Oleh M. Dalhar
Dari tahun ke tahun peringatan Hari Santri Nasional (HSN) terasa begitu meriah. Di tingkat provinsi maupun kabupaten diselenggarakan acara untuk menyambut hari yang bersejarah, 22 Oktober setiap tahun.
Sejarah menunjukkan bahwa santri memiliki kontribusi besar dalam melawan kolonialis dan mempertahankan kemerdekaan negara ini. Dari masa ke masa perjuangan (baca: jihad) yang dilakukan senantiasa berubah. Tidak selalu berperang, tetapi juga ada diplomasi, pemberdayaan ekonomi, edukasi, dan lain masih banyak lainnya.
Perkembangan zaman senantiasa dinamis. Di Jepang sudah diperkenalkan konsep Society 5.0. Konsep ini memungkinkan manusia menggunakan ilmu pengetahuan berbasis modern untuk melayani kebutuhan manusia. Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat dapat benar-benar menikmati hidup dan merasa nyaman. Society 5.0 merupakan antisipasi dari Revolusi Industri 4.0 yang dikhawatirkan mendegradasi umat manusia.
- Iklan -
Penulis tidak membahas jauh tentang masyarakat 5.0. karena kepuasan atau ketentraman sudah diajarkan di pesantren. Dalam tradisi pesantren, ketentraman tidak harus dikaitkan dengan kemudahan akses atau materi yang melimpah. Hal itu seharusnya “tuntas” di pesantren.
Penulis ingin melihat perkembangan literasi – dalam makna luas – di lingkungan pesantren. Media sosial (medsos) dewasa ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Tulisan sebagai bagian penting dari medsos memiliki fungsi dalam membentuk opini masyarakat. Tidak semua tulisan yang membanjiri medsos bermanfaat, tetapi tidak sedikit yang berisi berita bohong (hoak), fitnah, dan ujaran kebencian.
Santri sebagai salah satu elemen bangsa ini memiliki peranan besar untuk mengklarifikasi atau tabayun atau bahkan meng-counter atas berbagai tulisan fitnah terutama yang berkaitan dengan isu agama. Para santri dapat mengisi medsos dengan beragam tulisan yang benar dan bermanfaat.
Diketahui bersama bahwa para santri pondok pesantren maupun alumninya merupakan kekuatan Islam moderat Ahlussunah wal Jamaah an-Nahdliyah (Aswaja) di Indonesia. Mereka adalah generasi Islam santun ala Indonesia yang perlu dibekali berbagai keterampilan untuk menjawab tantangan zaman yang senantiasa berubah. Kemampuan menulis adalah salah satu bekal yang penting dimiliki para santri.
Secara umum dunia menulis – menulis suatu karya – masih asing bagi para santri dibandingkan dengan dunia ceramah. Di pondok pesantren maupun pendidikan tradisional di masyarakat, pelatihan ceramah melalui kegiatan khitobah diselenggarakan secara rutin dan bergiliran di antara para santri. Melalui kegiatan tersebut diharapkan para santri kelak tidak canggung untuk memberikan ceramah atau tausiyah kepada masyarakat di lingkungannya. Lalu bagaimana dengan menulis?
Program menulis dapat dikatakan belum dapat berjalan sebaik ceramah atau khitobah. Menulis bagi para santri masih dimaknai sederhana yaitu memberi makna atau keterangan dari kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning) yang dikaji. Menulis belum dimaknai untuk menulis suatu karya seperti buku, esai, berita atau opini di media massa.
Padahal jika melihat ke belakang, tidak sedikit para ulama terdahulu yang menulis karya (baca: kitab). Karya-karya ulama besar – untuk menyebut beberapa nama – seperti Imam Syafi’i, Imam Ghozali, Imam Nawawi al-Bantani hingga kini masih banyak dikaji di pesantren. Melalui tulisan, luasnya ilmu yang para ulama miliki menjadikan generasi penerus dapat mengkajinya secara berulang-ulang. Fakta tersebut menjadi bukti bahwa tulisan memiliki peran strategis untuk keberlanjutan (sanad) sebuah ilmu pengetahuan agama.
Melalui tulisan pula, karya-karya ulama besar dapat dikaji tidak hanya di tempat mereka hidup, tetapi menyebar ke berbagai tempat dan zaman. Singkatnya, Jangkauan pengaruh tulisan menembus batas wilayah dan masa serta terjaga keasliannya.
Catatan Harian
Barangkali yang diperlukan oleh para pengurus pondok pesantren adalah memberikan motivasi dan tips menulis dengan cara mendatangkan penulis, wartawan, atau novelis. Di samping itu juga kurikulum pesantren harus menunjang proses penulisan bagi para santrinya. Misalnya dengan adanya forum (halaqoh) menulis dan ruang untuk menampung karya santri seperti mading, koran, website, dan buletin.
Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan membuat catatan harian. Para santri dapat memulai dengan membuat catatan harian. Buku tersebut dapat diisi dengan berbagai pengalaman sehari-hari santri, rangkuman ilmu, pengalaman rohani, atau hal-hal yang menarik lainnya di seputar dunia pesantren.
Sepertinya sederhana, tetapi jika dilakukan secara bersama-sama dan terus-menerus dapat melahirkan para penulis produktif dari kalangan para santri. Catatan harian menjadi langkah awal menjadi penulis produktif dan dalam jangka waktu yang panjang dapat pula memperkaya khazanah peradaban pesantren.
Dengan pengetahuan agama yang relatif mendalam, ditambah dengan kemampuan menulis yang baik, para santri dapat berdakwah tidak terbatas pada lingkungan tempat mereka tinggal, tetapi juga berdakwah kepada masyarakat lain di berbagai daerah, bahkan dunia. Di samping itu juga, karya para santri dapat menepis berbagai informasi yang bersifat radikal dan hoax yang beredar luas di dunia maya. (*)
-Penulis adalah Alumnus Pesantren Kulon Banon, Kajen Pati.