bagian dari kekerasan terhadap anak yang kadang tidak disadari oleh stakeholder madrasah/sekolah. Dengan demikian, bulllying dengan berbagai bentuknya tidak boleh mendapat tempat di madrasah/sekolah.
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.