Oleh Hamidulloh Ibda
Tahun kemarin, saya iseng ikut Lomba Artikel dan Karya Jurnalistik Tingkat Nasional 2018 yang digelar Kemdikbud RI. Lantaran jurinya mungkin ngantuk, saya dinobatkan sebagai Pemenang 1 alias Juara 1 Artikel Kategori Umum. Setelah berita dan foto saya upload di WhatsApp, ada teman guru komentar.
“Selamat, Mas. Aku diwarai, Mas. Ben iso koyok awakmu. Nek ono info lomba kabari ya. Lomba artikel atau foto ya gakpopo,” katanya yang masih kuingat.
“Oke, mangke tak kirimi info lomba-lomba. Kadose sampeyan hobi nulis,” jawabku kala itu.
- Iklan -
Setelah beberapa minggu, aku mengirim link info lomba artikel padanya. Blas ora digagas alias cuma dibalas “Suwun, Mas. Nek bisa yang lomba foto wae”. Berikutnya, ada lagi lomba foto, kukirim informasi padanya. Dia pun cuma jawab “Suwun, Bos”.
Dia ikut atau tidak, atau sekadar share-share tanpa tindak lanjut menulis/memotret untuk ikut lomba, “itu bukan urusan saya”, pikirku dengan enteng.
Selang beberapa minggu, ada lomba-lomba menjamur. Ya lomba foto instagram, foto jurnalistik, foto kegiatan budaya, foto perpustakaan hingga foto HUT RI. Hampir sembilan link lomba kukirim padanya. Ia mungkin jenuh karena saking banyak lomba menghujani WhatsApp-nya.
Usai saya kirim, dia pun responnya sama, blas ora nggagas. Pikir saya, “Padahal jaluk-jaluk dewe, dikei info sesuai permintaane ya dituruti, kok mung omong tok”.
“Apa aku sing salah?” Tanya saya dalam hati.
Kapok Mengajak Orang ‘NATO’
Dipikir-pikir, teman saya ini memang agak aneh, mungkin sampeyan yang membaca tulisan ini juga pernah mengalaminya.
Banyak orang minta informasi, namun ketika diberi informasi malah tak ada respon sesuai permintaannya tersebut. Sejak kala itu, saya kapok membagikan, menginformasikan, atau mengajak guru, teman dosen atau mahasiswa yang NATO alias No Action Talk Only.
Katanya mau ikut lomba artikel, minta dikirimkan info, saya kirimkan. Tapi geser minta info lomba foto karena alasan dia hobi foto-foto. Setelah saya kirimkan informasi lomba foto, tidak ikut juga. “Janjane karepe piye?” Pikir saya keheranan.
Manusia, khususnya guru, saat ini memang aneh. Praksis, hobinya foto atau selfie (swafoto) saja. Meski saya termasuk hobi foto, tapi bukan narsisme yang saya suguhkan, melainkan foto-foto informasi atau benda-benda berat. Seperti buku, kitab, kopi, foto koran, dan lainnya termasuk link-link artikel maupun berita. Tak percaya? Lihat saja WhatsApp saya.
Di grup-grup pun sama, hampir semuanya penuh foto. Kalau teman saya menyebut “Grup WA kui panggonane sampah. La kebak file-file, foto-foto ora ceto dikirim. Kabeh masuk WA tanpa filter”.
Di benak saya; benar juga ya. Grup-grup virtual memang tempat nyampah. Dan, foto merupakan “sampah virtual”.
Coba hitung, setiap minggu, atau setiap hari lah, berapa puluh atau ratus foto yang jenengan hapus? Dari foto emak-emak nyapu, sampai foto janda ngepel dan suster ngesot pun ada. Edan!
Padahal, grup-grup yang saya huni itu juga rata-rata orang terpelajar. Ya grup guru, dosen, mahasiswa, organisasi, hingga grup pisuhan yang kami buat sebagai katarsis hidup karena saking sebelnya menghadapi realitas hidup.
Kembali ke teman saya, di sini bukan bermaksud menggunjing, tapi darinya, saya belajar tentang banyaknya guru, pelajar, mahasiswa atau dosen yang terlalu banyak berfoto, berpose, berselfie ria daripada memproduksi kata yang terwujud utuh menjadi karya. Baik itu karya jurnalistik, karya ilmiah, atau karya sastra, bukan karyawan apalagi karyawati. Kecuali, mereka hobi fotografi atau memang menekuni dunia itu yang menjadi karya estetik berupa karya fotografi.
Anehnya, mereka itu ya minimal sarjana, bahkan banyak yang magister dan doktor. Apa karena alasan kesibukan? Ah tampaknya tidak. Alasan ide? Tidak juga! Masak sekelas lulusan S2 dan S3 miskin ide dan bisanya sekadar foto-foto saja? Kan wagu!
Kalau ada magister dan doktor tak bisa berkarya ya anggap saja magister dan doktor ‘pekok’ itu namanya. Jawaban itu presisinya pas karena sindrom narsisme lewat foto, selfie, melupakan hidup yang harus agak bahkan serius. Khususnya di dunia pendidikan. Semua elemen harus didekatkan pada Alquran, buku, tulisan, bukan sekadar foto.
Namun mereka paradoks, karena budayanya bergeser menjadi sekadar foto foto. Boleh lah, tetapi apa saja kalau berlebihan itu yang dilarang Islam. Apa saja itu, termasuk dalam hal kebaikan. Contoh, masak salat subuh empat rakaat?
Menulis karya jurnalistik, karya ilmiah, karya sastra memang sulit. Percaya atau tidak. Buktinya, orang lebih mudah berfoto daripada berkarya. Orang mudah menulis status di Facebook, Twitter, Instagram, layanan pesan WA, dan lainnya. Tapi begitu diminta menulis artikel, esai, puisi, cerpen, makglagep diam.
Ya, memang benar, karena berfoto, selfie ria, asal motret, itu semua tak pakai nalar, asal punya gawai dan ada objek, ya tinggal jeprat-jepret. Selesai!
Tentu berbeda dengan fotografer. Mereka memotret memakai rasa, seni, metode, teknik, ilmu, dan hasilnya adalah karya fotografi. Kalau wartawan, ya karya fotografi jurnalistik. Bisa dijual dan dijadikan portofolio karya fotografi/karya foto jurnalistik mereka. Tipe ini tentu berbeda dengan foto-foto gawai produksi para guru atau dosen yang saya maksud di sini.
Fotografer atau wartawan foto ketika memotret, karena tuntutan kerja. Jelas ada hasilnya. Nah, bagaimana dengan orang-orang yang hobi selfie atau swafoto karena sindrom narsisisme atau narsisme?
Sindrom Narsisme
Sejak Android murah dibeli, guru atau dosen memang terlena dengan narsisme yang melahirkan sampah virtual tiap menit. Coba saja perhatikan teman-teman Anda di WA. Pasti, ada yang setiap menit membuat status foto di WA atau rajin ngirim foto di grup.
Berbeda dengan fotografer atau wartawan foto. Mereka memotret tidak sembarangan, ada cara, kondisi, dan angle yang dibidik karena berkaitan dengan teknologi cahaya.
Kalau fotografer atau jurnalis foto, aliran yang mereka tekuni jelas. Misalnya, aliran impressionisme, naturalisme, realisme, dan lainnya. Lebih teknis lagi ada landscape photography, potrait photography, still life photography, fashion photography, street photography, journalism photography, abstract photogralhy, dan lainnya.
Bahkan, kalau lebih luas di dunia seni khususnya lukis, kita kenal ada dadaisme, kubisme, surealisme, ekspresionisme, simbolisme, fauvisme, dan yang lain. Dus, bagaimana dengan narsisme?
(bersambung)
-Penulis adalah dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung.