Oleh KH. Muhamad Muzamil
Al-ilmu al-nuur, ilmu adalah cahaya. Begitulah kira-kira penjelasan guru waktu kita mengaji di madrasah atau pesantren.
Cahaya ilmu menerangi hati, jiwa dan pikiran, sehingga seseorang yang memilikinya dapat berpikir dan bersikap bijaksana (wisdom), mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dengan baik dan memberikan manfaat kepada masyarakat sekelilingnya.
Ilmu adalah hidayah dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar. Allah memberikan ilmu kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
- Iklan -
Ketika ditanya oleh seseorang, “lebih utama mana antara ilmu dan kekuasaan”, Syaikh Abu Nawas menjawab, “masih utama ilmu”. Sang penanya bertanya, “apa buktinya kalau ilmu lebih utama daripada kekuasaan?”. Syaikh Abu Nawas tidak langsung memberikan jawaban, ia hanya mengatakan, “tunggu saja jawabannya esok hari”.
Pada esuk harinya sang penanya terkejut, mendengar khabar bahwa Syaikh Abu Nawas telah meninggal dunia, Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Akhirnya sang penanya bertakziah di rumah keluarga Syaikh Abu Nawas.
Anggota masyarakat juga banyak berdatangan untuk takziyah, akhirnya khabar meninggalnya Syaikh Abu Nawas terdengar oleh Sang Raja Harun Al-Rasyid yang terkenal bijak. Sang Raja pun ta’ziyah hingga mengantar dan menunggu pemakaman Syaikh Abu Nawas.
Ketika hendak dikubur, mendadak Syaikh Abu Nawas bangkit dan berkata, “lihat lah Sang Raja saja hadir di sini untuk menghormati jenazah saya. Ini bukti bahwa ilmu lebih utama daripada kekuasaan”. Mendengar tindakan Syaikh Abu Nawas yang pura-pura meninggal itu, Sang Raja pun tersenyum.
Tentu kisah tersebut menggambarkan bahwa ilmu lebih utama dari lainnya. Dengan ilmu, seseorang bisa mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Ilmu memelihara pemiliknya. Sementara sang raja menjaga dan memelihara kekuasaannya.
Pengertian ilmu dalam pandangan Islam tentu berbeda dengan perspektif yang lain. Dalam Islam diajarkan bahwa ilmu bersumber dari Allah Yang Maha Al-Alim. Sementara dalam perspektif positivistik, ilmu bersumber dari fenomena alam, yang diperoleh melalui penelitian atau riset.
Augus Comte, Immanuel Kant, termasuk tokoh filosof positivisme, yang antara lain berpandangan bahwa, ilmu diperoleh dari objek gejala alam melalui pengamatan inderawi dengan metodologi yang sudah disusun valid, yang bersifat rasional dan disusun secara sistimatis. Ilmu terpisah dari nilai agama yang dogmatis.
Pandangan demikian tentunya tidak seluruhnya keliru dan tidak seluruhnya benar menurut pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu bisa dicapai dengan pengamatan indrawi melalui gejala alam atau disebut waqi’iyyah. Namun ilmu juga dapat diperoleh melalui dalil naqli atau wahyu. Ilmu juga bisa diperoleh dengan penalaran akal sehat dengan mantik. Dan ilmu juga dapat diperoleh melalui dzikir, selalu ingat pada Allah, yang disebut irfani.
Tentu pandangan Islam terhadap ilmu lebih komprehensif, karena di dunia ini tidak hanya terdapat fenomena alam yang bisa menjadi objek kajian, namun juga terdapat hal-hal yang immaterial atau gaib, yang hanya mampu dilihat dengan kacamata batin atau ruhaniyah, dan tidak bisa hanya didekati secara empiris.
Manusia memiliki panca indra yang terbatas, tidak mampu menjangkau hal-hal yang bersifat immateri. Dan hanya mampu menangkap gejala alam yang bersifat materi atau kebendaan. Karenanya Islam adalah petunjuk (hidayah) Allah, agar manusia tidak hanya memahami hal-hal yang bersifat kebendaan namun juga dapat memahami hal-hal yang gaib. Allah SWT adalah Maha Gaib, yang hanya bisa diketahui melalui iman atau aqidah.
Pandangan positivistik yang diikuti dunia akademik barat hanya mampu berpikir secara ilmiah, yakni objektifikasi, rasionalisasi, sistematisasi, metodologisasi dan empirisasi. Sementara itu positivisme tidak mampu menangkap apa yang dibalik yang nyata atau yang nampak. Karena itu tugas umat beragama lah yang mampu menjelaskan keduanya, hal-hal yang nampak dan hal-hal yang tidak teridentifikasi oleh panca indera.
Dengan demikian pandangan Islam lebih komprehensif dan mendalam tentang eksistensi ilmu. Karenanya tidak heran jika para pemikir muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Rusd, Al-Jabar dan lainnya mampu mengembangkan filsafat Yunani kuno menjadi ilmu pengetahuan, baru setelah itu dunia barat mampu mengembangkannya hingga dewasa ini.
Karena itu, umat Islam memiliki potensi yang lebih, tinggal bagaimana ummat Islam mau belajar mengembangkan diri, sehingga bisa memegang kendali dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Untuk kepentingan belajar, ada baiknya jika ummat Islam bersikap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik dan manfaat.
Tantangan pemikir muslim adalah menguraikan dari ajaran Islam menjadi epistemologi, dari epistemologi dijelaskan lagi sehingga menjadi teori, sehingga menjadi rumusan yang komprehensif dan mendalam tentang ilmu pengetahuan, dan kemudian ilmu pengetahuan diterapkan menjadi teknologi. Kerangka kerja ilmiah ini tentu tidak lah ringan, sehingga umat Islam tidak hanya copy paste (salin tempel) dari filasafat ilmu yang telah ada. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah.