Oleh Amar Khasan Wakhid
Ma’arif sebagai lembaga Nahdlatul Ulama (NU) yang konsen dalam dunia pendidikan mengalami tantangan berat hari ini. Dari isu radikalisme, politik, bahkan korupsi. Kita bisa melihat bagaimana fenomena pelajar hari ini. Ada dari sebagian pelajar NU, sekolah diniah Annahdliyah, MTs/SMP Ma’arif, MA/SMA Ma’arif, namun ketika menjadi alumni dan merantau ke kota justru sangat mudah terinfiltrasi oleh golongan-golongan Islam transnasional yang cenderung radikal dan reaksioner.
Dari politik kita melihat bagaimana NU paska Pilpres kemarin masih sangat mudah terjebak pada isu politik praktis, yang mana ini sangat bertentangan dengan Khittah 26 yang pernah dicanangkan PBNU di Situbondo pada 1984. Pada isu korupsi ini sangat memprihatikan bagaimana banyak kader NU justru tertangkap KPK telah melakukan tindak pidana korupsi.
Tiga hal yang sangat penting diperhatikan ini tentu harus ditanggapi serius oleh LP Ma’arif, bagaimana ke depan Ma’arif harus mempunyai tranformasi kesadaran mengenai radikalisme, politik dan korupsi. Karena bagaimana pun pendidikan adalah senjata utama orang NU melawan kebobrokan sebuah bangsa hari ini.
- Iklan -
NU telah sukses menelurkan pesantren sebagai basis pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang berakhlak mulia, berintegritas, dan komprehensif memahami Islam. Namun Ma’arif sebagai lembaga yang fokus dalam pendidikan formal mempunyai tanggung jawab berbeda dibandingkan dengan pesantren. Karena pelajar Ma’arif belum tentu pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Mengenai radikalisme yang lahir dari pelajar-pelajar NU pastinya Ma’arif harus mulai menganalisis apa yang sejatinya dibutuhkan pelajar hari ini. Apakah Ke-NU-an sebagai salah satu mapel dalam pendidikan Ma’arif sudah mampu menjawab tantangan radikalisme hari ini? Atau NU perlu memberikan kurikulum baru yang lebih menunjang kesadaran pelajar NU sebagai upaya deradikalisasi sedari dini.
Radikalisme atau yang lebih serius yaitu aksi-aksi reaksioner tidak selalu menanggapi Islam-Islam radikal, tapi bagaimana sikap kita bereaksi terhadap kelompok tersebut pun kita sendiri bisa terjebak pada radikalisme. Seperti misal pembakaran bendera HTI yang dilakukan Banser pada 2018 kemarin adalah tindakan reaksioner yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
Kita menolak ideologi HTI yang ingin mendirikan negara di atas negara namun harus dengan sikap yang arif dan bijaksana. Aksi tersebut pastinya bukan terjadi tanpa sebab, bisa jadi kita telah lalai memberikan kesadaran ilmiah dan strategis kepada kader-kader kita sendiri. Tentu ini menjadi catatan penting penulis dan Ma’arif.
Dalam isu politik, NU yang sejatinya memberikan ketulusan dalam mencintai bangsa kemarin telah mengalami sebuah pertarungan ideologis tersendiri terlepas dari siapa pun calon presiden yang bertarung. Namun NU disadari atau tidak dengan naiknya Mbah Yai Ma’ruf Amin sebagai Capres yang akhirnya menjadi Wapres telah terjebak pada politik praktis. Yang mana ini merugikan marwah NU yang seharusnya tetap berpegang teguh sebagai organisasi non-politik praktis. Kesepakatan bagaimana NU sebagai organisasi yang konsen dalam politik kebangsaan perlu dikaji ulang. Jangan sampai ketulusan warga NU justru dipolitisasi sebagian pihak untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Ma’arif mempunyai peranan penting bagaimana ke depan kader-kader NU, mau pun pelajar-pelajar NU harus mempunyai kesadaran politis yang orientatif pada bangsa dan negaranya. Tanpa perlu ada intruksi yang tidak diperlukan sama sekali. Kader NU harus melihat politik sebagai kebijakan yang bukan hanya untuk kepentingan sesaat tapi kepentingan untuk masyarakat banyak. Tentunya Ma’arif harus mewadahi kesadaran ini dalam pendidikan sebagai upaya yang dialektis, dialogis.
Isu yang terakhir bagaimana kader-kader NU yang mulai berkiprah di dunia politik, banyak yang tertangkap tangan dalam tindak pidana Korupsi. Sebutlah, Romahurmuziy, Imam Nahrowi, Suryadharma Ali. Kenapa ini terjadi? Kader-kader NU harus melakukan introspeksi manajerial barangkali kita telah luput untuk melihat dinamika administrasi hari ini.
Ma’arif lagi-lagi harus mulai memikirkan agar suatu saat kader-kader NU, pelajar-pelajar NU yang bisa saja terjun dalam dunia politik tidak terjebak pada tindak pidana korupsi. Hal ini agar kita bisa menjaga nama baik NU yang berkomitmen untuk menolak korupsi yang banyak merugikan masyarakat banyak.
Terakhir, penulis kembali mengingatkan bahwa Ma’arif bukan sekadar lembaga yang hanya melahirkan gedung-gedung sekolah atas nama NU, karena itu hanya simbol. Namun yang lebih subtansial dari pada itu adalah, Ma’arif sebagai lembaga yang mewadahi perlawanan warga NU melawan kebobrokan moral, kebodohan, melalui pendidikan.
– Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Faidlul Khikmah Ciklenteng, Cilibur, Paguyangan Brebes. Aktif sebagai anggota Banser Brebes, dan penggiat Gusdurian Bumiayu.