Oleh: Fery Taufiq
Soetomo atau yang akrab disapa Bung Tomo bukanlah tokoh pergerakan Kemerdekaan juga bukan ideolog, tetapi namanya selalu melekat di pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Soetomo yang saat itu berusia 25 tahun adalah seorang jurnalis muda yang bekerja di media Domei milik Jepang di Surabaya. Di Surabaya orang-orang Belanda yang menjadi anggota Rabui bermarkas di hotel Yamato atau sekarang dikenal hotel Majapahit, karena merasa mendapat angin maka beberapa orang Belanda dibawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, pukul 9 malam telah mengibarkan bendera di atas sisi hotel. Esoknya banyak arek Surabaya melihatnya marah karena Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia yang telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pengibaran bendera di hotel Yamato, jelas ada indikasi Belanda ingin menguasai Indonesia kembali. Kabar ini pun menyebar luas ke penjuru Indonesia. Dalam waktu singkat, jalan Tunjungan di Surabaya dipenuhi rakyat yang marah.
Soerdirman didampingi oleh pemuda Sidiq dan Haryono segera menemui Mr. W.V.Ch Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda, tapi Mr. W.V.Ch Ploegman tetap menolak. Sedangkan di luar hotel sudah banyak rakyat semakin beringas, sebagian terlibat perkelahian dan sebagian lagi memanjat tiang bendera di atas hotel. Kusnowibowo berhasil menurunkan bendera Belanda dengan menyobek bagian biru. Kemudian bendera yang telah menjadi merah putih dikibarkan kembali. Soetomo yang pada waktu itu bekerja di media Domei menyaksikan peristiwa itu dari dekat.
Tiga hari sebelum insiden penyobekan bendera, tanggal 16 September 1945, Bung Tomo memimpin barisan pemberonyak Republik Indonesia untuk merebut gudang senjata dari posko Jepang. Gudang senjata ini terbesar yang dimiliki Jepang d Indonesia. Akhirnya May. Jend. Hasitomo sepakat menyerahkan gudang senjata kepada pejuang Indonesia, yang diwakili oleh Muhammad Yasin. Ribuan pucuk senjata, mortir, geranat, artileri, hinggga meriam penangkis serangan udara berhasil di rebut oleh rakyat Surabaya dari tangan Jepang. Dalam waktu singkat rakyat Surabaya yang beberapa bulan lalu masih kelaparan, sejak saat itu telah berevolusi memegang senjata perang dan siap berperang melawan penjajah.
- Iklan -
Dibawah BPRI, Sutomo membuat Radio Pemberontakan. Di masa awal-awal, radio ini meminjam pemancar milik pemerintah. Cikal bakal Radio Pemberontakan tidak pernah lepas dari bantuan Mustopo sebagai Ketua Badan Keamanan Rakyat Jawa Timur pada waktu itu. Prajurit pimpinan Mustopo telah berhasil menyita transmiter dari Jepang kemudian menghibahkan kepada Bung Tomo. Berbekal transmiter sederhana itu, orasi Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan resmi mengudara pada tanggal 15 Oktober 1945. Dari markas jalan Mawar nomor 10 Surabaya, siaran Radio Pemberontakan dikendalikan. Radio Repubik Indonesia (RRI) ikut menyiarkan ulang dan menyebarkan ke kota besar seperti Malang, Mojokerto, Madiun, Solo, hingga Yogyakarta.
Lewat pidato-pidato Bung Tomo, banyak pemuda dari luar Surabaya berdatangan ke Surabaya untuk memperoleh senjata dan ikut berjuang bersama arek Surabaya. Tanggal 25 Oktober 1945, Brigade Infranti ke-49 kerajaan Inggris yang beranggotakan prajurit India mendarat di Surabaya. Brigadir yang dipimpin oleh A.W.S Mallaby ini datang tidak ingin bertempur, tapi hanya ingin melucuti senjata tentara Jepang.
Setiba di Surabaya, A.W.S Mallaby mendapatkan tentara Jepang telah dilucuti oleh laskar, tentara dan rakyat Surabaya. A.W.S Mallaby dan seluruh prajuritnya tidak mengira akan berhadapan dengan arek Surabaya yang siap berperang. 28 Oktober 1945 pukul 17.00 WIB, secara serentak seluruh rakyat Surabaya menyerang pertahanan Inggris. Radio Pemberontak berulang-ulang menyuarakan panggilan pada rakyat untuk mengangkat senjata dan menyerang Inggris. Sore itu juga pertempuran sporadis terjadi dipelbagai tempat kota Surabaya.
Selama 3 hari, pertempuran pasukan A.W.S Mallaby kuwalahan, kemampuan lapangan tempur sangat minim karena dia staf yang biasa bekerja di balik meja. A.W.S Mallaby meminta bantuan ke atasan di Singapura bernama Let. Jend. Sir Philip Kristison (Panglima Pasukan Sekutu dari Komando Asia Tenggara). Kristison memberi perintah mengajak Ir. Soekarno dan Muh. Hatta ke Surabaya untuk menyelesaikan masalah yang semakin tidak terkendalikan. Melalui perundingan inilah, diharapkan rakyat Surabaya bisa memahami dan memberhentikan pertempuran.
Tanggal 29 Oktomber 1945 sekitar pukul 12.00 siang, Ir. Soekarno, Muh. Hatta dan Amir Syarifuddin yang menjabat sebagai Mentri Penerangan tiba di Landasan Udara Morogembarangan, Surabaya. Menjelang sore, pertempuran antara A.W.S Mallaby dan kepresidenan muali digelar di gedung Gubernuran, Surabaya. Pembicaraan akan berlanjut esok hari tanggal 30 Oktomber 1945 antara Ir. Soekarno dan May. Jend. Hautan yang baru tiba dari Jakarta. Dua hal penting dari hal ini adalah selebaran yang ditandatangani May. Jend. Hautan tidak berlaku dan Inggris mengakui keberadaan tentara keamanan rakyat dan polisi. Sekitar pukul 13.00 WIB siang perundingan berakhir. Rombongan Keprisedenan dan May. Jen. Hautan segera kembali ke Jakarta.
Kematian A.W.S Mallaby begitu mengejutkan inggris akibat lemparan bom dari laskar Surabaya. Let. Jend. Kristison mendapat laporan dari kematian A.W.S Mallaby dari dua staf yang berjaga di Surabaya. Rabu, 31 Oktomber 1945, akhirnya Kristison mengeluarkan ancaman kepada rakyat Indonesia. Keadaan semakin panas, petinggi politik Indonesia menguasahakan jalan damai melalui negosiasi, tapi usaha tersebut ditolak mentah-mentah oleh Inggris. Keadaan waktu itu, Inggris sangat marah. Perwakilan dari Inggris telah merancang serangan balas dendam atas kematian A.W.S Mallaby.
Pada tanggal 7 November 1945, sekutu Inggirs mengenalkan pengganti A.W.S Mallaby bernama May. Jen. E.G. Mansergh. Keberadaan E.G. Mansergh di Indonesia adalah untuk balas dendam kematian mallaby. Secara terbuka E.G. Mansergh mengancam rakyat Surabaya bahwa saat itu jika tidak menyatakan menyerahkan diri maka Inggris akan mengeluarkan kekuatan maksimal dan menghancurkan Surabaya dalam waktu singkat.
Pada hari itu juga, 9 November 1945, E.G. Mansergh mengeluarkan ultimatum yang ditujukan kepada Gubernur Suryo, yang kemudian digandakan dan ultimatum itu disebarkan dari pesawat terbang. Sekitar pukul 13.00 WIB siang, pesawat sudah mulai berputar di langit Surabaya dan menyebarkan pamfet ultimatum. Secara garis besar ultimatum tersebut bertulis “Jika tidak mengikuti permintaan Inggris, maka akan mengeluarkan kekuatan penuh”. Para pemimpin politik Republik Indonesia sadar betul bahwa Inggris tidak main-main dalam hal ini, bahkan dalam hitungan singkat saja, Inggris jauh lebih unggul dari pada Tentara Republik Indonesia. Muh. Hatta kembali melakukan negosiasi tapi Kristison, tetapi pihak Inggris tidak terkesan dengan usaha yang dilakukan Muh. Hatta.
Di lain sisi rakyat Surabaya tidak ada yang takut dengan ultimatum yang disebar Inggris. Jiwa bertempur rakyat seakin menggelora. Hingga sore itu, Bung Tomo mendatangi KH. Hasyim Asyrai untuk ikut berjihad. KH. Hasyim Asyari pendiri dan ketua NU (Nahdlatul Ulama) baru saja mengeluarkan resolusi penting bagi umat Islam, resolusi ini ditetapkan pada 22 Oktober 1945 yang di kenal dengan Resolusi Jihad. Resolusi ini menyatakan bahwa “Menjaga NKRI adalah bagian dari iman”. Setelah mendapat restu dari KH. Hasyim Ayari, Bung Tomo segera menuju Radio Pemberontakan di jalan Mawar, Surabaya dan pada pukul 11.00 WIB, suara Bung Tomo mengudara di seluruh tanah air.
Rakyat Surabaya dalam menolak ultimatum Inggris tidak mendapati ketakutan sedikitpun. Justru jiwa berperang totalitas semakin memuncak. Sehingga pemimpin politik Republik Indonesia Soekarno dan Muh. Hatta di Jakarta memutuskan untuk menyerahkan sepenuhnya nasib Surabaya di bawah tangan rakyat Surabaya. 10 November 1945, menjadi saksi sejarah bangsa Indonesia bahwa kekuatan Inggris untuk membalas dendam sangat menakjubkan. Total pasukan yang dikerahkan 28.000 prajurit dari berbagai kesatuan tempur yang hampir seluruhnya berasal dari India dan Nepal mendarat di Surabaya. Area sekitar markas Radio Pemberontakan tidak luput dari bombardir meriam.
Saat surabaya dibombardir Inggris, Bung Tomo tidak sekalipun menghentikkan orasinya. Inggris mengira hanya butuh tiga hari saja untuk melupuhkan kota Surbaya, tetapi perkiraan itu meleset jauh. Dua puluh satu hari pejuang-pejuang Surabaya memberi perlawanan Inggris yang superior. Inggris kehilangan sekitar 141 pasukan inti termasuk Brigadir A.W.S Mallaby dan Brigadir Royal Artillery Robert Guy Loder Symonds.
Bangsa Indonesia Menunjukkan Jati Dirinya
Melalui peristiwa 10 november 1945 di Surabaya, tekat bukat menyumbangkan segalanya dengan motto: “Lebih baik hancur daripada dijajah kembali”. Seperti yang telah diucapkan Gubernur Suryo berlandaskan, “Merdeka atau mati” dan “Sekali merdeka tetap merdeka”, telah memutuskan arek Suroboyo menolak ultimatum Inggris dengan siap menanggung risiko apapun. Nama asli “Suro hing Boyo” yang berarti “Berani dalam bahaya” telah mencerminkan jiwa semangat rakyat Indonesia di Subaraya. Surabaya yang terdiri dari berbagai macam suku telah melukiskan sebagai “Indonesian in small”, hanya ada satu piliahan yakni lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Namun akhirnya Tuhan telah memberikan kebesaranNya melalui tragedi di Surabaya, bahwa arek Surabaya berhasil memberi kejutan terhadap Inggris.
Suasana pasca perang adalah keinginan untuk berdamai di mana-mana karena telah jemu terhadap kekerasan. Keharusan pasukan Sekutu untuk menundukkan kaum “ektrimisme yang bendel” memaksa melakukan kekerasan dengan akibat gugurnya dua brigadir dalam tempo dua minggu. Berita ini merupakan pertempuran paling hebat yang mengejutkan seluruh dunia. Surabaya telah menunjukkan gaungnya dengan mengupas muka Inggris saat kehilangan beribu prajurit perang dan kerugian materil terbesar di bagian timur pulau Jawa.
Dari catatan orang luar, Surabaya seperti neraka bagi penjajah. Hal ini diungkapkan oleh David Wehl dalam bukunya “The Birth of Indonesia”, telah menyatakan fanatisme dan kemarahan arek Surabaya tidak pernah dihadapi lagi dalam pertempuran-petempuran berikutnya. Tidak ada pertempuran lagi yang mampu disejajarkan dengan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dalam tempo kurang dari dua minggu telah menewaskan dua brigadir Inggris (Mallaby dan Loder Sumonds) dan dalam kurang dari dua minggu juga telah membuka mata dunia bahwa satu bangsa yang dikira sebagai yang paling lemah di dunia, ternyata secara total telah menciptakan revolusi pola pikir masyarakat di dunia bahwa negara Indonesia adalah negara yang kuat.
Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya juga telah memberi dampak ke seluruh penjuru Indonesia, seperti di Yogyakarta yang mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (PBRI), kemudian dengan nama Tentara Rakyat Mataram (TRM) berhasil mengusir Sekuru di Ambarawa pada tanggal 15 Desembar 1955. Bahkan Sistem Perang Rakyat Semesta (Perata) yang dikembangkan oleh kaum militer Indonesia dan Doktrin Pertahanan Keamanan Nasional (KanKamnas) yang di anut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bersumber dari ciri khas yang dilakukan di Surabaya.
-Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Sunan Kalijaga jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Sekaligus koordinator diskusi bulanan di pendapa kampus UIN Sunan Kalijaga.