Oleh Syukur Budiardjo
Siang itu Ustaz Zainuri kedatangan banyak tamu tak diundang. Selain polisi, juga awak juru warta. Polisi memeriksa jenazah. Mengumpulkan barang bukti. Memotret jenazah. Juga mewancari Ustaz Zainuri.
Para wartawan media cetak dan elektronik hilir mudik. Mereka juga memotret jenazah, meminta foto korban sewaktu masih hidup, dan mewancarai Ustaz Zainuri. Siang yang mengguncang Ustaz Zainuri.
“Tak usah diautopsi, Pak,” kata Ustaz Zainuri.
“Baiklah, kalau itu memang kemauan Pak Ustaz,” jawab polisi.
Polisi berkeyakinan bahwa putri Ustaz Zainuri meninggal karena diduga bunuh diri. Di samping jenazah yang terbujur di tempat tidur, polisi menemukan kaleng obat pembasmi serangga dan gelas berbau menyengat. Selain itu, juga ditemukan kertas layaknya surat wasiat bertuliskan tangan.
“Anisa memohon maaf kepada ayah dan ibu. Karena Anisa tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Daripada menanggung malu, lebih baik Anisa mengakhiri hidup ini. Apalagi di dalam perut Anisa terdapat calon bayi. Maafkan Anisa! Untuk Rumpaka, kutunggu engkau di neraka!”
***
Ustaz Zainuri seolah sudah memiliki firasat akan terjadi sesuatu yang tak menyenangkan bakal menimpa putrinya yang masih belajar di kelas 12 Madrasah Aliyah, cantik, dan fasih mengaji. Itu sebabnya, Ustaz Zainuri kerap menasihati Anisa agar berhati-hati dalam bergaul dengan Rumpaka — anak seorang pengusaha di Jakarta.
Anisa berkenalan dengan Rumpaka melalui Facebook. Bermula dari inboks, kemudian berlanjut ke kopi darat atau tatap muka.
Rumpaka memang tampan. Ia juga mahasiswa. Hingga pada pertemuan yang kesekian kalinya, badai menggelora dan bulan beranjangsana. Mereka terlarut ke dalam pusaran kemelut.
“Kamu harus bertanggung jawab atas semua ini,” kata Anisa.
“Aku tak dapat memenuhi permintaanmu karena ayahku memintaku melanjutkan kuliah ke luar negeri,” kata Rumpaka berbohong.
Di atas telaga tempat mereka bertemu, mendung menggantung di langit. Sementara itu, tangis gadis cantik berjilbab itu tak terbendung. Senja yang murung.
***
Di kamarnya Anisa menangis sesenggukan. Ia menyesali semua yang telah terjadi.
Hari demi hari ia lalui dengan perasaan bersalah. Sementara itu, perutnya makin membesar karena benih yang telah ditanamkan oleh Rumpaka. Meski ia sangat kecewa, karena Rumpaka telah mengingkari janjinya.
Pernah tebersit di dalam hatinya keinginan untuk mengutarakan semua yang telah dialaminya itu kepada orang tuanya. Namun ia takut. Ia tak berani. Ia lebih memilih diam dan merahasiakannya. Ia simpan untuk dirinya sendiri.
Anisa merasa malu karena karena ia putri seorang ustaz yang disegani di kampungnya. Tetapi ia tak bisa mengingkari bahwa semuanya telah terjadi. Nasi telah menjadi bubur.
Anisa pernah berencana menggugurkan kandungan yang ada di dalam perutnya. Mungkin ke dokter, bidan atau dukun beranak. Akan tetapi ia mengurungkan niatnya itu. Karena ia tak sampai hati terhadap si calon bayi.
Suatu ketika Anisa mengurung diri di kamarnya. Ketika ibunya menanyakan penyebab ia mengurung diri di kamar, ia tak mau membukakan pintu. Ketika ayahnya mencoba membujuknya agar Anisa membukakan pintu, juga tak berhasil. Ia mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Seolah tak boleh ada orang lain yang tahu apa yang terjadi atas dirinya.
Karena curiga terjadi sesuatu yang tidak baik bagi putri bungsunya itu, ayak Anisa mendobrak pintu kamarnya. Betapa sangat terkejutnya ayah Anisa melihat pemandangan yang tak seperti biasanya. Tidak ada suara, tapi hanya ada aroma tak sedap di kamar Anisa.
Ayah Anisa makin terkesima ketika melihat putrinya itu terbujur di atas tempat tidur. Sendiri. Layaknya terlelap. Hanya diam. Tak bergerak. Tubuhnya kaku. Membisu.
***
Rumpaka mengemudikan kendaraan dengan kencang meninggalkan kawasan Jalan Mangga Besar, tempat ia biasa mencumbui dunia gemerlapan. Ketika melewati Jalan Gajah Mada, angin parak pagi bertiup sangat kencang. Hingga selembar koran bekas terbawa angin, kemudian menempel ke kaca depan toyota kijang yang dikemudikan Rumpaka.
Rupanya koran itu berisi berita bunuh diri Anisa dan foto profilnya. Rumpaka gelagapan karena pandangannya terhalang koran. Apalagi foto Anisa di koran itu seolah memandangnya dengan sorot mata tajam menikam. Suara tangisan Anisa yang menyayat pun seolah-olah terngiang di telinganya.
Rumpaka tak dapat menguasai kemudi hingga kendaraan yang dikemudikan menerabas pembatas jalan busway, kemudian menabrak besi jembatan Kali Ciliwung. Kendaraan berhenti, tetapi setir mobil menghantam keras dada Rumpaka. Darah muncrat dari mulutnya.
***
Dua anggota polisi berboncengan sepeda motor datang menghampirinya. Seorang anggota polisi memeriksa Rumpaka yang diam membisu. Lalu menelepon rumah sakit agar mengantarkan ambulans.
Seorang anggota polisi lainnya dengan hati-hati mengambil koran bekas yang masih menempel kuat di kaca depan kendaraan. Mata anggota polisi itu terbelalak ketika membaca judul berita dan foto yang terdapat di koran bekas itu. “Gadis Cantik Putri Pak Ustaz Meninggal Diduga Bunuh Diri”.
Cibinong, 25 Desember 2019
____________________________
*) Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media online, dan media sosial. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Kontributor sejumlah buku antologi puisi. Buku kumpulan puisi tunggalnya Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018) dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019). Juga menyusun buku Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi (2018). Akun Fcebook, Instagram, dan Youtube-nya menggunakan nama Sukur Budiharjo. Email miliknya adalah budiharjosukur@gmail.com Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.