Oleh Abdul Khalim
Ela-elo sering kita dengar dalam tembang Sluku-sluku Bathok gubahan Sunan Kalijaga. Ela-elo dalam diksi Bahasa Jawa sangat dikenal oleh masyarakat Jawa. Ela-elo dimaknai sebagai kalimat “la ilaha illallah” atau kalimat tauhid.
Ela-elo pendidikan adalah sebuah jargon di mana proses pendidikan harus menuju pada nilai-nilai ketauhidan. Itu artinya bahwa pendidikan harus mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Akhir sebuah pendidikan adalah peserta didik mengenal Tuhan atau memiliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pelafalan lain kata ela-elo adalah diksi atau kata tambahan atau pelengkap untuk memulai ucapan. Namun lebih menunjukan nada santai. Misalkan dalam tembang “ela-elo mbok yo ojo ngono”. Kata ela-elo menunjukan nada “gayengan” untuk menegaskan kata berikutnya dengan nada santai. Meskipun dengan nada santai tetapi tetap menunjukan keseriusanya untuk mewujudkan perintah.
- Iklan -
Ela-elo pendidikan dalam makna ini adalah melakukan proses pendidikan dengan gaya yang santai, tidak ruwed tetapi tujuan pendidikan tetap tercapai. Itulah pendidikan yang dilakukan oleh para guru kita zaman dulu. Mereka mengajar dengan santai tanpa dibebani administrasi pembelajaran dan tetek mbengeknya sehingga lebih focus bagaimana mendidik anak agar pandai dan memiliki akhlak yang baik. Perkara administrasi pembelajaran tidak begitu penting karena hakikatnya administrasi pembelajaran bagi guru seperti itu sudah melekat dalam kepribadiannya sehingga dalam mengajar tidak akan melenceng.
Di akhir semester tentu tentu para guru sedang sibuk membuat nilai rapot. Rutinitas ini sering membuat guru pusing tujuh keliling. Mengolah nilai rapot sebenarnya sudah menjadi kebiasaan guru yang tak perlu dipusingkan karena hanya merupakan akumulasi evaluasi peserta didik sejak dimulai proses pembelajaranya. Namun demikian guru pada umumnya masih merasa itu adalah pekerjaan rodi yang memusingkan. Pasalnya system pengisian rapot yang berganti-ganti menyesuaikan containt yang ada dalam aplikasi dengan teknologi kekinian.
ARD, ya ARD merupakan biang kerok kepusingan guru terutama guru senior yang kurang mengikuti perkembangan tekhnologi. Suatu ketika saya ngoblol dengan salah satu guru SD yang usianya menjelang pension. “Dadi guru zaman saiki koyo mlebu kahanan sing bedo blas” kira-kira beliau mau mengatakan bahwa menjadi guru era milenial sekarang ini sangat berbeda dengan guru zaman dulu yang begitu mudah dan sederhananya membuat administrasi pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.
Berbeda dengan era sekarang guru harus menyesuaikan dengan teknologi yang berkembang dan bagi guru senior merasa terasing darinya mengingat usia yang tidak mungkin sibuk belajara teknologi sebagaimana guru muda. Risikonya adalah guru tidak konsentrasi memikirkan bagaimana mendidik anak dengan baik, akan tetapi lebih cenderung bagaimana membuat administrasi yang baik, termasuk membuat nilai yang baik.
Itulah realita pendidikan sekarang. Karena tuntutan administrasi pengajaran yang begitu rigid terkadang guru tidak memperhatikan hakikat pendidikan. Hakikat pendidikan adalah proses menuju manusia bertaqwa dan memiliki kepribadian yang luhur. Manusia yang memiliki kesadaran ketuhanan yang Maha Esa – Bathoke ela-elo – yakni batin yang selalu mengatakan la-ilaha illallah
Ela-elo pendidikan, dalam konteks kurikulum 2013 sebenarnya berada dalam KI 1 yakni sikap spiritualitas.
Sikap siritualitas ini menjadi landasan utama dalam proses pendidikan agar kelak peserta didik hidup dalam koridor ketuhanan atau ketaqwaan. Jadi apapun peserta didik, sepintar apapun peserta didik harus memiliki sikap Ketuhanan Yang Maha Esa. Ela-elo pendidikan harus ditanam sedemikian rupa dalam pembelajaran. Sistem penilaian dalam KI 1 ini pun harus jujur, artinya jangan sampai ada manipulasi nilai karena karena tuntutan gengsi atau lulus dalam aplikasi ARD.
Dalam proses pengajaranya guru tentu jangan banyak dibebani oleh administrasi pembelajaran yang begitu rigid sehingga menyebabkan guru tidak focus memikirkan peserta didik. Admninistrasi pendidikan harus dibuat seringan mungkin dan tidak membebani guru. Guru dalam mengajar harus dibikin santai administrasinya akan tetapi jelas hasil maksud tujuan pendidikan.
“Ela-elo mbok yo ojo ngono”. Gambaran guru yang seharusnya, santai dalam administrasi tetapi tegas hasil maksud pendidikan yakni tercapainya peserta didik yang meiliki wawasan luas, memiliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki akhlak yang luhur. Bukan nilai bagus dalam ARD tapi rusak dalam realita.
-Penulis adalah Ketua Tim Penyusun Kurikulum Ke-NU-An LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah