Oleh R. Andi Irawan
Kita semua pasti sepakat bahwa ilmu adalah entitas yang amat penting dalam kehidupan. Namun, apakah keyakinan kita terhadap hal tersebut benar-benar merasuk dalam rasa, dan kemudian diamalkan dalam kehidupan keseharian atau sekadar pengetahuan saja?
Dalam kenyataannya, kesadaran bahwa ilmu itu penting rupanya sekadar kesadaran wacana dan verbal. Belum mampu menjadi suatu laku dan gerakan baik dari individu atau dari masyarakat pada umumnya. Buktinya, dalam hal kualitas pendidikan Indonesia tergolong negara dengan kualitas pendidikan yang rendah, apalagi budaya literasi Indonesia juga sangat rendah jika dibandingan dengan negara tetangga apalagi negara Eropa.
Dari fakta-fakta tersebut, mengindikasikan masyarakat kita belum pampu mencapai tingkatan mencintai ilmu. Jika kita memperhatikan masyarakat pada umumnya bersekolah, kebanyakan orientasi mereka adalah pekerjaan. Artinya, mereka masih menganggap materi lebih penting dari pada ilmu. Sekolah untuk bekerja, bukan sekolah untuk ilmu. Tentu ini sebuah ironi tersendiri yang menyebabkan dunia pendidikan dan tradisi ilmiah di negeri ini tak kunjung maju dan bertransformasi dari kondisi keterbelakangan menuju kondisi yang lebih maju.
- Iklan -
Bukankah cara berpikir yang serba mengedepankan materi adalah bawaan atau kecenderungan umat manusia? Sebagaimana dikisahkan dalam berbagai cerita kenabian, bahwa ketika mereka diutus Allah ke bumi mereka diberi Allah pilihan antara memilih dunia atau ilmu. Alhamdulillah, mereka lebih memilih ilmu, dan menjadikan dunia bukan sebagai tujuan utama hidup. Karena kecenderungan dunia membawa manusia ke suatu kondisi yang buruk, sedangkan ilmu kecenderungannya mengarahkan manusia pada suatu kondisi yang baik. Kenapa kebanyakan manusia memilih dunia? Ya, karena memang dunia adalah entitas dalam hidup ini yang menggiurkan semua manusia dengan segala gemerlapnya dan keasyikannya.
Kenapa para nabi ketika diberi pilihan antara dunia dan ilmu lebih memilih ilmu? Tentu ini sebuah pertanyaan menarik untuk kita renungkan. Pada hakikatnya Allah menciptakan dunia ini adalah diperuntukkan manusia. Dunia ditundukkan oleh Allah untuk manusia. Maka seharusnya manusialah yang harus menundukan dunia, bukan dunia yang menundukan manusia. Jika manusia yang menundukkan dunia maka membutuhkan apa yang disebut ilmu, karena dengan ilmu kita akan mampu menyibak dan mengurai apa yang ada di balik alam semesta ini, dan memahami sistem hukum alam.
Dengan demikian, dunia dan alam semesta mampu kita tundukkan dengan ilmu. Jika yang digunakan sebagai instrumen penunduk adalah ilmu maka kehidupan dunia akan sejahtera. Namun jika tidak dengan ilmu, bisa dipastikan yang dijadikan instrumen adalah nafsu dan arogansi kerakusan manusia, dan hal ini akan membawa kerusakan kehidupan manusia.
Apa jadinya jika justru alam yang menundukan manusia? Jika ini benar terjadi, kehidupan manusia akan mengalami kerusakan dan disharmonis dengan sesama makhluk Allah, karena mereka dikontrol oleh kemauan dunia yang cenderung mengarah pada kerusakan. Selain itu, fungsi manusia sebagai wakil Allah di bumi juga akan tidak ada artinya. Tugas manusia adalah bagaimana memahami hakikat dunia dan sistem kehidupan alam semesta, kemudian mengelolanya sesuai sunnatullah sehingga alam terkelola dengan baik dan akan menuju pada sebuah kondisi sejahtera. Di sinilah manusia menyandang titel sebagai khalifatullah fi al-Ardl.
Jelaslah, untuk mengelola dan menundukkan dunia manusia butuh ilmu. Kemudian muncul pertanyaan, ilmu yang seperti apa? Ilmu sejatinya ia bisa digunakan untuk tujuan dan kepentingan apa saja tergantung penggunanya. Ia bisa untuk kebaikkan sekaligus juga bisa untuk keburukan. Ilmu akan menghantarkan manusia pada kebaikkan jika ilmu digunakan pada garis kebenaran dan untuk menciptkan kemaslahatan umat manusia dan alam semesta. Sedangkan ilmu akan mengantarkan manusia pada keburukan jika ilmu digunakan pada jalur yang salah dan hanya untuk menuruti hawa nafsu. Maka, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat oleh nilai? Tentu pernyaan ini menuwai perdebatan sengit antara para pemikir dan filosof. Namun bagi Islam ilmu tidaklah bebas nilai.
Islam sebagaimana dalam Alquran diturunkan untuk memberi kerahmatan untuk seluruh umat manusia tak terkecuali alam semesta dan seisinya. Dengan demikian, arah atau target akhir dari implementasi suatu ilmu harus berorientasi pada nilai kerahmatan yang telah ditetapkan oleh Islam. Ilmu dan seperangkatnya harus memberi ketenteraman dan kesejahteraan hidup manusia, baik kesejahteraan dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Ilmu dalam pandangan Islam tidaklah bebas nilai, dalam artian bisa digunakan untuk kepentingan apa pun dan tujuan apa pun, walapun kepentingan atau tujuan tersebut membawa kerusakan terhadap sistem harmoni kehidupan umat manusia.
Berbeda dengan pandangan Barat yang melihat bahwa ilmu itu bebas nilai. Ilmu itu bersifat netral bisa digunakan untuk kepentingan apa saja. Ilmu tidak terikat pada nilai-nilai atau norma-norma tertentu, ia bersifat bebas sebebas-bebasnya. Dalam pemahaman ini, ilmu akan cenderung membawa pada suatu kondisi dimana sistem kehidupan manusia akan mengalami kerusakan dan kehancuran walaupun secara bertahap tapi pasti.
Dalam konteks teknologi, Barat menciptakan apa yang disebut dengan “Bom Nuklir” yang jika diletuskan akan mampu menghancurkan seperempat wilayah dunia atau lebih. Bukankah ini hasil dari ilmu yang sungguh membahayakan kehidupan manusia di masa yang akan datang jika terjadi peperaangan antar negara. Semoga saja tidak.
Dalam konteks kehidupan sosial, pendidikan, agama, ekonomi dan politik saat ini kita juga sering menemukan praktik dari pemahaman ilmu bebas nilai. Misalnya, dalam kehidupan beragama dan dunia pendidikan muncul fenomena komersialisasi agama dan komersialisasi pendidikan. Agama dan pendidikan tidak dijadikan sebagai media memanusiakan manusia, tapi dijadikan lahan bisnis dan industri untuk meraih kuntungan materi.
Dalam konteks ekonomi muncul fenomena kapitalisme dan ilmu ekonomi dijadikan untuk memberkaya diri sendiri atau kelompok, dan digunakan untuk mengekploitasi SDA. Dalam konteks politik, orang belajar politik bukan untuk menciptakan kesejahteraan, tapi murni untuk meraih kekuasaan dan meraih tahta dan harta kekayaan. Ini hanya sebagian contoh, dan bisa dianalogikan dalam kasus-kasus yang terjadi dikehidupan kita saat ini.
Perbedaan yang terjadi di atas adalah perbedaan paradigma, yaitu perbedaan bagaimana memandang hakikat ilmu. Dalam konteks Islam, banyak ayat Alquran dan hadits nabi yang intinya adalah ilmu itu pada akhirnya bertujuan untuk meraih keridlaan Allah sebagai Sang Pencipta kehidupan dengan menjadikan ilmu sebagai media untuk memahami hakikat Allah, hakikat kehidupan, hakikat manusia, hakikat alam semesta dan seisinya, dan dengan pemahaman demikian ilmu mampu memperkuat keimanan dan ketakwaan seseorang.
Jika keimanan dan ketakwaan telah terpatri dalam diri seseorang dan menjadi landasan ilmu, maka ilmu dipastikan akan diarahkan dan digunakan untuk menciptakan kerahmatan dan kebaikan. Dalam pemahaman seperti ini, ilmu dalam Islam berorintasi keakhiratan dan keduniawiaan, serta seorang ilmuan memiliki tanggung jawab moral. Inilah yang membedakan kita dan bangsa Barat yang hanya berparadigma pada empirisme dan rasionalisme.
Jadi, ilmu sejatinya kita butuhkan untuk menundukan dunia dan alam semesta agar kita mampu mengelolanya sesuai sunnatullah dan agar kita mampu mensejahterakan bumi seisinya. Namun, ilmu yang kita yakini adalah ilmu yang berorientasi pada keakhiratan dan keduniawiaan, di mana seorang ilmuan seharusnya memiliki tanggung jawab moral. Dengan demikian, ilmu akan membawa kerahmatan dan kesehteraan bagi umat manusia.
-Penulis adalah Ketua LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.