Oleh Hamidulloh Ibda
Sejak 6 Juni 2019 sampai 30 November 2019 kemarin, gawai saya hampir tiap hari, selalu menerima berbagai pertanyaan-pertanyaan sama. Repetitif, kadang menjengkelkan jika tidak diniati ibadah dan niat memajukan kualitas literasi di lingkungan LP Ma’arif Nahdlatul Ulama.
Saya dan Mbah Niam At-Majha sebagai kolega yang menginisiasi Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat Nasional LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah tahun 2019 harus bersabar. Kadang juga pengen misuh namun terhentikan karena banyak hiburan dari para penanya.
“Ustazah, nanti kalau menang dapat uang transport apa tidak?” Demikian cerita Mbah Niam kepada saya beberapa waktu lalu.
- Iklan -
Profil foto di WA juga laki-laki. Tapi, Mbah Niam disapa “ustazah”. Ciye…. ledek saya kala itu sembari ngakak.
“Tak takoni ya durung nulis opo maneh ngirim. Ngono wes tekon tetek bengek tekan uang transport barang, Mas. Piye ngunu kuwi?” Begitu keluhan Mbah Niam.
“Sabar, Mas. Manuso ki macem-macem. Ono sing ngunu kuwi barang. Lumayan kanggo hiburan. Hehehe…” jawab saya.
Keanekaragaman psikologi peserta itulah yang membuat kami bahagia. Ternyata, tanpa merujuk riset PISA atau Unesco, kualitas literasi kita memang belum maksimal. Saya tidak menyebut rendah, dikira nanti tidak ada GAP riset dan state of the art dalam memandang sebuah problem akademik. Agar pula tidak disebut klaim ilmiah.
Tapi, begitulah kira-kira dinamika dan kekonyolan membahagiakan dalam mengawal LKTI LP Ma’arif PWNU Jateng yang resmi akan difinalkan 12 Desember 2019. Ini baru secuil cerita betapa tidak maksimalnya orang menjalankan kegiatan atau mengikuti lomba.
Peserta itu Raja, Tapi…
Ya, bagi kami, pelayanan adalah nomor satu dalam khidmat di LP Ma’arif NU. Apalagi, LKTI yang digelar Bidang Diklat dan Litbang kali pertama ini lingkupnya nasional. Menjawab WA, menjelaskan panduan teknis, tata cara, aturan, dan metode pengiriman adalah bagian dari pelayanan.
Menjadi panitia lomba, banyak sekali humornya. Bukan humor yang datang dari saya, namun yang datang dari peserta itu sendiri. Rata-rata, mereka berminat tinggi ikut lomba, entah alasan gengsi ingin juara, nama, sekadar iseng, dorongan hobi, atau motivasi dapat hadiah, tentu beragam.
Kami yang kadar empiriknya tinggi dalam mengikuti lomba, sering juga tanya. Namun, bukan pertanyaan retoris, karena semua pertanyaan itu kami ajukan selain atau yang tidak ada di juknis, ketentuan, atau panduan lomba.
Ini beda. Ya, kali ini peserta LKTI menggemaskan melalui pertanyaannya. Contohkan saja pertanyaan ngirimnya di mana, panduannya di mana, padahal semua sudah kami sediakan paket komplit di berita lewat laman maarinujateng.or.id bahkan di belasan media siber.
Tapi ya karena kami panitia, kami adalah pelayan. Melayani calon peserta yang kami anggap raja. Tapi masalahnya, mosok raja kok kakean tekon dan sebodoh itu?
Beberapa Catatan
Hal pokok yang luput dilakukan peserta ada beberapa aspek. Pertama, rata-rata peserta tidak membaca informasi lomba sampai clear. Ya panduannya, sampai template untuk menulis karya. Harusnya mereka banyak baca: jangan sekadar tanya.
Kedua, banyak peserta membuat mazhab sendiri dalam penulisan naskah LKTI karena tidak membaca dan menerapkan author guidelines template.
Ketiga, banyak peserta salah memilih kategori. Seperti cintoh kategori Ma’arif 1 ini untuk pelajar jenjang MA/SMA/SMK di bawah naungan LP Ma’arif NU. Tapi, ada pelajar SMA Negeri, SMK Negeri, MA Negeri, daftar ke sini. Kan lucu.
Ini bukti bahwa mereka tidak memperhatikan buku panduan. Begitu pula dengan guru, pada kategori Ma’arif 2 ini untuk tenaga kependidikan, guru, dan kepala madrasah/sekolah Ma’arif serta pengurus LP Ma’arif. Anehnya, banyak guru SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri daftar ke sini.
Selain kategori Ma’arif 1 dan Ma’arif 2, pada lomba ini juga ada kategori Ma’arif 3 untuk mahasiswa jenjang S1, S2, S3 dari kampus di bawah LPTNU/NU, dan Ma’arif 4 untuk umum. Meski banyak yang kacau dalam segi pendaftaran, tapi kami mengapresiasi antusiasme peserta LKTI yang digelar kali pertama oleh pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah tersebut.
Keempat, minimnya literatur ilmiah yang digunakan. Ada banyak artikel yang 100 persen rujukan internet. Kita cek, tingkat similarity (kesamaan) dengan di blog hampir 90 persen. Harusnya guru membimbing putra-putrinya. Rujukan online boleh, tapi dari jurnal online. Bukan blog lah yang kadar keilmiahannya diragukan. Karena ini lomba karya ilmiah, bukan lomba menyadur blog.
Kelima, ada pendaftar yang telat dan polos lupa dikira baru tanggal 30 November 2019 padahal sudah tanggal 2 Desember 2019.
Keenam, ada peserta yang ngirim link blog tulisannya. Padahal itu tulisan artikel populer. Artikel populer, Bro.
Ketujuh, ada peserta copas artikelnya dan dikirim di badan email. Ini parah lagi.
Kedelapan, banyak peserta tidak tahu Mendeley dan Zotero. Padahal, mahasiswa saya semester 1 sudah saya ajarkan. La ini, mereka kebanyakan guru, sarjana, magister, bahkan dosen, tapi belum kenal Mendeley dan Zotero. Haduh.
Kesembilan, awamnya peserta LKTI pada dunia sitasi. Mereka bahkan tidak tahu apa itu author guidelines, kaidah selingkung, gaya selingkung. Tahunya sekadar footnote dan innote. Padahal pola ini sesuai gaya apa, style apa.
Kesepuluh, masih banyak peserta salin tempel alias copy and paste dari Google Terjemah ketika menulis abstrak. Ini kalau mudeng Bahasa Inggris, dari segi makna dan translate akan lucu, karena banyak yang typo.
Kira-kira itu sepuluh catatan pokok yang dapat dijadikan refleksi bahwa kualitas literasi kita perlu ditingkatkan. Khususnya, pada karya tulis ilmiah.
Jika peserta lomba karya ilmiah kok mengikuti lomba dengan gaya tidak ilmiah, mending ikut lomba karya sastra saja. Sebab, dunia ilmiah itu ya harus berdasarkan ilmu pengetahuan. Bukan sekadar asumsi, klaim, apalagi hanya kaleng-kaleng, eh emeng-emeng ding.
Masalahnya, apa harus kita ilmiah terus?