Oleh Hamid Ahmad
Ketika membuka Whatshap, pertama saya melihat adalah story seorang teman. Disitu ada foto bertiga, dengan kepala botak dan pakaian layaknya “kriminal” sungguhan. Di foto tersebut ditulisi Caption ” Penegakan hukum oke, tetapi memperlakukan mereka seperti maling ayam, jelas tidak menghormati profesi seorang guru. Ingat mereka adalah GURU”
Memang kejadian di Yogyakarta baru-baru ini, menambah daftar panjang catatan hitam dunia pendidikan. Kalau boleh diusulkan tanggal terjadinya bencana di sungai Sempor yang menelan korban 10 siswa tersebut, dijadikan sebagai hari kelam pendidikan Indonesia.
Betapa tidak? Niat mulia seorang guru, untuk mendidik dan melatih anak didiknya agar menjadi pemuda- pemudi yang bermental baja bukan bermental tempe, melalui kegiatan susur sungai pada sesi pelatihan pramuka. Niat mulia berujung tragis ” Air susu dibalas air tuba” mungkin itu peribahasa yang hampir pas dengan kejadian yang dialami guru di Sleman,Yogyakarta.
- Iklan -
Benar-benar bikin geram, ada seorang guru digundul layaknya maling ayam. Banyak yang mengakui dan sangat sadar, bahwa tindakan kelalaian yang menimbulkan nyawa sesorang melayang akan dikenakan pasal 359 dan pasal 360, dengan ancaman pidana kurungan maksimal lima tahun penjara.
Meskipun pada akhirnya, dikatakan pengundulan itu atas inisiatif para guru, tapi kabar sudah terlebih dahulu menyebar, masyarakat tidak serta merta langsung percaya. Malah muncul banyak tandatanya. Kenapa minta digundul?
Ketiga guru tersebut sudah mengakui kesalahannya__mohon maaf atas kelalaianya dan dipidana. Bagi saya itu adalah hukuman yang sangat pantas untuk pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.
Mengingat banyak korban dan ada salah satu orang tua korban yang “curhat” bahwa putrinya yang menjadi korban adalah anak semata wayang. Sudah lama mendambagan anak, kemudian Allah memberikan amanah seorang putri. Namun tadir berkata laian, anak tersebut menjadi korban arus sungai Sempor. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya kehilangan seorang anak yang dicintai, yang disebut-sebut akan merawat orang tua yang sudah senja. Saya juga sadar sebagai orang tua, manusia awam bukan nabi Ibrahim yang rela menyembelih anak satu-satunya, Ismail. Perasaan kehilangan, seperti tidak ada guna hidup jika tidak dibumbui dengan iman di dada.
Hukum sudah bicara, ketiga guru sudah menjadi tersangka. Teror, cibiran kepada keluarga guru yang sebentar lagi purna sudah diterima dengan ke dua tangan. Hukuman sosial sudah masuk super level, belum lagi hotel prodeo menanti. Sungguh malang nasib menjadi seorang guru.
Menaggapi kasus yang menjerat para guru di SMP N 1 Turi. IGI atau Ikatan Guru Indonesia, angkat suara dengan begitu lantang. Muhammad Ramli selaku ketua IGI tidak membela tersangka karena memang sudah lalai, hanya menyayangkan tentang pengundulan guru, seolah mereka adalah maling ayam.
Semuanya tidak mempermasalahkan tentang proses hukum yang berlaku. Memang yang salah harus dihukum, kita hidup di Indonesia, di negara hukum jadi harus menghargai proses hukum. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Namun, tidak selayaknya Polisi memperlakukan seorang guru tidak manusiawi, meskipun mereka jelas dan terang bersalah. Pengundulan telah melunturkan martabat seorang guru.
IGI menyayangkan tindakan Polisi yang mengundul para tersangka. IGI berharap Kapolri memberi sanksi kepada oknum polisi yang telah fatal melakukan blunder. Harusnya mereka sadar, guru memang tidak mempunya gelar dan jasa bintang-bintang seperti lainya. Tetapi ingat bahwa gelar dan pangkat semua lewat campur tangan dari yang terhormat dan yang kami muliakan dialah seorang guru. Polisi harusnya sadar mereka bisa memakai seragam kebesaran berkat jerih payah dan keringat seorang guru.
Saya jadi ingat cerita Jack Ma, seorang pendiri sekaligus pemilik perusahaan raksasa dunia, Alibaba. Kita tahu bahwa Jack Ma adalah seorang yang cerdas, namun dia pernah ditertawakan oleh semua peserta, karena kesalahannya dalam mengerjakan soal matematika.
Soalnya sangat mudah sebenarnya, 2+2=4, 4+4=8, 8+8= 16 dan soal terakhir adalah 9+9 Jack Ma menjawab = 19.
Semua peserta menyorakinya, dan bertanya apakah iya, 9+9= 19 bukankah 18 ya? Jack Ma tersenyum dan mengakui bahwa jawabannya salah.
Jack Ma kemudian berkata, dari 4 soal tersebut bukankah 3 soal saya menjawab benar, dan pada soal terakhir saya salah. Tetapi kenapa Anda hanya terfokus pada satu soal yang salah, sementara tidak ada pujian untuk 3 soal yang benar.
Nah begitulah yang terjadi di lingkungan kita, kadang orang selalu berbuat baik tetapi satu kali melakukan kesalahan, semua dianggap salah.
Kebenaran yang selama ini dilakukan tidak ada lagi. Benar-benar tidak ada keadilan.
Itulah nasib guru di SMP N 1 Turi, Sleman, Yogjakarta. Berapa puluh tahun mengabdi dan berapa jasanya tidak terlihat lagi. Hanya karena kesalahan fatal yang tidak disengaja.
Ironis, guru lalai dalam mendidik selain dikenakan pasal masih dilecehkan dengan gundul ala-ala maling ayam. Keluarga di- bully habis-habisan. Sementara koruptor yang sengaja melakukan tindakan memangsa uang rakyat. Hukum dibuat mainan, penjara disulap menjadi surga.
Tak hanya itu, dalam sel tertentu di Lapas Sukamiskin, Bandung, narapidana kasus korupsi menapat bermacam fasilitas seperti rak buku, lemari es, spring bed, washtafel, kamar mandi lengkap dengan toilet duduk dan pemanas air. Namun, tidak gratis. Mereka harus menyuap pejabat lembaga pemasyarakatan hingga ratusan juta rupiah. Jadi bisa dikatakan judulnya korupsi di dalam sel korupsi (korupsi kuadrat)
Untuk para pahlawan tanpa tanda jasa, tetaplah tasbih digengam, dan mulut selalu berdzikir mengingat Allah. Ini hanya ujian, yakin banyak hikmah di dalamnya. Dan untuk keluarga korban semoga bisa sabar dan memaafkan kekhilafan dari para pendidik yang telah “gagal” menyelamatkan para generasi dari ganasnya alam.
Dan untuk lambe-lambe turah, setop jangan usik keluarga guru, mereka sudah menanggung beban berat. Jangan ikut-ikutan mengadili karena kalian tidak punya hak untuk hal itu. Paham?
-Penulis adalah Relawan Literasi LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Guru SD AL Madina Wonosobo.