Oleh Drs. KH. Muhamad Muzamil
Para ahli fikih merumuskan suatu kaidah bahwa asal hukum dalam ibadah mahdloh (hubungan manusia dengan Allah SWT) adalah dilarang kecuali ada perintah. Sedangkan dalam ibadah mu’amalah (hubungan sesama umat manusia) adalah boleh kecuali ada larangannya.
Hal ini menunjukkan betapa telitinya ulama dalam memberikan jawaban hukum atas ibadah yang dilakukan jemaahnya kepada zat yang berhak disembah, Allah SWT.
Dalam ibadah mahdloh dikenal adanya imam dan makmum. Keduanya memiliki persyaratan yang diatur dalam fikih. Syarat umumnya adalah beragama Islam, sudah aqil baligh, dan merdeka serta suci dari hadas dan najis, baik badan, pakaian, maupun tempatnya. Adapun syarat imam adalah menguasai ilmunya, bacaan Alqurannya fasih, dan seterusnya. Adapun syarat makmum adalah mengikuti gerak gerik imam.
- Iklan -
Demikian pula dalam ibadah mu’amalah, seorang pemimpin wajib memenuhi syarat: luas wawasannya, adil, mau melakukan musyawarah, istikharah dan tegas dalam mengambil kebijakan. Sedangkan pengikutnya wajib taat kepada pemimpinnya selama pemimpinnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Prinsip dalam ibadah mu’amalah adalah haqqul adami, memenuhi hak-hak anak keturunan Nabi Adam As, yakni manusia atau masyarakat atau orang per orang yang menjadi pengikutnya.
Sebelum Rasulullah SAW akan wafat, Nabi Muhammad SAW menyampaikan pidato kepada para jemaahnya, yaitu para Sahabat Nabi dan keluarganya. “Apakah semua wahyu yang aku terima sudah aku sampaikan kepada kalian semua?” Para Sahabat menjawab, “sudah ya Rasulullah”. Kemudian Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, “selama aku bergaul dengan kalian apakah aku punya hutang kepada kalian?” Para Sahabat menjawab, “tidak ya Rasulullah. Justru kami lah yang banyak berhutang budi kepada Rasulullah”.
Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “adakah di antara kalian yang pernah aku sakiti?”, para Sahabat saling memandang, kemudian Sahabat Ukasyah mengatakan, “saya ya Rasulullah”. Pandangan para Sahabat Nabi tertuju kepada Sahabat Ukasyah, tidak terima dengan pengakuan Sahabat Ukasyah.
“Waktu itu Rasulullah mengendalikan kuda, dan pecutnya mengenai tubuh saya”, jawab sahabat Ukasyah. “Kalau begitu silakan engkau membalasku”.
Kemudian diambilnya pecut yang waktu itu digunakan Nabi Muhammad SAW. Para sahabat Nabi lainnya dan keluarganya dengan suka rela bersedia menggantikan untuk dipecut sahabat Ukasyah, namun Nabi SAW menolaknya dan mempersilahkan sahabat Ukasyah membalasnya. Dan ketika Nabi SAW telah bersiap untuk dibalas, tiba-tiba sahabat Ukasyah memeluk dan mencium Nabi SAW dan berkata lirih, “Nabi SAW pernah bersabda barang siapa memeluk tubuhku maka ia diharamkan disiksa di neraka”.
Kemudian Nabi SAW bersabda, “kalau ingin tahu siapa yang akan surga bersama ku, maka orang seperti ini lah orangnya”. Kemudian suasana jadi haru dan akhirnya secara bergantian para Sahabat memeluk dan mencium Nabi SAW dengan penuh hormat, cinta dan kasih sayang.
Demikian itu lah potret kepemimpinan Nabi SAW yang sangat bertanggung jawab atas kepemimpinannya dan mencintai umatnya, dan Nabi SAW pun dihormati dan dicintai oleh umatnya.
Nah, bagaimana pemimpin dan para pengikut di kalangan ummat Islam setelah kepemimpinan Nabi SAW? Banyak pemimpin dan pengikut yang meneladani kepemimpinan Nabi SAW dan para Sahabatnya, berlaku adil dan bijaksana serta mewujudkan kemaslahatan ummat atas dasar cinta dan kasih sayang. Hal ini ditunjukkan pada masa Khulafa’ al-rosyidin dan para penerusnya yang adil dan bijak.
Namun juga dicatat dalam sejarah adanya tragedi kepemimpinan, perang saudara yang menimbulkan banyak korban. Hal ini disebabkan karena faktor intern dan ekstern umat waktu itu. Perang Jamal, perang Shifin, terbunuhnya Sayyidina Hasan dan Husein, serta pecahnya kerajaaan-kerajaan Islam sesudahnya, baik di kawasan Arab maupun di kawasan Nusantara, adalah pelajaran berharga yang patut diambil hikmahnya, agar tragedi itu tidak terulang kembali.
Prinsip kepemimpinan Nabi SAW, adalah mengedepankan watak kejujuran, amanah, kecerdasan, dan menyampaikan hak kepada mereka yang berhak. Semua itu dilakukan dengan cinta dan ketulusan hati yang besar dan mendalam kepada ummatnya.
Di samping itu Nabi SAW juga selalu mengedepankan musyawarah dan dialog yang baik, bersikap adil dan bijaksana.
Sekarang ini kepemimpinan ummat di tangan ulama dan umara. Disebutkan oleh para ulama dan hukama bahwa ulama dan umara adalah saudara kembar. Ulama adalah pemegang supremasi agama (tafaqquh fi al-din), sedangkan umara atau aparatur negara adalah pemegang kendali pemerintahan. Dijelaskan pula, agama adalah pokok (ushul)-nya, sedangkan pemerintahan negara adalah penjaganya.
Pada masa Nabi SAW dan khulafa’ al-Rosyidin adalah ulama sekaligus umara. Namun pada dewasa ini kedua hal itu tidak lagi mampu dirangkap oleh seseorang al-alim al-alamah, melainkan telah ada pembagian tugas, dan dipegang oleh orang yang tidak sama. Hal ini mulai sejak adanya kerajaan atau kesultanan. Ada penasehat Raja yang terdiri atas para alim ulama dan seorang Raja dan pembantunya dari kalangan bangsawan.
Lebih-lebih pada Negara Republik, yang membedakan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dan terdiri dari banyak orang yang memimpin. Dengan begitu musyawarah menjadi kebutuhan dalam melahirkan peraturan perundang-undangan yang adil guna mewujudkan kemakmuran bagi rakyat sebagai pengikutnya.
Bentuk kelembagaannya memang telah berubah, namun semangat dan nilai-nilainya tidak boleh berubah, yakni perlunya mengedepankan musyawarah, dialog, sikap saling memberikan kasih sayang, dan hormat menghormati, jujur, amanah, kecerdasan dan keadilan adalah kata kunci keberhasilan para pemimpin dan pengikutnya.
Bukankah sudah diingatkan dengan jelas bahwa “rusaknya moral masyarakat karena akibat rusaknya moral pemerintah dan rusaknya moral pemerintah karena rusaknya moral tokoh agama dan masyarakatnya”. Dengan demikian keteladanan para pimpinan adalah suri teladan yang baik bagi para pengikutnya. Wallahu a’lam.
–Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah.