Oleh M. Zainudin Aklis
Kartu Tanda Buku
Judul Buku : Akankah Kami Menjadi Kita
Pengarang : Diyah Ayu Fitriyani Dkk
- Iklan -
Penerbit : Parist Penerbit
Tahun Terbit: cetakan Kedua, September 2019
Tebal Halaman : xi + 150 halaman
Bila mendengar nama Kota Kudus, apa pertama kali yang akan terlintas dalam benak kita? Apakah sebuah kota yang lekat dengan para santrinya sehingga layak disebut kota santri? Atau kota rokok, karena di kota ini, kita akan mendapati adanya pabrik-pabrik rokok di beberapa tempat. Ataukah sebagai kota toleransi karena adanya cerita yang sudah beredar bahwa dahulu Sunan Kudus dan penganut islam saling berdampingan dengan warga penganut Hindu.
Hingga kini, kehidupan toleransi dalam beragama di masyakat Kudus masih terjaga dengan baik. Larangan menyembelih sapi pada saat qurban pun masih ditaati oleh banyak warga Kudus. Namun, selain cerita soal tolerasi, di Kudus masih ada cerita tentang kelompok minoritas hidup saling berdampingan.
Menjadi kelompok minoritas sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil oleh kelompok manyoritas. Apakah betul hukumnya selalu seperti itu? Nah, di buku yang berjudul “Akankah Kami menjadi Kita?” kita akan mengetahuinya. Buku yang digolongkan sebagai Prosa Jurnalisme memuat enam tulisan panjang ini akan membahas tentang kelompok minoritas yang ada di Kudus.
Hidup sebagai minoritas bukanlah hal yang mudah. Stigma buruk kadang datang ketika ada mayoritas tak sepaham. Akan tetapi semua itu bisa teratasi jika mereka saling mengerti batasan batasan bagaimana mereka bersikap dan sama-sama terbuka akan adanya sebuah perbedaan. Di Kudus, salah satu yang menjadi minoritas adalah Ahmadiyah.
Di tulisan berjudul “Warga Ahmadi yang Lolos dari Praktik Diskriminasi” kita akan mendapati bagaimana kerukunan warga Ahmadiyah dibangun dan dilakukan dalam berkehidupan. Salah satu ajaran Ahmadiyah yang dipegang teguh oleh penganutnya hingga kini berbunyi “Love for All Hadred for None, cinta kepada semua dan tidak memembenci siapa pun.”(hlm48) Bukti Ajaran tersebut dapat kita lihat ketika ada warga Ahmadiyah di Muria yang terlibat dalam kepanitiaan haul sesepuh desa yang di gelar pada tiap tahun.
Bila semua orang dapat memahami ajaran itu serta dapat mengamalkannya secara baik mungkin tidak akan terjadi diksriminasi terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita. Tak semua kelompok kecil dapat berkolaborasi dengan lingkungan atau diterima lingkungan. Di buku ini terdapat tulisan berjudul “Striker Dari Pulau Buru” yang mengisahkan perlakuan diskriminasi terhadap Adrin. Mari kita simak sedikit kutipan di buku ini “Sebagai eks-tapol 1965, Adrin kesulitan mendapatkan pekerjaan yang mapan” (hlm114).
Kesulitan ini tidak hanya terjadi pada Adrin yang pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), namun juga dialami oleh simpatisan atau orang yang dituduh ikut PKI. Namun, ia tak menyerah pada peraturan yang telah melarangnya untuk mendapat perjaan yang mapan. Ia, akhirnya mendirikan servis kompor minyak tanah sebagai penopang keluarganya.
Di era yang serba mudah seperti ini, tentu kita harus dapat berpikir dengan lebih baik, terbuka dan adil. Diskriminasi kelompok sudah seharus bukan menjadi laku kita setiap hari. Sebab, tanpa kesadaran itu, kita hanya akan mengulang-ulang pola pikir masa lalu belaka. Lantas apa arti kemajuan hari ini bila tidak dibarengi dengan cara berpikir yang tepat?
Soal Buku
Hal teknis kadang disepelekan oleh banyak orang dan dianggap tak penting. Di buku ini, kita dapat menemui kesalahan teknis seperti penomoran daftar isi dan halaman judul yang tidak tepat. Selain itu, ada satu tulisan yang mengganjal ketika membaca tulisan yang bukan masuk dalam kategori tulisan prosa jurnalisme melainkan berbentuk seperti artikel atau data tambahan. Tulisan berjudul “Ki Samin Surosentiko dan Keberlangsungan Ajarannya” saya kira lebih baik ditaruh di akhir dan dijadikan sebagai data tambahan tentang buku yang menceritakan soal minoritas ini.
Terlepas dari kekurangannya, buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa, dosen, orang yang menyukai kajian jurnalisme atau sekadar orang yang ingin mengetahui seputar kelompok minoritas Kudus atau ingin belajar penulisan dalam bentuk prosa jurnaslisme.[]
-Peresensi adalah mahasiswa Pascasarjana UPGRIS