Oleh Drs. KH. Mohamad Muzamil
Perbedaan pandangan dan sikap para ulama tentang suatu masalah menunjukkan adanya khasanah pemikiran Islam yang dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Perbedaan pandangan tersebut menjadi keniscayaan karena faktor teks dan konteks serta latar belakang sejarah, geografi, dan tata nilai budaya masyarakat setempat.
Pada masa Nabi Muhammad SAW juga sering terjadi perbedaan pendapat di antara para Sahabatnya. Misalnya sahabat yang sehari-harinya bersama Nabi dikenal dengan ahli al-hadits, sementara Sahabat yang tempat tinggalnya jauh dari tempat tinggal Nabi SAW dikenal sebagai ahl al-ro’yu.
- Iklan -
Bahkan terhadap pesan Nabi SAW juga ada perbedaan pendapat diantara para Sahabat. Misalnya pesan Nabi SAW bahwa, “hendaknya kalian jangan salat ashar kecuali sudah sampai di perkampungan Bani Quraidhah”. Pada kenyataannya ketika dalam perjalanan terdengar suara adzan ashar, ada sahabat yang ikut jamaah salat ashar dan ada pula yang meneruskan perjalanan dan salat ashar di tempat tujuan, desa Bani quraidhah.
Dengan kejadian tersebut, ada sahabat yang melaporkan kepada Nabi SAW, namun Nabi tidak menegur kepada sahabat yang menunaikan salat ashar di tengah perjalanan. Ini lah indahnya mengikuti sunnah Nabi. Ada yang berpikir tekstual dan ada pula yang berpikir kontekstual.
Perbedaan pendapat di kalangan sahabat sering terjadi setelah Rasulullah SAW wafat. Dimulai dari musyawarah tentang siapa yang akan meneruskan kepemimpinan umat Islam setelah Nabi SAW wafat. Kemudian dipilih lah Sahabat Abu Bakar As-Shidiq, kemudian Sahabat Umar bin Khatab, Sahabat Utsman bin Affan dan Sahabat Ali bin Abi Thalib kw.
Perbedaan pendapat tersebut kemudian meruncing setelah wafatnya Sahabat Utsman bin Affan sehingga terjadi perang saudara antara Sahabat Ali dan Siti Aisyah r.a., kemudian disusul perang antara Sahabat Ali dengan Sahabat Mu’awiyah, hingga menimbulkan firqoh syi’ah dan khawarij.
Setelah itu juga muncul golongan Muktazilah, Qadariyah; Jabariyah, Mujasimah, dan kemudian berkembang menjadi 73 firqoh.
Sejarah kelam perang saudara tersebut menjadi pelajaran berharga bagi generasi setelahnya bahwa faktor penyebabnya bukan tentang agama, melainkan tentang politik kekuasaan. Dari sini kemudian muncul istilah “Islam politik” di satu pihak dan “politik Islam” di pihak yang lain.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa Islam politik adalah kelompok umat Islam yang menggunakan Islam sebagai alat pembenar bagi aktivitas politik kekuasaannya. Untuk memperoleh dukungan luas dari ummat, kelompok ini tidak segan-segan menggunakan dalil naqli yang bersumber dari Alquran dan Sunnah untuk memberi keabsahan bagi sikap politiknya. Islam nampak hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh dukungan massa. Bahkan kelompok ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk memaksakan keinginan politiknya, seperti ditunjukkan oleh firqah khawarij.
Di pihak lain, kelompok politik Islam, adalah mayoritas ummat yang menjadikan Islam sebagai inspirasi kegiatan politiknya. Bahwa berpolitik adalah untuk memperjuangkan ukhuwah, memperjuangkan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh ummat.
Karena itu dalam politik Islam diupayakan terwujudnya visi Islam secara menyeluruh seperti terbentuknya masyarakat yang bertakwa, berakhlaq mulia, dan menjunjung tinggi hasil musyawarah, mewujudkan kasih sayang (rahmat) bagi semesta alam.
Belajar dari kondisi objektif sejarah ummat tersebut, maka pertanyaannya adalah perbedaan pendapat yang bagaimanakah yang dapat menimbulkan rahmat?
Perbedaan pendapat yang dapat menjadi rahmat adalah perbedaan yang didasari atas ilmunya ulama, bukan didasari oleh nafsu kepentingan politik yang bersifat duniawi.
Ilmu adalah cahaya. Ilmu ulama bersumber dari wahyu yang sudah diterima Nabi SAW yakni Alquran dan Al-Hadits dengan penalaran yang sudah disepakati metodologinya oleh mayoritas ulama yaitu ijma’ dan qiyas.
Perbedaan pandangan yang tidak didasari pada ilmunya ulama akan sia-sia belaka, bahkan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Islam adalah untuk kemaslahatan ummat baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu sangat tepat jika disebutkan bahwa hayatu Islam bi ilmi wa tuqo. Bukankah sudah nyata bahwa apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tak berilmu? Bukankah Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik, dan tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan?
Bukankah jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu atau ego kita sendiri ? Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah.