Oleh R. Andi Irawan, M.Ag.
Refleksi 90 Tahun Ma’arif
Ma’arif merupakan salah satu lembaga paling besar di tubuh NU. Keberadaannya selama 90 tahun ini telah memberikan kontribusi dan jasa besar dalam mencerdaskan anak bangsa dan mengembangkan pendidikan nasional dalam menjaga faham Islam moderat dan NKRI. Lepas dari segala kekurangan yang dilimiki, Ma’arif dari lintasan sejarah mulai dari berdirinya hingga saat ini telah berhasil menancapkan fondasi pendidikan paripurna, yaitu pendidikan yang mengajarkan suatu pemahaman yang utuh dan benar tentang orientasi kehidupan, beragama dan bernegera yang berasaskan ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, moderasi, perdamaian, dan kerahmatan.
Berdirinya Ma’arif dalam narasi sejarah tidak lepas dari respon para kiai NU pada saat itu yang melihat belum adanya gerakan dan kegiatan pendidikan di bawah naungan NU yang secara terorganisasi berjalan dalam mengurusi, mewadahi, meningkatkan dan memajukan pendidikan formal. Kiai Abdullah Ubaid, Mahfuch Sidiq dan Kiai Wahid Hanyim secara khusus diamanahi oleh Kiai Hasyim Asy’ari untuk menggagas terbentunya lembaga pendidikan tersebut. Terbentuknya Ma’arif pada 19 September 1929 merupakan bagian dari agenda besar NU dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran paham Islam Aswaja dan nasionalisme melalui jalur pendidikan. Ma’arif secara prinsip mengemban masuliyah diniyah dan masuliyah wathaniyah dalam perjalanannya selama ini dan di masa yang akan datang. Dua tanggungjawab ini mengharuskan Ma’arif untuk mampu melahirkan dan menyiapkan kader-kader dan generasi masa depan yang memiliki wawasan keagamaan moderat dan kebangsaan yang mencintai agama dan tanah airnya.
- Iklan -
Dalam proses ideologisasi kedua agenda di atas, Ma’arif menjadi media strategis, bahkan menjadi ujung tombak NU di dalam menyiapkan generasi yang berkarakter Aswaja Nahdliyah. Sebab pendidikan merupakan media utama internalisasi atau penanaman nilai-nilai keagamaan moderat dan wathaniyah. Keberhasilan Ma’arif menjadi kunci penentu keberhasilan NU di dalam kaderisasi, dan sebaliknya. Karena itu, perhatian terhadap eksistensi Ma’arif di dalam melakukan program-program strategis ideologisasi dan kaderisasi menjadi sangat urgen di masa yang akan datang.
Ma’arif pada awal mula kemunculannya mencoba mengintegrasikan antara ilmu umum di sekolah yang bercorak rasional-empiris dan ilmu agama yang diajarkan di pesantren yang bercorak religius dan esoteris. Madrasah merupakan bentuk nyata dari kompromi dua model pembelajaran tersebut dengan tetap menjaga dan mendialogkan kedua karakteristik masing-masing. Madrasah lahir dari dua model pembelajaran, yaitu sekolah dan pesantren, maka dari itu Ma’arif dalam praktik pendidikannya tidak boleh lepas dan meninggalkan ajaran atau nilai-nilai pesantren sebagai lembaga tafagguh fi al-Din. Implementasi nilai-nilai pesantren inilah yang menjadi distingsi Ma’arif dengan sekolah-sekolah lainnya.
Kita cukup prihatin dengan kondisi dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Berbagai problem masih mengganjal perjalanan pendidikan nasional menuju visi membangun manusia seutuhnya. Minimal saat ini ada tiga problem yang harus dihadapi pendidikan nasional, terutama Ma’arif.
Pertama, dekadensi moral merupakan problem utama pendidikan nasional saat ini. Dekadensi moral semakin menguat di kalangan peserta didik, baik bagaimana membangun hubungan yang santun dengan gurunya, juga rusaknya kehidupan mereka di luar sekolah, ketika masih di bangku sekolah maupun ketika telah lulus. Kemudian krisis keteladanan atau role model dari kalangan guru sehingga sulit membentuk karakter dan kepribadian peserta didik. Selain itu, masih banyaknya pejabat negara yang berpendidikan tinggi terjerat korupsi, narkoba, freesex, dan tindakan amoral lainnya, menjadi bukti pendidikan kita belum sepenuhnya menghasilkan lulusan yang berintegritas. Padahal hakikat pendidikan menurut al-Ghazali sebagaimana dinukil oleh kiai Sahal Mahfudh dalam bukunya yang berjudul “Pesantren Mencari Makna” adalah penanaman budi luhur sehingga mendarah daging dalam jiwa (ghars al-akhlaq al-fadlilah fi nufus al-naasi hatta tashbahu al-malakah). Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa pendidikan agama adalah satu-satunya yang tertinggal sebagai media yang dianggap dapat menetralisir dampak buruk materalisme dan membangun kembali moralitas sebagai dasar pembentukan watak, mental dan karakteristik bangsa.
Kedua, masih rendahnya mutu pendidikan nasional. Problem kedua ini menunjukkan masih rendahnya kualitas dan komptensi stakeholders sekolah dan madrasah, yaitu kepala sekolah dan guru. Sebab, output dan prestasi peserta didik sangat ditentukan seberapa kompeten dan kreatifnya seorang guru dan kepala sekolah di dalam menciptakan iklim, pendekatan, metode, strategi, bahan ajar, model evaluasi dalam proses pembelajaran. Dalam kancah internasional menurut data PISA, Indonesia dalam bidang sains menempati posisi 62, matematika posisi 63, dan literasi di posisi 64.
Data ini menunjukkan dengan jelas rendahnya mutu pendidikan nasional di tengah-tengah kompetisi dunia internasional. Karena itu, program peningkatan kualitas guru harus terus didorong agar mereka memiliki motivasi dan kesadaran yang tinggi untuk terus meningkatkan keilmuan dan keterampilan dalam mengajar. Sebagai warga NU yang loyal dan solid terhadap para arahan kiai, para guru Ma’arif sudah semestinya menata diri untuk memiliki motivasi belajar dan meningkatkan pengembangan diri melalui intensitas muthala’ah, berkarya, dan mengahsilkan inovasi pembelajaran. Hal demikian sebagaimana telah ditegaskan oleh KH. Hasyim As’ari dalam kitab fonemonalnya yang berjudul “Adabu al-Alim wa al- Muta’allim”. Dalam kitabnya ini, kiai Hasyim Asy’ari sangat mendorong para guru untuk selalu menumbuhkan dan menjaga spirit mengembangkan keilmuan, produktif berkarya dan memiliki cara pandang yang terbuka terhadap perkembangan keilmuan yang bersumber dari manapun selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Ketiga, semakin terkikisnya paham Islam Aswaja dan nasionalisme. Saat ini gerakan radikalisme secara terorganisir baik melalui instansi pemerintahan, lembaga pendidikan, dan kultural berjalan secara massif dan tidak terbendung. Dakwah melalui media sosial, dakwah di kampus, dan mendirikan lembaga pendidikan menjadi strategi ampuh mereka di dalam menyebarkan paham yang mengajarkan anarkisme dan ekstrimisme dalam beragama. Belum lagi faham liberalisme yang telah mendarah daging di setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sampai sosial-budaya. Faham komunisme yang bergerilya menancapkan eksistensinya di berbagai lembaga pemerintah dan gerakan kultural masyarakat. Hal demikian sebagaimana disyinyalir dalam bukunya Drs. Abdul Mun’in DZ yang berjudul “Menghadapi Manuver Neo-Komunis”.
Paradigma Aswaja Nahdliyah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era revolusi industri merupakan suatu realitas yang tidak mungkin dihindari, namun bagaimana menjadikannya sebagai peluang untuk bisa diterapkan diberbagai bidang sebagai jalan mempermudah aktifitas bidang tersebut. Walaupun demikian, teknologi keberadaannya menyisakan sejumlah ekses negatif bagi masyarakat yang minim tentang bagaimana menggunakannya dalam kemanfaatan dan kemaslahatan. Maka dari itu, penguasaan dan pemanfaatan IT untuk pembelajaran dan meningkatkannya adalah suatu keniscayaan.
Ekses negatif mendasar dari perkembangan IPTEK hari ini adalah terkikisnya nilai-nilai ketuhanan dan spiritual dalam segala aspek kehidupan, sebab IPTEK yang dikembangkan dewasa ini dilandaskan di atas fondasi matrealisme dan positivisme, sehingga semua aktifitas kehidupan termasuk pendidikan ditujukan untuk meraih kepuasan dan penguasaan materi yang berujung pada disorientasi kehidupan masyarakat kontemporer.
Realitas demikian tentu kontradiksi dengan visi dan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu bagaimana mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan, fisik, jiwa, hati dan akal, sehingga lahirlah manusia-manusia yang memahami hakikat kehidupan sebagai khalifah Allah di bumi yang mengemban amanah mensejahterakan bumi sebagai pengejawantahan ibadah kepada Allah. Kerangka pemikiran inilah yang akan mampu menjawab berbagai problem pendidikan dan dunia kontemporer hari ini yang jika dirunut secara filosofis adalah problem ideologis dan paradigmatik. Jika ini telah diselesaikan, maka problem moral, rendahnya mutu dan hegemoni liberalisme, radikalisme dan komunisme bisa diselesaikan pula.
Karena itu, Ma’arif kedepan harus membangun satu fondasi filosofi pendidikan (Paradigma Aswaja Nahdliyah) yang kokoh yang bisa membentengi dan mengcounter problem paradigmatik saat ini. Paradigma pendidikan dalam bingkai Aswaja menurut Gus Dur menuntut suatu pemaham yang komprehensif, baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara ontologis, ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Ilmu dalam bingkai aswaja dipahami sebagai suatu pancaran cahaya akan suatu objek yang bersifat esoteris. Sedangkan secara epistemologis, ilmu diperoleh secara emanatif (faidl).
Secara aksiologis ilmu ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan kehidupan manusia di muka bumi. Dalam konteks pemahaman seperti ini, ilmu dalam bingkai aswaja sering disebut sebagai cahaya, sebagaimana dalam salah satu adagium populer, yaitu “al-Ilmu Nurun”, yang artinya ilmu adalah cahaya. Adapun pengetahuan lebih merupakan suatu pengetahuan tentang keterampilan akan suatu objek yang diperoleh secara rasional dan empiris yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Jika ilmu bersifat permanen, sedangkan pengetahuan bersifat dinamis dan terus berkembang.
Lebih lanjut Gus Dur menjelaskan, bahwa dalam praktiknya, ilmu dan pengetahuan harus disatukan untuk mencapai suatu peradaban yang berketuhanan. Ilmu fungsinya sebagai penuntun pengetahuan agar tidak liar dan bebas nilai. Pengetahuan dapat terkontrol untuk selalu berkembang dan beroperasi di atas rel kemaslahatan kehidupan manusia. Dari sini kita dapat menemukan kelemahan perkembangan IPTEK dewasa ini yang hanya mengejar pengetahuan yang bersifat empiris, rasional, dan matrealis tapi lepas dari ilmu dalam arti kesadaran ilahiyah. Paradigma semacam inilah yang akhirnya menyebabkan lahirnya problem moralitas, rendahnya mutu pendidikan Islam, dan menghegemoninya faham-faham liberalisme, radikalisme dan komunisme.
Ma’arif kedepan seyogyanya betul-betul menerapkan bangunan filosofis keilmuan yang menyeluruh, secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Paradigma ini kemudian akan melahirkan suatu kurikulum, pendekatan, metode, strategi, teknik, bahan ajar sampai evaluasi pembelajaran. Secara praktis, penerapan paradigma ini dalam pendidikan harus menggunakan pendekatan dan metode riyadlah melalui takhalli dan tahalli dalam mendidik peserta didik, tidak hanya terpaku pada pendekatan rasional-empiris melalui learning.
Ketika demikian, lahirlah manusia-manusia yang paripurna atau insan kamil, yaitu manusia yang tidak hanya menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan, tapi juga berilmu, di mana setiap pemikiran, sikap dan tindakannya tercerahkan oleh energi ketuhanan dan menuju arah kemaslahatan. Dari sisi konten bahan ajar, muatan teks (bayani), akal (burhani), dan hati (irfani) menjadi model dan pola pendidikan yang bercorak integratif, seimbang dan moderat. Dan dari sisi evaluasi, pendidikan Ma’arif mengukur perkembangan peserta didik tidak hanya berdasarkan prestasi kogitif atau intelektual, tapi secara komprehensif mencakup aspek perkembangan afektif atau moral dan spiritual serta psikomotorik.
Dengan konstruksi filosofis pendidikan demikian, Ma’arif diharapkan mampu menawarkan satu desains pendidikan yang paripurna dan mengantarkan Indonesia pada suatu peradaban yang berketuhanan sebagaimana tercermin dalam dasar negara Pancasila di mana sila ketuhanan menjadi ruh bagi seluruh sila dan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Suatu peradaban sangat ditentukan keberhasilan pendidikan di dalam mempersiapkan masyarakatnya untuk menerima berbagai pengetahuan dan kebudayaan yang bersumber dari manapun.
Penerimaan secara akomodatif tersebut bukan berarti harus tercerabut dari nilai budaya dan kearifan yang dimiliki dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apalagi negara kita, di mana hingga saat ini masih terus terombang-ambing oleh berbagai paham dan kebudayaan yang datang dari luar, yaitu liberalisme, radikalisme, komunisme. Sebagai sikap cerdas dan bijak adalah bagaimana mendialogkan paham-paham tersebut dalam ramuan dan racikan yang relevan dengan budaya masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya dan kearifan lokal dengan tetap menjaga secara kokoh identitas diri sendiri. (hi).
–Penulis adalah Ketua LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.