Oleh Khamim Saifuddin
Indonesia, khususnya Jawa tak bisa dilepaskan dari tradisi lokal. Di tengah modernitas yang terus menggerus, praktik tradisi tetap berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun. Tradisi ini tentu memiliki tujuan jelas dan lebih penting lagi sarat dengan nilai-nilai moral kehidupan.
Namun, terkadang banyak orang belum bahkan tak mengerti tujuan dan makna dalam tradisi-tradisi tersebut. Mayoritas masyarakat hanya mengikuti tanpa mengerti apa yang sebenarnya dijalani, salah satunya tradisi apeman. Akibatnya, lantaran tak ada dalilnya, mereka meninggalkan bahkan mengharam-haramkan tradisi itu.
Tradisi ini tetap dilaksanakan untuk menjaga warisan ulama, terutama Walisongo dan mengharapkan keridaan Allah atas apa yang telah dan akan dilakukan. Praktik tradisi yang ada di Indonesia sangat beragam dan dipengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Akhirnya, meski substansi tradisi sama, namun praktiknya berbeda, salah satunya apeman.
- Iklan -
Epistemologi Apem
Apeman merupakan tradisi lokal yang dilakukan setiap satu tahun sekali di bulan Ramadan. Namun, tal hanya saat Ramadan, apeman juga dilakukan di bulan Ruwah.
Apem, Apemen, Afwun.
Secara fisik, apem merupakan salah satu jenis makanan populer di masyarakat Jawa. Produk ini, terbuat dari campuran tepung beras dan santan serta bumbu tambahan sebagai ciri khasnya. Secara rasa, apem sangat lezat dan gurih walaupun di beberapa daerah telah memodifikasi dengan varian rasa lain.
Apakah apem hanya urusan makanan? Atau mempunyai nilai-nilai substantif di balik nama makanan yang memiliki rasa legit dan gurih ini? Mengapa hanya apem yang menjadi tradisi apeman? Padahal, ada tiwul, tape, putu, dan makanan lokal lain. Mari kita bongkar satu persatu tradisi apeman di berbagai daerah.
Di Jepara, apem memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi. Walaupun sesungguhnya, apem bukan makanan khas Jepara, melainkan dari Comal Pemalang. Secara fisik, apem dari kedua daerah ini tak terpaut jauh. Berbentuk bulat, agak lembek dan lembut saat digigi.
Keberadaannya sudah ada sejak lama di daerah tersebut. Makanan ini seakan menjadi kewajiban untuk dihidangkan di hari raya Idul Fitri. Imbasnya, dari tradisi ini maka Hari Raya Idul Fitri lebih lekang disebut dengan “apeman” atau “bodho apem”.
Beda lagi yang ada di Temanggung, tradisi kepungan apem (maka bersama) berlangsung tiap tanggal 25 Ramadan. Biasanya, tradisi apeman dilakukan setelah salat tarawih di masjid atau musala setempat yang dipimpin langsung imam masjid atau langgar.
Di Pati, apeman berlangsung tiap tanggal 29 Ramadan usai tarawih. Sebelum acara puncak, tradisi apeman diawali dengan pembacaan tahlil bersama dan mengirim doa kepada leluhur dan diakhiri dengan saling bertukar apem yang dimakan bersama.
Cara menyantapnya cukup langsung dimakan, atau bisa juga ditambahkan dengan paduan santan rebus gula jawa/aren serta campuran daun pandan wangi. Paduan santan ini kemudian lebih terkenal dengan sebutan juruh.
Tradisi Memaafkan
Banyak sumber melandasi penggunaan kata apeman. Setelah saya telusuri, apema-apeman, berasal dari Bahasa Arab ‘afwan yang berarti maaf. Kata ‘afwan selanjutnya bertransformasi menjadi kata apeman sejalan dengan dialek Bahasa Jawa yang kental.
Apeman juga diambil dari kata “ampun” yang sepadan dengan maaf. Kata ampun ini bertransformasi menjadi kata apeman sesuai dengan dialek Jawa yang berkembang di masyarakat. Ada beberapa simpulan dan substansi apeman.
Pertama, maksud apeman bertujuan saling memaafkan satu sama lain. Harapannya, ketika telah saling memaafkan, maka Allah akan memberi kemudahan dalam segala urusan. Jadi masyarakat Jawa sangat kental akan ukhuwah antar manusia yang penuh dengan ajaran budi pekerti
Kedua, apeman mampu memupuk persatuan dan kesatuan dalam keluarga besar khususnya dan seluruh warga masyarakat secara umum melalui silaturrahmi antar warga. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan niscaya kemakmuran tidak akan tercapai. Hal ini bisa kita lihat pada saat semua warga melakukan makan bersama dalam satu tempat dan juga saling bertukar makanan yang menandakan perlu adanya saling merasakan kondisi orang lain.
Ketiga, apeman membangun nilai-nilai kearifan untuk selalu berbagi dengan yang lain. Tradisi saling punjung (memberi makanan), menandakan tradisi apeman sarat dengan nilai-nilai sedekah. Dalam Islam, diharapkan untuk saling tolong-menolong antar sesama.
Melestarikan
Walaupun hanya berlangsung setahun sekali, tradisi ini hanya diperingati sederhana. Zaman dahulu, masyarakat membuat apem satu hari sebelum diadakannya peringatan apeman.
Namun sekarang masyarakat lebih cenderung memilih jalan yang praktis yaitu membeli di pasar terdekat. Setelah itu, apem yang telah dibuat tadi diantarkan ke rumah kerabat dekat dan para tetangga. Hal ini untuk merekatkan tali silaturrahim sekaligus menyampaikan ucapan maaf dengan perantara apem tersebut.
Meskipun jajanan yang diantarkan sama jenisnya, namun suasana harmonis mampu menciptakan suasana yang berbeda di antara sesama. Tradisi apeman merupakan bentuk ucapan maaf terhadap sesama manusia dengan harapan untuk dimudahkan segala urusan oleh Allah SWT.
Tradisi ini tidak terdapat di semua wilayah di Jawa. Mayoritas masyarakat yang melakukan tradisi ini adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan yang bekerja di bidang pertanian (agraris).
Hal inilah yang memberi nilai plus terhadap tradisi yang berlangsung selama bertahun-tahun. Tak perlu meriah, asalkan mampu memberi nilai tambah. Setelah saling memaafkan kepada sesama, kegiatan slametan (minta keselamatan kepada Allah) juga dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga terjalin hubungan yang baik antar sesama manusia serta antara manusia dan Allahnya.
Tujuan dari diadakannya apeman ini yaitu untuk meminta keselamatan kepada Allah dari segala bala, baik yang telah maupun yang akan datang. Adapun setelah acara apeman selesai, masyarakat dapat kembali malaksanakan kegiatannya masing-masing dengan tetap berharap keridaan dari Allah. (Hi/foto: Tempo).
-Penulis adalah Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM) STAINU Temanggung.