Oleh M. Dalhar
Setiap bulan Rabiul Awal atau yang lazim disebut sasi mulud tiba, ada nuansa yang berbeda. Setelah Maghrib banyak musala atau masjid yang menyelenggarakan pembacaan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw atau yang dikenal dengan sholawatan. Lazimnya, pembacaan dilakukan selama 12 malam berturut-turut.
Istilah Sholawatan diambil dari kata selawat yang berarti puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw (KBBI). Ada juga yang menyebutnya “maulid”, diambil dari Bahasa Arab yang bermakna hari kelahiran. Ada beberapa syair atau kitab yang lazim digunakan oleh masyarakat, antara lain: Syaraful Anam, Burdah, al-Barjanji, Diba’, Simtudduror dan masih banyak lainnya. Semuanya menjelaskan tentang keluhuran sifat Nabi Muhammad Saw.
Di Banjaragung -desa penulis- umumnya menggunakan kitab maulid al-Barjanji. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, banyak yang membaca maulid Simtudduror karya habib Ali al-Habsyi. Kitab yang cukup populer di kawasan perkotaan dan kini mulai merambah di pedesaan. Kemasyhuran kitab ini tidak lepas dari peran habib Syech bin Abdul Qadir dari Kota Surakarta (baca: Solo) yang banyak membacakannya di berbagai daerah. Dengan suara dan keindahan bait-baitnya, menjadikan masyarakat tertarik untuk membacanya.
- Iklan -
Membaca bait-bait kitab maulid berbeda dengan membaca al-Qur’an, sehingga dibutuhkan keahlian khusus. Rangkaian hurufnya akan terasa sulit bagi mereka yang belum terbiasa membaca.
Boleh jadi benar, bahwa fasihnya pembacaan kitab al-barjanji oleh generasi tua menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya, ketika mereka masih kanak-kanak, kegiatan pembacaan selawat sudah rutin dilakukan. Mengingat, pada waktu dulu, belum massif perkembangan hadrah dan majelis selawat sebagaimana hari ini.
Membaca al-Barjanji, Simtuddurar ataupun kitab yang lain tergantung dari kebiasaan yang berkembang di masyarakat setempat. Dan tidak menutup kemungkinan akan berubah sesuai perkembangan zaman. Yang paling dikhawatirkan adalah jika tradisi tersebut hilang dari musala atau masjid di sekitar kita.
Edukasi
Hadirnya majelis maulid di pedesaan tidak dapat dilepaskan dari pembawa ajaran Islam di daerahda setempat. Jika diamati lebih jauh, kegiatan kultural semacam itu menjadi media pembelajaran bagi masyarakat, terutama dewasa ini, untuk belajar cinta (mahabbah) kepada nabi.
Pembelajaran untuk mahabbah inilah yang menurut penulis belum tampak optimal dalam pendidikan formal sebagaimana madrasah. Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam atau agama Islam hanya sedikit yang membahas tentang kehidupan nabi dan para sahabatnya. Sulit menginternalisasi rasa cinta jika kenal saja tidak. Begitulah yang terjadi. Meski mahabbah tidak harus tahu secara total. Cinta itu sulit dijelaskan, tetapi kehadirannya dapat dirasakan.
Di dalam majelis selawat, ada orang-orang yang tidak mengetahui arti secara bahasa dari setiap lafal, tetapi dapat merasakan ketentraman saat melantunkan syair-syair pujian kepada manusia yang paling mulia. Tidak jarang kita melihat orang-orang yang mengalirkan air mata saat berdiri, mahallul qiyam.
Banyaknya majelis selawat beberapa tahun belakangan merupakan hal yang positif. Ada pergeseran, tidak hanya hadir di masjid atau mushola, tetapi dari panggung ke panggung. Akan tetapi, di dalam majelis seringkali terlihat ada etika yang tidak pantas, semisal berjoget. Seringkali kita dengar, hal semacam itu sudah baik, daripada mereka pergi ke acara dangdut.
Madrasah, sebagai lembaga pendidikan formal yang dipercaya oleh masyarakat dapat mengambil peran untuk mengoptimalkan gerakan cinta rasul. Gerakan ini dapat dimulai dari ruang kelas. Pada bulan Rabiul Awal ada kurikulum tentang kehidupan nabi. Sejarah nabi diulas tidak hanya secara kronologis, tetapi juga sikap-sikap keteladanan dapat disampaikan. Penjelasan semacam ini yang belum banyak disampaikan pada majelis maulid.
Perkembangan teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyimak ceramah-ceramah tentang sejarah nabi yang disampaikan oleh para kiai atau habaib. Atau sekurang-kurangnya dapat memberikan tugas kepada siswa untuk menulis kisah dan keteladanan dari Nabi Muhammad Saw. Prinsipnya, hal itu semua dapat dilakukan asalkan ada kemauan dalam diri.
Secara berkesinambungan pembahasan tentang kehidupan nabi disampaikan. Jika diperlukan, penerjemahan syair-syair yang dibaca merupakan sesuatu yang menarik dilakukan. Di samping itu, juga penting bagi siswa untuk berlatih membaca kitab maulid sesuai kebiasaan di masyarakat setempat.
Dan, pada 12 Rabiul Awal lazim diselenggarakan majelis maulid di lingkungan madrasah. Dan ini bersifat wajib karena sebagai bukti bahwa madrasah memiliki peran dalam pelestarian nilai-nilai Islam dan budaya. Para siswa dapat berbagi peran sebagai membaca dan pelantun syair-syair selawat. Secara perlahan, majelis selawat dan madrasah dapat menjadi ruang persemaian generasi mahabbah kepada rasul. Jika sudah cinta, meniru perilaku akan menjadi tahap selanjutnya.
–Penulis Alumnus Pesantren Kulon Banon Pati, tinggal di Jepara