Oleh Abdul Khalim
Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan cara mengeluarkan pendapatnya sebagai bentuk protes terhadap seseorang, kelompok atau instusi. Tentu demonstrasi harus disampaikan dengan cara yang damai, santun dan dengan adab yang baik agar tidak timbul emosi oleh berbagai pihak.
Beberapa hari ini kita disuguhi berbagai peristiwa aksi unjuk rasa oleh mahasiswa dan pelajar di berbagai daerah, terlebih DKI Jakarta. Tuntutan mahasiswa berkaitan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan lainnyam yakni RKUHP, Revisi UU KPK, Isu Lingkungan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU PKS, dan Kriminalisasi Aktivis (Detiknews, 26/9/2019).
Mahasiswa sebagai insan cedekia tentu sangat wajar jika mereka melakukan protes atau mengritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalah dengan idealisme mereka. Ini artinya bahwa mahasiswa telah melakukan tugasnya sebagai calon pemimpin (ulil amri) yang memang seharusnya kritis terhadap peristiwa-perstiwa yang tidak sejalan dengan idealistas keilmiahan.
- Iklan -
Etika Demonstasi
Namun demikian, dalam menyampaikan pendapat tersebut perlu diperhatikan etika dan aturan sehingga dalam menyampaikan pendapat itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam pergerakan masif dan pengerahan masa sering sekali berujung pada aksi yang anarkis dan sangat sulit untuk bisa mengendalikan emosi. Lebih-lebih darah muda yang sangat sensitif dengan prilaku emosional.
Pelajar dan mahasiswa adalah mereka yang sedang berproses dalam pendidikan untuk menjadi manusia yang baik (insan kamil). Akan tetapi jika dalam berproses tersebut diwarnai dengan aksi emosional, pengerahan massa, unjuk rasa dan sebagainya sebenarnya adalah masalah. Aksi protes tidak harus dengan pengerahan masa yang akhirnya berbuntut anarkis. Pelajar dan mahasiswa harus mendahulukan cara-cara damai, dialogis, humanis dalam menyampaikan pendapat.
Peristiwa-peristiwa demo oleh mahasiswa dan pelajar tentu menjadikan kita prihatin dan berpikir ulang ada apa dengan dunia pendidikan kita. Tampaknya arah pendidikan politik kita perlu direkonstruksi, yakni pendidikan yang bukan hanya berorientasi menciptakan para pemimpin (ulil amri) akan tetapi sekaligus pemimpin yang ulil albab.
Bahaya Jika Orientasi Hanya ‘Ulil Amri’
Aksi-aksi demontrasi akhir-akhir ini memang lebih cenderung politis dan dalam rangka untuk berebut kekuasaan (klaim-klaim kekuasaan). Akibatnya adalah berbagai cara mereka lakukan meskipun harus banyak jatuh korban. Dalam kasus demo ini sangat kelihatan. Pelajar yang semestinya dijauhkan dari kemungkinan-kemungkinan bentrok atau anarkis – sebagaimana yang sering terjadi pada aksi demonstrasi – justru malah dibiarkan turun ke jalan dan bahkan masif seakan ada yang menggerakan oleh pihak-pihak orang dewasa atau bahkan pelaku politik.
Peristiwa ini tentu bukan cermin pendidikan yang baik. Ada karakter yang hilang dari seorang pelajar. Yaitu karakter santun yang semestinya dipupuk di bangku sekolah. Mereka dibiarkan turun kejalan dan akhirnya banyak dari mereka melakukan anarkisme, barbar dan jauh dari norma tata krama. Mereka seakan bangga sudah bisa ambil bagian dari proses ‘klaim kekuasaan’ meskipun dengan cara-cara anarkis dan brutal dan jauh dari nilai-nilai pendidikan.
Peristiwa tersebut merupakan pendidikan politik yang kurang baik. Para pelajar dibiarkan terlibat langsung dalam proses perebutan kekuasaan (konflik kekuasaan) bahkan cenderung dimanfaatkan. Para pemain politik mengumbar siasat-siasat yang tidak etis untuk memanfaatkan para pelajar agar ikut demonstrasi dijalan yang rawan konflik demi untuk mendorong mencapai tujuan mereka. Demi untuk meraih kekuasaan apapun dilakukan tidak peduli pelajar atau mahasiswa atau bahkan masyarakat awam yang tidak tau apa-apa tentang perseteruan politik mereka.
Para elit politik (ulil amri) dalam merebut kekuasaan tidak bisa memberikan contoh yang baik terhadap genarasi bangsa. Hanya logika-logika politik meraih kekuasaan yang mereka pertontonkan dihadapan generasi bangsa tanpa melihat kemaslahatan bangsa secara komprehensip. Dipundak generasi bangsa warna politik bangsa Indonesia akan dipilkulnya. Di sini pendidian politik harus diarahkan bukan saja berorientasi pada penguasaan menjadi ‘ulil amri’ akan tetapi ulil amri yang memiliki ulil albab.
Ulil Amri yang Ulil Albab
Istilah Ulil albab banyak yang mengartikan sebagai orang-orang yang berakal, atau orang-orang yang berpikir. Akan tetapi faktanya, kata ulil albab mengandung makna yang lebih dalam lagi. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab.” (QS. Ali Imran: 190).
Ayat ini menegaskan bahwa ulil albab bukan hanya sekedar berpikir untuk menemukan fakta-fakta empirik, akan tetapi lebih dari itu, yaitu mampu menemukan dibalik sebuah peristiwa yang terjadi dan mampu menemukan kearifan-kearifan dan kebijaksanaan. Dalam berfikir demikian tentu membutuhkan kecerdasan yang lebih. Oleh karenanya kata al-albab merupakan jamak dari kata al-lubb yang mengidikasikan bahwa ulil albab adalah orang yang memiliki otak berlapis-lapis alias otak yang tajam.
Dalam terjemahan bahasa Inggris ditemukan arti yang beragam. Ulil albab sangat terkait dengan pikiran (mind), perasaan (heart), daya pikir (intellect), tilikan (insight), pemahaman (understanding), kebijaksanaan (wisdom).
Barangkali dapat dipahami bahwa beragam tafsir ayat-ayat yang mengandung kata ‘ulil albab’ menghasilkan sebuah kesimpulan besar yakni ulil albab menghiasi waktunya dengan dua aktivitas utama, yaitu berpikir dan berzikir. Kedua aktivitas ini berjalan seiring sejalan. Jika para elit politik atau para pemimpin bangsa ini memiliki paradigma yang demikian maka perseteruan politik tidak perlu merugikan banyak pihak dan menelan banyak korban.
Contoh teladan ulil amri yang ulil albab adalah sebagaimana digambarkan oleh Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulada ing madya mangun karsa”. Jika dalam posisi di atas (pemimpin/ ulil amri) harus mampu menjadi teladan atau contoh. Sebaliknya jika kalah atau menjadi rakyat meski harus legowo dan mau membantu pemerintah untuk bersama-sama mensejahterakan rakyat bukan malah sebaliknya.
Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan sosok pemimpin (ulil amri) yang ulil albab. Ulli amri yang memiliki pandangan jernih, menggunakan nalar sehat dan nurani yang waras. Ulil amri yang ulil albab, mereka yang selalu berfikir dan berzikir. Artinya ulil amri yang selalu berfikir dan bertindak bagaimana untuk mensejahterakan rakyatnya.
Berzikir dalam arti selalu mengingat akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin (ulil amri) yang meski dipertanggung jawabkan baik di hadapan rakyat maupun Tuhannya. Maka itulah ulil amri yang sejati yakni ‘ulil amri’ yang ulil albab.
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.