Oleh Rifqi Silfiana
Nyinyiran yang paling istikamah melanda orang NU adalah anggapan beberapa netizen yang menganggap orang NU seolah-olah anti dengan segala hal yang berbau Arab. Apa lagi dengan bendera tauhid yang bertuliskan laa ilahaillallaah.
Mereka kemudian menganggap orang NU tidak mengakui keesaan Allah hanya karena bendera tersebut. Padahal sejatinya kalimat tauhid dan bendera yang bertuliskan kalimat tauhid adalah dua hal yang berbeda. Layak seperti palu dan arit dengan bendera PKI bergambar palu dan arit.
Ahli Berbahasa Arab
Orang NU biasa belajar bahasa Arab sejak kecil. Baik di pesantren, maupun madrasah diniyah. Belajar dari kitab Jurumiyah sampai Alfiyah Ibnu Malik, kitab Fathul Qorib, Sulam Taufiq, Mabadi’ul Awaliyah, Bulughul Maram, Aqidatul Awam, Ikhya’ Ulumuddin, Khulashatun Nurul Yaqin, dan masih banyak lagi.Semua kitab tersebut berbahasa Arab dan banyak santri yang sangat mahir memahami gramatika bahasa Arab.
- Iklan -
Sebagian besar nama-nama kiai dan santri NU juga menggunakan nama Arab. Bahkan lagu nasionalisme kebanggaan NU “Mars Subnanul Wathon” yang di dengungkan setiap kegiatan ceremoni juga berbahasa Arab. Orang NU mencintai bahasa Arab, sebagai sarana ibadah, alat untuk untuk memahami Al Qur’an dan Hadist, serta sebagai alat komunikasi dan pengantar studi yang membutuhkan bahasa Arab.
Di bulan Ramadan, kiai NU seperti Gus Mus, sering mengadakan pengajian kitab kuning yang ditonton oleh orang tanpa batas. Bahasa kerennya, siaran live ngaji kitab kuning. Tradisi keilmuan NU adalah paling utama dari sumber memahami agama. Membahas kitab harus cukup kuat ilmu nahwunya. Bukan semata-mata hafal sedikit ayat kemudian mendadak menjadi ustadz. Kenapa yang bukan NU tidak menyelenggarakan? Kalau seperti ini yang anti Arab siapa?
Anti Arab?
Di sinilah mulai terjadinya kesalahpahaman anggapan bahwa orang NU anti Arab. Anti Arab merupakan gerakan perlawanan, ataupun kebencian kepada bangsa Arab (Arabophobia). Memusuhi bangsa Arab dengan berbagai aksi, seperti yang dilakukan Negara Amerika dan Eropa.
Perlu dibedakan antara corak dan sumber agama. Orang NU menjadikan Nusantara sebagai corak beragama, bukan menjadi sumber agama. Jika NU benar-benar anti Arab, bagaimana orang NU dapat memahami ajaran Islam? Sedangkan Al Qur’an berbahasa Arab, dan Nabi Muhammad adalah orang Arab. Nabi sayyidul arabi wal ajam. Nabi Muhammad itu pemimpin orang Arab dan non Arab.
Dengan adanya anggapan NU anti Arab, maka muncul juga anggapan bahwa orang NU anti habib. Ketauhilah, sejak dahulu orang NU cinta kepada kiai dan habib. Mencintai habib termasuk yang diwajibkan dalam Islam, karena habib adalah pewaris nasab nabi dan mencintai kiai karena kiai pewaris ilmu Nabi. Di sinilah perlu ditegaskan bahwa NU tidak anti Arab.
Anti Budaya Arab?
Dalam implementasi dan amaliyah budaya, orang NU sepenuhnya menggunakan kebudayaan nusantara, yaitu budaya Indonesia. Mulai dari cara berpakaian, berperilaku, dan bermuamalah.
Kemudian, jika orang NU dituduh anti Arab karena lebih suka memakai sarung, baju batik, kaos oblong, dan peci hitam dalam melaksanakan ibadah shalat, maka untuk apa pabrik sarung, pabrik batik yang menjadi kebanggaan Negara kita masih dibuka? Harusnya pabrik-pabrik hanya membuat sorban, jubah dan gamis saja, yang lain tidak usah kan?
Ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad, tentu wajib diikuti dan diamalkan oleh setiap muslim. Tetapi, dari segi kebudayaan, tentu tidak harus diikuti dan diterapkan di Indonesia yang memiliki kebudayaan sendiri. Bahkan budaya di Indonesia sangat beragam. Mulai dari budaya Jawa, budaya Sunda, budaya Papua, dan lain sebagainya.
NU itu lentur, tawazun, tasamuh, tawasuth, i’tidal, dan fleksibel tetapi tetap lurus. Bagi orang NU mau pakai sarung dan peci hitam, maupun pakai gamis, jubah dan sorban, selama salatnya menutup aurat dan suci dari najis, maka pakaian apapun yang dianggap baik menurut adat setempat bisa dipakai untuk salat. Dan salatnya sah-sah saja. Bukan seolah-olah hanya jubahlah pakaian Islami yang menjadikan sah nya shalat, sedangkan mukenah, baju koko tidaklah dianggap Islami dan tidak menjadikan sahnya salat. NU sangat memahami mana agama, dan mana budaya.
Komitmen
Orang NU bukan menabrak syariat, tetapi mengisi aplikasi penerapan syariat dengan mengkomodasi budaya. Orang NU menjadikan adat kebiasaan menjadi panduan menetapkan hukum. Kaidah ini sudah dipelajari bagaimana penerapannya di masyarakat Indonesia oleh kiai NU, bahkan sejak periode Walisongo.
Bagi orang NU mau memanggil ibu dengan sebutan mbok, atau umi silakan saja. Memanggil ayah, dengan sebutan bapak atau abi tidak masalah. Begitu juga ungkapan akhi, ukhti sederajat dengan panggilan mas, kang, mbak, atau dek.Tidak perlu memaksakan orang lain untuk seperti orang Arab.
Jangan sampai semua istilah lokal dan bahasa daerah, maupun bahasa Indonesia tergantikan dengan bahasa Arab hanya agar terkesan lebih islami. Jika orang NU seperti itu, maka kurang proporsional. Intinya, tidak perlu anti Arab, tetapi tidak perlu harus seperti orang Arab. Tetap menjadi orang Indonesia, bukan orang Arab. Dan NU memiliki komitmen yang kuat menjaga nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia, dan meninggal di Indonesia tidak ada alasan lain untuk memperjuangkan nasionalisme.
-Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana IAIN Salatiga