Oleh Mohamad Muzamil
Imam Muhammad bin Idris Assafi’i mengatakan bahwa, “saya cinta orang – orang soleh meskipun aku bukan bagian dari mereka…”.
Seorang Imam Madzhab dalam fiqh yang diikuti mayoritas ummat Islam saja mengaku belum termasuk sholih, apalagi kita yang masih awam.
Secara ringkas, sholih adalah orang yang sangat cerdas dan memiliki adab atau perangai akhlak yang sangat terpuji. Hal ini akibat dari pemahamannya yang luas, hatinya bersih, karena disinari cahaya kenabian (nur nubuwah), sehingga menjadi bijaksana dalam mensikapi berbagai keadaan pada diri dan lingkungannya.
- Iklan -
Semoga dengan syafa’at Nabi Muhammad SAW, kita beserta keluarga dan peserta didik kita seluruhnya diberikan akhlak yang baik oleh Alloh SWT sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan para pengikutnya yang sholih, juga diberikan ilmu yang bermanfaat, amin. “Adabani Robbi fa ahsana ta’dibi”.
Oleh karenanya pendidikan adab harus dilakukan sejak dini guna memberikan suri tauladan yang baik kepada keluarga dan para peserta didik. Hal ini secara terus menerus dilakukan ulama al-salaf al-sholih di lingkungannya hingga sekarang di pesantren-pesantren.
Pendidikan adab memang bukan semata tanggung jawab para pendidik di sekolah atau madrasah, melainkan juga orang tua di rumah dan anggota masyarakat di lingkungannya masing-masing. Hal ini oleh Ki Hadjar Dewantara disebut dengan tri pusat pendidikan.
Pendidikan adab dapat dilakukan melalui upaya pembiasaan, yakni membiasakan diri kita dan kekuarga serta anak didik kita untuk terus menerus berpikir, bersikap dan bertindak yang terbaik, santun, menghargai orang lain dan tidak sewenang-wenang.
Pendidikan adab merupakan ikhtiar untuk membentuk kepribadian yang utuh, baik sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial maupun sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa kepada Alloh SWT. Hal ini sangat penting karena Nabi Muhammad SAW dipuji oleh Alloh SWT bukan karena ilmunya, bukan karena hartanya, dan juga bukan karena kedudukannya, melainkan karena akhlak yang sangat mulia. “Wa innaka la’ala khuluq al-adzim”.
Para Sahabat Nabi juga memiliki akhlak yang sangat terpuji yang kemudian diikuti oleh para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan ulama al-salaf al-sholih.
Mereka adalah orang-orang yang dikehendaki Alloh SWT memperoleh ridlo-Nya. Mereka memiliki keimanan yang sangat kuat (muwahid), memahami ilmu yang sangat luas (faqih), dan menjalankan tasawuf (shufi). Orientasinya adalah untuk mewujudkan kemaslahan hidup seluruh makhluk semata-mata karena mencari ridlo Alloh Ta’ala. Keyakinan (i’tiqot) mereka adalah ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, mengikuti Rasulullah dan para Sahabatnya. Mereka menjalankan syari’ah, bersikap zuhud dan wira’i.
Secara ringkas, zuhud adalah sikap yang disukai oleh Alloh SWT karena dalam hatinya selalu mengingat dan memuji Alloh SWT, memohon ampun kepada-Nya dan memohon agar sholawat dan salam Alloh tetap terlimpah kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, keluarganya dan para pengikutnya hingga akhirat.
Sedang wira’i juga merupakan sikap yang disukai Alloh karena selalu menjaga diri dari hal-hal yang subhat, agar dapat terhindar dari hal-hal yang haram. Hal ini juga sangat penting karena jika mampu membiasakan diri dari menghindari hal-hal yang subhat, maka lama-lama akan bisa menghindarkan diri dari hal-hal yang haram, sebagaimana jika terbiasa meninggalkan yang sunah maka lama-lama akan terbiasa meninggalkan yang wajib. Semoga Alloh SWT menjaga kita, keluarga dan anak didik kita dari hal-hal yang tidak disukai-Nya, amin.
Karena itu, adab tidak hanya terkait dengan sikap sesama umat manusia, namun juga terkait sikap kepada Alloh Yang Maha Mulia.
Seseorang dan atau suatu bangsa yang mampu memghiasinya dengan adab tersebut maka dengan sendirinya akan mampu menjaga kehormatan (marwah)-nya. Jadi kehormatan ini tidak akan dicapai dengan cara melanggar aturan yang ada. Bukankah mawah itu untuk orang-orang yang mampu menjaga muru’ahnya? Wallahu a’lam.