Oleh Khamim Saifuddin
“Nek aturan iku dilakokke, mending aku golek kesibukan nang nggon liane waelah sing akeh duite”. Celetukan yang muncul dari mulut seseorang yang pada awalnya menjadi salah satu role model pendidikanku saat ini. Jujur, sangat jarang aku temukan cara pandang seperti itu dalam lingkaran kehidupanku.
Kalau boleh sedikit sombong, dalam kamusku uang hanya menjadi alat penyambung hidup saja dan jauh dari rasa “mendewakannya”. Bagiku hasil tidak akan jauh proses yang dilakukan. “Sing sopo wonge mikir wong mongko arep dipikirke.” Prinsip yang diajarkan guruku saat kuliah dulu dan berharap akan selalu saya pegang dalam hidup.
Di balik peristiwa tadi, saya patut berbangga bahwa banyak makna yang bisa saya jadikan pelajaran hidup sehingga dapat mensikapi realita di lapangan secara adil dan bijaksana. Bahwa semua orang butuh duit, saya sepakat, tapi jangan sampai uang menjadi kendala untuk berkarya atau berekspresi. Ada hal yang lebih penting lagi dari masalah uang yaitu tanggung jawab moral. Menurutku ini lebih penting, apalagi melihat background profesi akademisi tersemat dalam hari-hariku.
- Iklan -
Muasal Mendewakan Uang
Entah apa dasar statement tersebut, yang jelas analisisku mengatakan bahwa ada beberapa hal yang melandasi munculnya perbuatan tersebut. pertama, mempunyai pemikiran bahwa uang lebih dari segalanya. Bagi orang yang berpaham materialistik biasanya memegang prinsip bahwa uang adalah segalanya dan melebihi apapun. Dasar mereka bekerja hanya untuk melaksanakan obsesi terhadap uang. Lebih ekstrim lagi mereka telah dibutakan oleh uang dan harta. Setiap orang perlu memiliki pemikiran kaya, tapi janganlah sampai menampilkan sikap gila harta.
Kedua, memiliki pemikiran bahwa uang merupakan kunci kebahagiaan. Setiap orang pasti pernah berandai-andai manakala punya uang segudang. Tentu pelariannya akan berpikir untuk pergi shooping di mall, traveling keluar negeri sesuka hati dan bisa mempunyai kendaraan berkelas dunia. Term ini sepintas akan menyimpulkan bahwa uang adalah sumber dan satu-satunya alat untuk bahagia.
Pandangan yang cukup gegabah jika berpendapat bahwa uang bisa membeli kebahagiaan. Semua orang memang membutuhkan uang namun bukan berarti kebahagiaan akan dating hanya dengan uang. Kita bisa mengumpamakan dengan apalah uang bermiliar-miliar jika sakit-sakitan, akan lebih baik jika hidup sederhana tapi tetap sehat dan berada dalam lingkungan keluarga tercinta.
Ketiga, sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Dalam adagium bahasa jawa dikatakan wis dikei ati kok ngrogroh rempelo. Sifat buruk manusia yang selalu ingin kurang dengan pemberian yang ada. Dalam bahasa agama disebutkan bahwa sangat dilarang menjalankan praktik kufur nikmat. Dalam alquran banyak dibahas tentang kufur nikmat seperti QS al-Baqarah: 152, QS Yusuf:38, QS Saba:13 dan masih banyak lagi lainnya.
Dalam khasanah islam, himmah diperbolehkan, misalnya ingin jadi orang kaya, namun demikian mensyukuri atas pencapaian yang didapat menjadi hal mutlak untuk selalu dilakukan. Cara mensyukurinyapun dengan menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan rezeki yang didapat.
Keempat, gaya hidup glamour. Tidak bisa dimungkiri bahwa sumber dari gaya hidup glamour banyak dipengaruhi dengan faktor pergaulan. Begitu dahsyatnya pengaruh pergaulan maka kita diharapkan untuk pandai memilah dan memilih kawan dalam hidupnya. Kawan disini bisa diartikan sebagai pendamping hidup maupun teman sejawat. Saking pentingnya kawan bahkan dalam Kitab Ta’limul Muta’alim dikatakan bahwa kita diharapkan menjauhi orang yang memiliki sifat jelek.
Kelima, berpikir matre adalah perilaku realistis. Secara bahasa matre searti dengan serakah. Era modern banyak orang yang mencoba mencari pembenaran terhadap suatu tindakan termasuk didalamnya adalah sifat matre merupakan realistis di era sekarang. Parah lagi jika sudah menjustifikasi bahwa matre adalah kebutuhan dasar manusia. Maka segala cara harus ditempuh untuk menghasilkan harta, halal haram tidak lagi menjadi penting untuk dipikirkan.
Keenam, penerapan pendidikan yang salah. Kebiasaan terlalu memberikan sikap dimanja di masa anak-anak, akan berakibat pada kebiasaan hidup enak dan takut akan hidup susah. Dari sini maka seseorang akan tergila-gila dengan harta, tanpa harus susah payah bekerja. Terkait dengan kebiasaan ini membuat seseorang terbiasa berperilaku hidup komsutif, jadi sulit diajak untuk berhemat. Dari sini maka mereka akan cenderung bersikap matre.
Ketujuh, sifat materialistic berkorelasi dengan lemahnya iman. Dari sekian banyak factor, iman merupakan penyebab kunci dalam kemunculan sifat matre. Tidak bisa dinafikan bahwa posisi iman dalam diri manusia mengalami pasang surut. Ketika posisi iman turun maka orang akan mudah tenggelam ke dalam kenikmatan duniawi. Misalnya sibuk mengurus harta benda, sibuk kerja, sibuk mengejar tahta seolah-olah dunia ini bersifat abadi. Bolehlah semua itu dilakukan tetapi harus mampu mengendalikan hawa nafsunya, sebab tuhan tidak jauh dari kita.
Ragam Solusi Preventif
Solusi untuk menghindari penyakit tersebut adalah dengan memberikan pemahaman kepada semua manusia tentang manfaat menikmati hidup ini secara positif. Allah tidak akan pernah memberikan cobaan diluar kemampuan manusia itu sendiri dan setiap permasalahan pasti mempunyai solusi pemecahannya.
Gaya hidup hemat juga menjadi cara untuk mengurangi sifat matre. Penjelasan secara ilmiah dan rasional tentang efek negatif sikap royal yang sejatinya berpotensi selalu dimiliki oleh manusia. Tentunya ragam pendekatan yang digunakan, bisa dengan menggunakan pendekatan agama maupun psikologi.
Hindari kunjungan ke pusat perbelanjaan yang biasanya mengundang keinginan untuk memborong belanjaan yang terkadang tidak begitu dibutuhkannya. Sudah menjadi kelaziman hal itu terjadi lantaran semua manusia diciptaklan lengkap dengan daya “kepinginan” yang tinggi.
So, perbanyak hal yang dapat meningkatkan iman dan hindarilah sifat matre yang berlebihan. Ingatlah bahwa uang bukanlah segala-galanya dan hanya dengan uang akan membawa bahagia.
-Penulis adalah Komite MI Ma’arif Jambon, Kecamatan Gemawang, Temanggung.