Oleh Hamidulloh Ibda
Sejak dilaunching Gerakan Literasi Ma’arif (GLM), semua warga Ma’arif Jawa Tengah tahu sedikit, bahkan ada yang banyak, bahwa melestarikan tradisi literasi itu penting. Meski tentang literasi, mereka sedikit tahu di banyak hal, sedikit tahu di sedikit hal, banyak tahu di sedikit hal, atau banyak tahu di banyak hal. Tapi minimal, virus itu sudah menancap di pikiran sahabat guru, rekan-rekan dan adik-adik pelajar Ma’arif.
Apalagi, sejak ada Rapat Kerja Dinas (Rakerdin) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah di puluhan kabupaten dan kota, literasi semakin bergeliat, dan terakhir terlaksana di UIN Walisongo Semarang, Senin 2 Maret 2020 kemarin. Maka melalui tulisan ini, saya ingin berbagi beberapa dinamika menarik untuk perlu dicari solusinya.
Setiap guru dan pelajar Ma’arif tentu punya ide, katarsis, gagasan yang bernas. Namun kadang tidak disadari, bahwa menulis itu bukan sekadar bekerja untuk “honor”, tapi jelas menurut Pramoedya Ananta Toer, menulis ya bekerja untuk keabadian. Umur karya kita jauh lebih abadi daripada umur penulis, atau umur kita sendiri.
- Iklan -
Di dalam kitab suci agama apa pun belum ada yang menyebutkan bahwa menulis itu wajib hukumnya bagi semua manusia. Namun hemat saya, bagi akademisi, mahasiswa, dosen, kaum intelektual, aktivis sosial dan politisi hukumnya wajib menulis, baik artikel, opini, cerpen, puisi, esai, resensi. Selebihnya tulisan rumpun artikel ilmiah, selain tugas akhir, skripsi, tesis, disertasi, laporan riset, juga artikel ilmiah yang dipublikasikan dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, prosiding seminar, praktik baik, dan lainnya.
Dalam hal ini, tentu tulisan tersebut tidak hanya untuk “koleksi” pribadi saja, melainkan harus diludahkan di media massa, baik cetak maupun online, baik dapat honor ataupun tidak. Maksudnya adalah agar para pembaca mengerti gagasan, ide, wacana, dan solusi yang kita tawarkan lewat tulisan kita. Pasalnya, selama ini banyak penulis lepas yang berorientasi pada “amplop” alias “honor” belaka. Namun bagi penulis, hal itu tak masalah, semua kembali pada niat dan tujuan menulis. Apalah artinya menulis, penulis tetaplah penulis, dan honor dari tulisan adalah sehalal-halalnya rezeki.
Orientasi Penulis
Saat ini, hampir semua orang bisa mengakses internet, Google, dan jejaring sosial lainnya. Bagi pelajar dan mahasiswa, hampir semua memiliki ponsel yang canggih untuk membuka internet. Di sisi lain, banyak pula kalangan yang berlomba mengejar ketenaran, nama, dan citra baik di masyarakat. Akhirnya, mereka berlomba-lomba menulis di media massa untuk mendapatkan tujuan tersebut.
Ada sebagian penulis yang 100% menulis untuk idealisme, memberontak, membela yang lemah, dan melawan dengan teks. Ada juga penulis yang sekadar mengisi waktu luang, untuk mendapatkan nama, dan bargaining position di media massa. Ada penulis yang mengirim tulisan ke media massa untuk syarat akademik, seperti guru, dosen, mahasiswa, dan sebagainya. Dan ada pula tipe penulis pragmatis, karena orientasi menulis hanya untuk mendapatkan honor dari media massa.
Lalu, apakah hal itu dosa, bagi penulis tidak. Mengapa? Karena menulis ke media massa dan mendapatkan honor adalah sah-sah saja. Halal! Bahkan menurut penulis, merampok uang di media massa lebih baik daripada merampok uang rakyat. Itulah yang harus diperhatikan penulis. Demikianlah pesan yang selalu penulis katakan setiap kali mengisi training atau pun pelatihan jurnalistik.
Terlepas dari itu, menulis tetaplah menulis. Dan tulisan tetaplah tulisan jika tak ada perubahan signifikan dari esensi teks tersebut. Bahkan, menulis merupakan ibadah jika diniatkan untuk perbaikan. Jangan sampai menulis hanya berorientasi pada “recehan” belaka. Karena jika sudah ikhlas, bukan penulis yang mengejar uang, tapi uanglah yang mengejar penulis. Intinya, menulis untuk beribadah, dan beribadah dengan menulis.
Beberapa Penyakit
Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji tentang beberapa penyakit penulis yang selama ini terjadi. Selain penyakit plagiasi, duplikasi, falsifikasi, dan fabrikasi, sebenarnya banyak sekali penyakit yang harus diobati.
Pertama, penyakit “kurap” atau kurang rapi. Dalam hal ini, banyak sekali tulisan penulis yang kurap dalam berbagai hal. Mulai dari susunan kata, redaksi, logika kalimat, serta substansi atau konten dalam tulisan tersebut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada penulis pemula yang baru belajar menulis. Padahal, semua redaktur media massa mana pun pasti wegah mengoreksi tulisan yang “acak-acakan” alias semrawut. Sekali redaktur menerima tulisan semrawut, pastilah mereka membuang file tulisan tersebut karena menjadi “spam”. Itu pasti. Karena redaktur adalah orang paling bijaksana dalam dunia jurnalistik.
Kedua, tulisan kurang disiplin alias “kudis”. Penyakit ini juga mendera hampir semua penulis, baik penulis koran, online, bahkan penulis buku dan jurnal. Disiplin dalam hal ini adalah terletak pada semua hal, baik redaksi perhuruf, kata, kalimat, paragraf hingga sebuah tulisan. Di sisi lain, banyak penulis yang tak disiplin menggunakan bahasa, karena sering penulis temukan tulisan yang memakai bahasa ndakik-ndakik dan gaul alias “alay”. Entah apa artinya, mereka hanya menulis laiknya menulis di ponsel dan jejaring sosial.
Kebiasaan menulis di ponsel dan di status sosial menjadikan mereka terbiasa memakai, mengucapkan, dan menulis bahasa yang kurang bahkan tidak baku sama sekali. Padahal, semua penulis (selain sastra) harus “beriman pada EBI” dan sesuai regulasi jurnalistik. Barang siapa yang tidak beriman kepada EBI, maka lebih baik tak usah menjadi penulis. Karena itu merupakan wujud kurang disiplin terhadap aturan.
Penulis yang baik adalah yang tunduk dan patuh terhadap aturan yang berlaku. Jangan sampai penulis “berijtihad” membuat aturan sendiri yang ngawur dan melenceng dari kaidah EBI. Kecuali, mereka menggunakan atau memilih model transliterasi yang lebih mengarah pada kata, kalimat, atau bahasa asli dari bahasa-bahasa serapan.
Seperti contoh “sholawat”, dalam KBBI V yang benar “selawat”, “mushola” dalam KBBI V yang benar “musala”, “jamaah” yang benar dalam KBBI V “jemaah”. Meski dalam KBBI V demikian, ketika memilih mazhab transliterasi yang tidak ada masalah. Keduanya sama-sama benar menurut hemat saya.
Ketiga, penyakit “kutil” alias kurang teliti. Penyakit inilah yang sangat rawan mendera penulis lepas, bahkan penulis buku. Karena ketelitian menjadi kunci utama menjadi penulis baik. Dalam hal ini, penulis sering salah ketika menulis nama, gelar, tempat, struktur bahasa, bahkan salah semua tulisan tersebut. Padahal, salah satu huruf pun bisa menjadi masalah fatal ketika tulisan tersebut dipublikasikan di media massa.
Misalnya, “tahu” menjadi “tahi”, padahal hanya beda huruf U dan I. Inilah salah satu dosa besar penulis yang sering terjadi. Pada intinya, ketelitian tidak hanya dimiliki seorang kasir dan petugas bank, namun ketelitian menjadi harga mati bagi penulis. Itu wajib! Sekali salah menginformasikan atau menulis gagasan dalam bentuk kata, frasa, kalimat, paragraf, maka celakalah yang mengonsumsi tulisan kita.
Keempat, malas, aras-arasen, dan puncaknya tidak istikamah. Alhamdulillah, saya sejak 2008 kuliah, hingga 2020 ini masih istikamah, konsisten menulis dengan berbagai ragam tulisan. Mulai dari karya tulis jurnalistik, karya tulis ilmiah dan karya sastra. Semoga konsisten terus, karena prinsip saya Sing Penting NUlis Terus.
Saya sendiri meski belasan tahun menulis dari artikel populer hingga kini menjadi editor dan reviewer di jurnal ilmiah, saya tetaplah mengidap penyakit-penyakit di atas. Namun saya tetap belajar untuk mengurangi kesalahan itu.
Obat Manjur
Sebenarnya, solusi masalah di atas sangat simpel, karena seseorang jika tahu masalah, penulis yakin tahu solusinya. Seperti contoh, jika kita lapar atau kelaparan, pasti solusinya adalah makan. Namun masalahnya, banyak orang yang tahu solusi atas masalah yang menderanya, tetapi mereka tak mau melakukannya.
Lewat tulisan ini semoga ada solusi yang mau dan mampu dilakukan para penulis. Pertama, untuk mengobati penyakit di atas, penulis harus rapi dalam menulis. Artinya, rapi redaksional dan substansial. Jangan sampai penulis mengirimkan tulisan semrawut ke e-mail media massa. Kalau editornya seperti saya, langsung saya “spamkan”.
Kedua, menjaga kedisiplinan, baik bahasa, huruf, dan isi tulisan. Pasalnya, banyak sekali penulis yang membuat “enteng” masalah kedisiplinan. Banyak penulis asal menulis tanpa meneliti tulisan dan langsung mengirimnya. Padahal, penulis baik adalah mampu menulis apa yang dibaca, dan membaca apa yang ditulis.
Ketiga, menjaga ketelitian. Teliti itu simpel, tapi sulit direalisasikan. Padahal, tulisan sudah diteliti saja banyak yang salah, apalagi tulisan tak diteliti sebelum dikirim ke media, pasti tulisan itu semrawut. Itu pasti. Saya sendiri meski sudah membaca tulisan sendiri berulang-ulang, masih saja ada yang salah, kurang pas, presisinya kurang “makjleb”, apalagi yang tanpa dibaca berulang kali.
Keempat, menjadikan penulis sebagai candu. Ini susah, karena “kecanduan menulis” itu memang berat, tapi konstruktif karena penulis rata-rata ya berpengetahuan luas. Tidak “culun” dan buta informasi. Bandingkan saja!
Yang jelas, tulisan ini hanya curhatan atas penyakit yang pernah penulis alami. Akan tetapi, ini juga menjadi kritik membangun bagi para penulis dan menambah khazanah jurnalistik bagi para pembaca. Semoga ke depan, semakin banyak masyarakat yang pintar menulis dan menulis yang pintar. Karena banyak orang pintar menulis, tetapi belum bisa menulis tulisan pintar.
Guru dan pelajar Ma’arif harus memulai hal itu. Saya sendiri sebagai Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) terus berupaya agar para guru, tendik, maupun pelajar Ma’arif di Jawa Tengah untuk terus menulis. Sing Penting NUlis Terus lah.
Intinya, semua masyarakat khususnya warga NU, dan warga Ma’arif harus menulis. Hukumnya wajib. Kalau bukan warga NU dan Ma’arif, siapa lagi yang menulis? Jangan sampai orang-orang jahat yang menulis di media massa. Karena dari hasil tulisan yang jahat, akan lahir pula peradaban yang jahat. Saatnya menulis dengan benar, baik dan indah. Kapan tulisan Anda dikirim ke media massa?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.