Mei 1988-2012
Kita belum berpisah. Masih ada
percakapan. Di sekitar surut langit malam
kata belum sampai maut. Segera buka kotak
kelereng di pojok gudang belakang!
Waktu seperti laut di muka patah bebatuan.
Meluap-luap. Kita perlu menghitung
beberapa dan meluncurkannya di teraso merah
karena hari bergerak badan berpindah,
tak kuasa memastikan apa-apa. Dunia barangkali
dibangun dari teori sains yang runtuh,
kita belum benar-benar berpisah.
Tahun-tahun berkelana memunguti jasad
musafir yang terserak di gua.
2012
Hingga di Lembah Hening Ini
- Iklan -
… hingga di lembah gelap hening ini
mengertilah aku. Gemerisik angin di lorong dekat
kamar pada puncak malam mengirim tanda
dari masa depan.Tapi jauh sekali
jarak yang harus kutempuh untuk belajar
mengampuni. Kaki-kaki yang bergerak pergi
di bawah hujan—di mana aku mendengar
pekik batinku di dedaunan dan gigil lampu.
Mereka tak mungkin mengingat
apa yang membawaku sampai di sini.
Karena itu, ingin pulang tanpa ingatan.
Menghapus beberapa puisi dengan lembut
di dinding dan muka pintu seperti tiupan
Ibu pada nyala lilin sebelum aku tertidur.
Tapi aku tak tahu di mana jalan
yang tak dibayangi ringkik keledai.
2013
Rencana Pertemuan
Di kampung kita tak pernah ada anjing.
Yang menggonggong di puncak
malam seberang pekuburan adalah suara
ilalang dan gesekan pagar
bambu. Tubuhku tak dicabik apa-apa.
Di kota, anjing di dalam pagar. Menggonggong
keras tapi tak semenyeramkan
gonggongan lirih di kampung kita.
Bila waktu tidur, tidurlah.
Kita tak punya urusan dengan bentuk
dan warna bulan—tidak peduli
ia tertusuk atau terbelah.
Malam menggeliat, kita mesti segera berkemas,
merencanakan sebuah pertemuan.
Barangkali di dalam mimpi
aku jadi bayi.
2013
Pada Sebuah Perjalanan
Di dekatmu atau di kejauhan darimu
—di perjalanan menempuh kota-kota—
aku selalu dapat mendengar sabda
berlepasan dari sepasang matamu.
Seperti jutaan burung berterbangan
sesaat setelah cahaya pertama
dari langit pertama
menyentuh pucuk-pucuk daun.
2018
Selepas Pesta Bulan Haji
Selepas pesta bulan haji kau menemuiku.
Tatapanmu masih semurni api di tungku
waktu pagi menyala pada pucuk daun.
Sepasang mata; “Mangapa kau mengabarkan
kepedihan ibuku seperti tanah tandus?”
Senyummu menetak gubuk di pematang
kita, burung-burung emprit tua
tertipu kelenang barisan kaleng yang kutarik
ujung benangnya sambil tersipu.
Tapi kita tidak lagi menekuni bahasa bangau,
melupakan nyanyian lampau.
Kelahiranku, hari-hari kecil di pelukanmu
dan perpisahan yang tak semestinya
mungkin beruntunan dalam ingatanmu. Tapi
kau tak mesti terlalu peduli kepada apa saja
yang berlaluan di sekitarku. Tangisanmu itu
badai mengancam bendungan kurang batu.
Aku tidak lahir sebagai Ronin,
untuk terlunta-lunta mencari tuan.
Beri aku tanganmu! Begitu banyak pesta
yang kutinggalkan, sementara di sini
tak ada yang sungguh-sungguh punya arti.
2016
Tentang Penyair:
Muhammad Rois Rinaldi, lahir di Banten 8 Mei 1988. Koordinator Nasional Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co. Bersastra sejak 1998. Tulisannya berupa puisi dan esai dimuat di berbagai media massa, baik lokal, Nasional, maupun media massa di beberapa negara ASEAN. Rois menerima penghargaan Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Utama Penyair ASEAN (E-Sastera, 2015 dan 2016). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik terbitan Esastera Enterprise di Malaysia dalam kurun waktu 10 tahun (2006-2016). Surel: rois.rinaldi.muhammad@gmail.com.