Oleh KH. Muhamad Muzamil
Banyak sudah “asam garam” yang dirasakan anak bangsa ini sejak awal pergerakan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan. Entah itu masa orde lama, orde baru, reformasi dan pasca reformasi hingga dewasa ini. NU punya banyak pengalaman dalam memberikan politik kebangsaan kepada segenap anak bangsa, agar mereka memiliki kontribusi positif dalam melestarikan kemerdekaan demi tercapainya tujuan nasional.
Komitmen NU pada negara ini telah teruji, selalu memberikan kontribusi positif. Diawali dengan memberikan konsep “negara kebangsaan” sampai pada mempertahankan Pancasila dan UUD 1945.
Yang justru menarik adalah hubungan NU dan pemerintahan yang selalu digambarkan dengan grafik “naik turun”, tidak linier dan konstan. Pada masa orde lama, NU berada di pemerintahan dan mengambil posisi strategis ikut mengambil kebijakan. NU tampil memberikan solusi di tengah pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, pengambil-alihan Irian Barat yang masih dikuasai penjajah, Konferensi Asia Afrika, dan memberikan fatwa “waliyu al-amri dloruri bi syaukah” kepada Presiden RI Ir Soekarno.
- Iklan -
Pada masa orde baru, meski NU berada di luar pemerintahan, NU tetap berkontribusi menjaga Negara dengan komitmen menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan berhasil mengundangkan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai fiqh Islam. Pesantren tetap eksis dengan mencetak alumnus yang muwahid, faqih dan shufi.
Pada era reformasi, NU memasuki pada pusat pemerintahan dengan ditandai terpilihnya KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden. Meski tidak lama menjabat, Presiden Gus Dur mampu mempertahankan keutuhan Negara dari ancaman gerakan sparatis beberapa Daerah Provinsi yang akan memisahkan diri NKRI.
Kemudian pada pasca reformasi, kondisinya NU di pemerintahan semakin memprihatinkan karena hanya sekedar tak lebih dari “pupuk bawang”.
Sejak 1984 NU memang bukan lagi menjadi partai politik, juga bukan bagian dari partai politik. Namun selalu saja ada kekuatan sosial politik yang menarik gerbong NU pada persoalan politik praktis, yang sebenarnya bukan lagi merupakan bidang garapan NU, melainkan merupakan bidang garapan partai berbasis Nahdliyin seperti PPP dan PKB, yang seharusnya ambil peranan dalam aspek politik praktis.
Dengan demikian, sebagaimana diingatkan oleh Mustasyar, NU tak perlu lagi bicara politik praktis. NU cukup berada pada level politik kebangsaan untuk menjaga moral dan hati nurani bangsa dan negara tercinta, agar tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Karenanya cukup bagi NU jika tetap komitmen melakukan usaha-usaha di bidang keagamaan Islam, pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan, agar generasi penerus tetap berpegang pada nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik lagi.
Untuk itu pembagian tugas telah dilakukan melalui Lembaga-Lembaga dan Badan otonom yang merupakan perangkat organisasi NU sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Ini sangat indah jika bisa terus dilakukan secara berkelanjutan.
Memang benar bahwa kerja sosial kemasyarakatan tersebut akan selalu diwarnai oleh lembaga-lembaga pemerintahan, namun sifatnya adalah berasas pada proporsionalitas, keterbukaan, kesetaraan, keadilan dan akuntabilitas. Tidak pada wilayah politik kekuasaan.
Namun dengan adanya upaya kekuatan politik praktis yang meminta pengurus NU tertentu untuk dicalonkan pada jabatan politik, membuat NU tidak bisa leluasa komitmen pada jam’iyyah diniyyah Islamiyah ijtimaiyah. Meskipun hal ini sudah diantisipasi tentang larangan tangkap jabatan, namun sulit rasanya melepaskan diri dari “jebakan” politik kekuasaan.
Kondisi semakin memprihatinkan setelah raihan pemilu di luar ekspektasi yang diharapkan, telah membuat beberapa person seperti “kebakaran jenggot”.
Karena itu belajar dari pengalaman, kiranya diperlukan reorientasi apakah NU akan tetap menjadi organisasi keagamaan Islam dan kemasyarakatan atau kah akan kembali menjadi partai politik atau bagian dari partai politik. Hal ini perlu dipertegas supaya ada kejelasan, sehingga NU tidak lagi “gamang” dalam memainkan peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Jangan sampai jam’iyyah yang didirikan para auliya ini terlalu lama berada di persimpangan jalan, sementara dinamika semua bidang kehidupan terus berjalan.
Menurut hemat penulis, silahkan saja warga Nahdliyin yang mau lakukan ijtihad politik praktis berada di partai politik. Sedangkan Nahdliyin yang ingin berkhidmah di ranah diniyah ijtima’iyyah, tetap berada di jam’iyyah NU, pesantren dan sekolah atau madrasah. Tentu kedua hal tersebut tidak bisa dirangkap, melainkan semua harus proporsional dan profesional.
Sudah saatnya ada pemilahan tugas dan fungsi, sebagaimana dilakukan dan ditegaskan oleh beberapa Rais Aam KH Achmad Shidiq, KH Ilyas Ruhiyat, dan KH MA Sahal Mahfudz.
Bukankah pada kepemimpinan beliau bertiga, NU tetap bisa menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan negara? Tinggal bagaimana NU tetap komitmen dalam pendidikan politik kebangsaan yang berbasis pada tawasuthiyah Islam ala ahli sunnah wa al-jama’ah.
Kemudian pada era terpilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai Wapres mendampingi Presiden Jokowidodo ini, tentu tugas NU tidak semakin ringan dalam pendidikan politik kebangsaan, karena situasi politik akan semakin dinamis terkait dengan konstelasi global. Dan Indonesia bisa memainkan peran strategis sebagaimana amanat dalam pembukaan UUD 1945 jika Indonesia mau mengambil inisiatif terobosan baru dalam penyelesaian konflik internasional di kawasan jalur Gaza dan timur tengah, serta peningkatan indeks kualitas pembangunan manusia secara nasional. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua PWNU Jawa Tengah.