Oleh KH. Muhamad Muzamil
Pendidikan Islam menempatkan manusia sebagai fa’il atau subjek, bukan maf’ul atau objek. Artinya insan pendidikan dalam pendidikan Islam (warga belajar) memiliki kedudukan yang sangat mulia. Pasalnya, “Kanjeng Nabi Muhammad SAW memerintahkan supaya ummatnya menjadi orang alim. Kalau tidak bisa maka jadilah orang yang mau belajar kepada orang alim, kalau tidak bisa maka jadilah orang yang mau mendengarkan pendidikan dari orang alim, atau jadilah orang yang mau mencintai orang alim. Dan jangan sampai menjadi orang kelima maka akan rusak”.
Mendidik atau dididik adalah sangat utama. Bahkan jika seseorang wafat dalam keadaan dalam perjalanan mendidik atau dididik maka ia wafatnya dalam keadaan khusnul khotimah, bahkan wafat secara syahid.
Pada awalnya Kanjeng Nabi melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi, dari keluarga, kemudian dari rumah ke rumah. Dalam kondisi seperti ini seruannya adalah wahai orang-orang yang beriman, “yaa ayyuha al-ladzina aamanuu…”, karena peserta didiknya sudah menyatakan beriman kepada Nabi SAW.
- Iklan -
Kemudian setelah keluarga kuat, siap mental, pendidikan dilakukan di tempat terbuka seperti di pasar atau tempat berkumpulnya ummat di tanah lapang. Pendidikan seperti ini ditujukan kepada seluruh ummat manusia, “yaa ayyuha al-naas…”. Seruannya bersifat umum.
Dengan demikian Kanjeng Nabi Muhammad SAW diperintah Allah SWT melalui Malaikat Jibril As untuk melaksanakan pendekatan kependidikan secara manusiawi, memanusiakan manusia, yang kemudian dikenal sebagai pendidikan adab, pendidikan akhlak yang mulia seperti kejujuran, kesabaran dan rasa syukur kepada Allah SWT.
Kegiatan kependidikannya adalah dialogis, interaktif, tidak monoton atau satu arah. Nabi Muhammad SAW menyampaikannya secara bijak, lemah lembut, bahkan juga musyawarah dengan para Sahabat-sahabatnya sebagai peserta didiknya atau santrinya.
Setiap orang yang bertemu kepada Nabi Muhammad SAW yang kemudian meminta nasihat, Kanjeng Nabi memberikan nasihat sesuai tingkat kemampuan orangnya. Jadi tidak digeneralisasi sama, karena setiap peserta didik memiliki keadaan yang berbeda-beda, sesuai kemampuan masing-masing, yang era sekarang disebut memperhatikan aspek individu, personal. Namun arahnya tetap sama yakni diajak mengesakan Allah SWT, menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya serta dididik agar berbuat baik kepada sesama umat manusia atau makhluk lainnya.
Setelah itu Nabi SAW melakukan kependidikan di masjid, kadang sebelum sholat dan kadang setelah sholat, tergantung pada perkembangan situasinya. Mulai saat itu masjid adalah pusat kependidikan Islam, sehingga suasananya ta’abudi, beribadah kepada Allah SWT dalam pengertian yang luas.
Kependidikan model seperti itu, dengan suasana spiritual, kemudian dilakukan secara berturut-turut oleh para sahabatnya kepada para tabi’in sebagai santri-santrinya, tabi’ut tabi’in hingga ulama al-salaf al-sholih. Dengan aspek rohaniah yang kuat, bahkan kemudian kegiatan kependidikan Islam maju pesat seperti pada jaman Imam madzhab empat dalam fiqh dan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam ilmu tauhid. Setelah itu ilmu-ilmu menjadi berkembang luar biasa seperti filsafat, kejiwaan, ilmu-sosial, dan ilmu-ilmu eksakta oleh para pemikir muslim pada jaman keemasan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rush, Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, dan lainnya.
Pendidikan yang memperhatikan potensi, bakat dan minat peserta didik dilakukan secara individual. Kemudian juga dilakukan dengan santri yang banyak, dengan pertemuan dan interaksi yang intensif. Para pendidik melakukan pendidikan dengan suka rela, para peserta didiknya juga ditekankan memiliki kompetensi dan ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam secara menyeluruh, agar dikemudian hari peserta didiknya dapat menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama umat.
Saat itu belum dikenal adanya spesialisasi keilmuan tertentu seperti sekarang ini, namun masih bersifat umum atau general, diajarkan banyak ilmu yang manfaat, sesuai taraf perkembangan akal, jiwa, dan semangatnya.
Karenanya tidak heran jika ulama terdahulu hasil pendidikan salafiyah menghasilkan para alim al-alamah yang menguasai banyak ilmu atau menjadi tenaga ahli secara general, sehingga pandangan-pandangannya bersifat komprehensif dan integral.
Ulama al-salaf al-sholih adalah generasi yang dididik oleh ulama sejak jaman sahabat dan Tabi’in dan tabi’ut tabi’in sebelum abad ketiga hijriyah.
Kependidikannya tidak hanya bersifat teori, ilmu murni, namun juga ilmu terapan seperti strategi untuk mewujudkan peradaban Islam yang maju, adil dan beradab.
Saat itu belum dikenal adanya pendidikan klasikal, namun belajar di alam kehidupan tanpa batas, sepanjang hayat. Hal ini berlangsung sampai kekhalifahan Turki Utsmani, atau Turki ottoman, pada awal abad ke-20.
Setelah itu dengan interaksi yang sangat luas, kependidikan dilakukan para pendidik muslim secara klasikal, namun suasana salafiyah tetap dominan. Seiring dengan penjajahan di dunia Islam, proses kependidikan mengalami kemunduran karena dalam suasana penuh tekanan.
Kependidikan Islam di Nusantara mengalami kejayaan ketika masa kerajaan Islam di Aceh, Samudra Pasai, kemudian kesultanan Islam di Demak dan semasanya yang dilakukan Walisongo. Mulai saat ini lahir para alim (ulama) yang tangguh, tidak hanya menguasai ilmu-ilmu untuk kepentingan hidup di akhirat, juga ilmu-ilmu untuk kemaslahatan hidup di dunia. Ilmu pertanian, perkebunan, perikanan berkembang pesat, sehingga masakatnya menjadi adil dan makmur, untuk ukuran peradaban pada masa itu.
Mengapa bisa berkembang pesat demikian, karena orientasi kependidikan adalah untuk ibadah, yang berorientasi jangka panjang, bukan semata-mata untuk bekerja seperti kondisi sekarang yang berorientasi jangka pendek atau dunia semata. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah.