Oleh Hamidulloh Ibda
“Aku turun ke jalan, Pak. Ini nomorku baru, Pak. Adi.”
Sore usai mengajar di kampus, pada 23 September 2019 kemarin, ada pesan nyasar gusar ke chat WhatsApp saya. “Adi ki sopo?” Batinku keheranan.
Ternyata, ia adalah aktivis mahasiswa di kampusku. Pesan yang ia layangkan tak kubalas dengan kata-kata. Tapi, saya kirimkan foto yang mengilustrasikan bahwa KPK kini disusupi Taliban. Dalam pesan itu, ia menjelaskan bahwa dirinya usai mengikuti demonstrasi di Jogjakarta yang mengusung isu #Gejayanmemanggil. Ia pun mengatakan bahwa “KPK sekarang disusupi Taliban”. Entah tahu atau tidak, saya belum interview lagi.
- Iklan -
Usai demo, ia pun tak cukup mengirim kabar dan video. Sore harinya, aktivis PMII tersebut bermain ke tempat saya. Kisruh nama familiarnya. Berkulit sawo tua matang, berjaket sedikit rombeng, bertutur kata seronok menjadi khas Kisruh di antara sahabat-sahabatnya yang lain.
Ia pun sempat memintakan izin mahasiswa saya yang ikut demo. Saya tak menjawab panjang. Hanya bertanya “Kan sejak dulu, saya nyuruh demo?” Dia pun terdiam. “Di alam demokrasi, demo itu keniscayaan, bukan ikut-ikutan saja, harus ada gagasan dan argumentasi jelas yang dibangun, dibawa, dan ditawarkan,” ceramahku padanya agak panjang.
Saya juga menegaskan, ada tiga kali kesempatan mahasiswa tidak hadir di perkuliahan yang saya ampu. Mau buat demo, pacaran, kerja, tidur-tiduran, ngarit sekalipun tiada masalah.
Selang beberapa hari, ia pun bercerita kalau selain ikut demonstrasi di Jogjakarta, juga di Semarang, dan Magelang. Ia kembali melayangkan pesan lagi dan sengaja saya tanya.
“Demo untuk apa?” Tanyaku.
“Kami demo ya demi reformasi,” kata dia.
“Reformasi yang mana? Nggak demi rakyat?” tanyaku mengejar.
“Ya demi rakyat agar tidak menjadi Orba yang dulu pernah ada. Dan sekarang ini adalah era reformasi. Dan kami sebagai mahasiswa akan tetap menpertahankan reformasi,” jelasnya panjang.
Demonstrasi pun berlanjut. Ia bersama mahasiswa lain di Temanggung yang berencana melakukan aksi damai di DPRD pada Senin 30 September 2019 akhirnya gagal. Sebab, hari Senin di akhir September kemarin, pukul 10.12 WIB saya sampai kampus, ternyata kampus sudah dikepung polisi, TNI, Satpol PP, Damkar, hingga beberapa anggota DPRD dan Bupati pun datang ‘mendemo’ kampus.
“Waduh, meh demo ning kotane dewe malah kedemo”, terbesit pikiran itu dalam hati saya. Pikir saya, ini pasti ulah Taliban. Tepatnya, hari Senin kemarin adalah peristiwa G 30/S-Taliban.
Membongkar Taliban
Berbagai isu memang menggerakkan mahasiswa sejak tanggal 20, 25, sampai 30 September 2019 ini. Di Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Magelang, Temanggung juga sama, mahasiswa yang statusnya pencari ilmu melakukan aksi. Jika dianalisis, kisruhnya Indonesia berawal sejak kerusuhan pada Mei 2019 kemarin dilanjutkan dengan isu SARA di Papua, kebakaran hutan, dan berlanjut di demonstrasi sampai akhir September 2019 ini. Beragam protes itu hadir untuk menolak UU KPK dan RKUHP.
Salah satu misteri yang perlu dibongkar di sini adalah isu Taliban yang masuk di tubuh KPK. Beberapa politisi mengatakan ada pihak yang sengaja menyebar isu polisi Taliban atau orang-orang Taliban di KPK. Tujuannya, untuk melemahkan lembaga “antirasywah” atau “superbody” tersebut agar tumpul dalam memberantas korupsi. Benarkah demikian? Siapakah Taliban tersebut?
Secara akar kata, idiom Taliban dan Talibun berasal dari akar kata yang mirip, yaitu “Talib”. Ada beberapa akar kata dan asal-usul kata Taliban. Bahasa Persia dan Pashtun yaitu “Taalibaan”, Bahasa Iran, dari bentuk jamak Bahasa Arab “Ṭalib” yang berarti murid, pencari ilmu, atau siswa-siswi lah. Ada pula yang berpendapat, Taliban adalah kadal gurun. Semacam hewan melata.
Dalam buku Ensiklopedia Pengetahuan Dunia Abad 20, Susilo (2010: 391) menyebut Taliban atau gerakan Taliban/Taleban merupakan gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001. Dalam sejarahnya, September 1994 menjadi awal dibentuknya gerakan atau kelompok Taliban ini yang didukung Amerika Serikat dan Pakistan.
Akan tetapi, seiring berjalannya roda zaman, Taliban ini bukan lagi murid, pencari ilmu, atau pemburu pengetahuan, melainkan justru kelompok yang bertindak kejahatan. Bahkan, catatan Susilo di atas, menyebut Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan radikal kelompok Taliban tersebut lantaran kejahatannya pada warga negara Iran dan Afghanistan. Taliban juga melanggar HAM di Afghanistan dengan berbagai tindakan merusak dan mengganggu ketertiban.
Dus, apa maksud Taliban yang menyusup di tubuh KPK sehingga menjadi dasar mahasiswa melakukan demonstrasi? Jelas, secara akar epistemologis dan historis saja, Taliban tidak mencerminkan Talibun. Taliban bisa jadi kelompok radikal, bisa juga kelompok ekstrem kanan atau teroris yang sengaja menyusup di lembaga negara kita.
Taliban dan Talibun ibarat AC-DC, Plus Minus (+ -), Yin Yang, hitam putih, bumi langit yang tidak mungkin dapat disatukan meski mereka dari akar episteme yang sama.
Mendendangkan Talibun
Dari rahim atau embrio yang sama, belum tentu menjadi tunas yang sama baiknya. Hal itu sudah terjadi di berbagai lini kehidupan. Entah terjadi pada manusia, hewan, hingga jawaban keturunan Nabi Adam sendiri, ketika awal kali melahirkan keturunan memang bertengkar sendiri, ada yang positif, ada yang negatif. Lengkap. Dan, itu sudah menjadi catatan alam dari Tuhan.
Lain halnya dengan Taliban, Talibun memiliki akar epistemologis yang berbeda meski hampir sama, bahkan hakikatnya mirip, “Talib”. Kita dapat lihat, dalam Bahasa Arab, Talib, Talab, Talaba, menjadi akar kata Taliban atau Talibun.
Talib berarti laki-laki pencari ilmu pengetahuan. Talibah yaitu perempuan yang mencari ilmu pengetahuan. Talibatun artinya murid (perempuan), atau orang perempuan yang mencari ilmu. Mutalib berarti laki-laki yang menuntut dari masa ke masa.
Bentuk lain, ada Tilmid, Tilmizun artinya adalah murid (laki laki) atau siswa yang mencari atau menuntut ilmu. Sedangkan Tilmizah, Tilmizatun artinya murid (perempuan) atau siswi yang pekerjaannya mencari ilmu.
KBBI V (2019) menyebut Talib adalah orang yang menuntut kebenaran atau ilmu, seperti orang yang mempelajari agama dengan sungguh-sungguh. Talib juga berarti pelajar, siswa atau siswi yang pekerjaan utamanya mencari ilmu pengetahuan.
Pengertian lain, KBBI V (2019) menyebut Talibun sebagai bentuk puisi lama dalam kesusastraan Indonesia (Melayu) yang jumlah barisnya lebih dari empat. Biasanya antara 16–20, serta mempunyai persamaan bunyi pada akhir baris, ada juga seperti pantun, dengan jumlah baris genap, seperti 6, 8, atau 12 baris.
Sedangkan dalam kajian numerologi, nama Talibun mempunyai kepribadian analitis, memahami, pengetahuan, senang belajar, bermeditasi, penuh kesadaran.
Dari berbagai perspektif di atas, sudah jelas Talibun secara ilmiah lebih cenderung mewartakan makna positif daripada Taliban itu sendiri. Secara teknis, Talibun dalam pendidikan tentu bisa berwujud murid, siswa, peserta didik, pelajar, atau mahasiswa.
Soal Kesadaran
Taliban dan Talibun tidak sekadar masalah bahasa, baik-buruk, namun menurut saya lebih pada soal kesadaran. Talibun harusnya fokus pada dunianya, yaitu ilmiah, akademik, pendidikan, meski sekali-kali boleh lah urun rembug soal pemerintahan maupun politik berupa turun ke jalan agar tidak menjadi menara gading.
Artinya, tidak perlu seorang atau kelompok Talibun mencari Taliban. Biarlah, Taliban yang mencari Talibun. Jika Talibun mencari Taliban secara berlebihan dan tidak pada presisi yang pas, maka terjadilah pengerahan massa dari siswa atau pelajar SMA/SMK/MA yang turun ke jalan. Padahal, saya sangat tidak setuju seorang atau kelompok Talibun yang statusnya mahasiswa siswa dan belum mahasiswa kok ikut-ikutan demonstrasi.
Kesadaran mencari, haus akan ilmu pengetahuan harusnya menjadi ruh semua kalangan agar benar-benar menjadi manusia yang berkiblat pada nalar, ilmu pengetahuan, tidak sekadar lendir dan menyembah suplemen-suplemen. Hal itu harus dicirikan dan dicontohkan seorang atau kelompok Talibun.
Maka, secara makro, Talib harus diusahakan menjadi “Jamak Muzakkar Salim”. Caranya, menambahkan huruf wawu (و ) dan nun ( ن) pada kata tunggal ketika rafa dan huruf ya ( ي ) dan nun ( ن ) ketika nasab dan jar. Jika demikan, maka “Talib” akan menjadi “Talibun”, “Talibin”, bukan “Taliban”.
Ini sudah diajarkan di MI sejak dulu yang harusnya menjadi pengingat, bahwa akar kata, makna kata, istilah, fiil, huruf, tidak sekadar masalah bahasa. Namun erat dengan etnolinguistik, etnografi, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropologi, balagah, mantik, dan lainnya yang harusnya menjadi senjata mewartakan kebaikan.
Jika kita mampu mengubah “Talib” menjadi “Talibun” yang itu mengajarkan, mengajak, dan mendentumkan spirit belajar, haus mengaji, haus menghafal, haus ilmu pengetahuan, haus riset, haus diskusi, di situlah peradaban “Taliban” akan menjadi “Talibun”.
Dus, siapa kini yang bersedia dan bisa menjadi Talibun sepanjang hayat?
-Penulis adalah Pengurus Bidang Literasi Media, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Jawa Tengah.