Oleh Hamidulloh Ibda
“Demi Islam dan Indonesia, demi kemajuan, hanya pemuda nasionalis yang mampu mengubah kondisi bangsa. Salah satunya melalui Pramuka.”
Tepat pada Rabu 14 Agustus 2019 ini, kita merayakan Hari Pramuka (Praja Muda Karana) ke-58. Perayaan Hari Pramuka ini tak boleh jika “formalistik simbolis” meskipun Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka telah mendesainnya dengan apik. Sebab, tantangan Pramuka khususnya di sini Satuan Komunitas (Sako) Ma’arif NU memiliki tugas berat untuk komitmen membangun nasionalisme kepada anak-anak, remaja, dan kaum muda.
Dalam sejarahnya, Keputusan Presiden RI Nomor 448 Tahun 1961 telah menetapkan tanggal 14 Agustus disahkan menjadi Hari Pramuka. Pramuka tidak sekadar soal “baju cokelat” dan hasduk, akan tetapi Gerakan Pramuka menjadi bagian penting pendidikan luar sekolah dan di luar keluarga untuk mencerdaskan sekaligus membangun karakter nasionalis.
- Iklan -
Gerakan Praja Muda Karana (Pramuka) memiliki sejarah yang turut berkontribusi dalam perjalanan bangsa. Lahirnya Pramuka di Indonesia turut menyulut berdirinya pergerakan nasiona
Nasionalisme manusia Indonesia saat ini diragukan, khususnya pada diri pemuda. Kita patut bertanya kembali, apakah masyarakat Indonesia sudah memiliki jiwa nasionalisme tinggi? Anda sendiri yang tahu jawabannya. Selama ini, hampir semua kalangan tak tahu apa itu nasionalisme dan bagaimana cara mengimplementasikannya. Apalagi banyak organisasi dan kelompok yang secara terang-terangan mengatakan Indonesia adalah negara “taghut”, menerapkan sistem kafir, dan nasionalisme bukan dari bagian dari Islam. Paradigma inilah yang harus diluruskan dan menjadi tugas berat Gerakan Pramuka.
Ketika tidak menganggap nasionalisme sebagai “jimat” keutuhan NKRI, maka tak hanya politisi, akademisi, kaum sipil dan militer, pemuda pun diragukan nasionalismenya. Padahal, pemuda adalah penerus dan penentu nasib bangsa ini. Mengapa? Karena pemuda adalah pionir, pelopor dan pendobrak kemajuan zaman.
Kalau tidak ada nasionalisme dalam jati diri kaum muda, maka hancurlah negara ini. Fakta di lapangan sudah membuktikan, banyak korupsi dan kegagalan negara yang jelas-jelas dilakukan orang yang tak memiliki nasionalisme. Berbagai sendi kehidupan yang sudah religius dibenturkan dengan spirit transnasional yang kontraproduktif dengan kemajuan bangsa Indonesia yang sejak dulu sudah nasionalis dan agamis dengan fondasi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.
Lunturnya Nasionalisme
Banyak kalangan politisi, akademisi, militer, dan aktivis yang mengatakan bahwa negara ini sedang darurat. Ada juga yang mengatakan negara ini “gagal”. Banyak ungkapan buruk yang dihadiahkan kepada bangsa ini. Bahkan, wibawa negara semakin merosot. Warga tidak takut lagi menentang dan mengancam lembaga-lembaga negara dengan senjata hukum. Bunyi pasal demi pasal bergaung di udara setiap hari. Pasal-pasal buatan manusia yang tidak sempurna ini menjelma sebagai ayat-ayat sakral. Ini adalah indikator bahwa nasionalisme pada jiwa manusia Indonesia masih jauh dari harapan bersama.
Lembaga-lembaga negara menjadi sasaran permainan otak-otak cerdas yang culas, sehingga kriminal diubah menjadi pahlawan, bintang-bintang panggung dan televisi diubah menjadi politikus, atau maling pisang dihukum setara dengan koruptor miliaran rupiah milik negara. Inilah zaman emas para pengacara yang kian menjamur di seluruh Indonesia sejak Reformasi.
Laiknya alat kelamin, negara ini bisa dikatakan “impoten”. Bahkan, reformasi yang mengedepankan hukum di atas segalanya dan kebebasan individu di bawah hukum itu telah berkembang tanpa kontrol tegas atas nama wibawa negara. Wibawa negara menjadi lemah karena aparat negara sendiri sering mempermainkan hukum negara. Belum lagi, berbagai lembaga juga sudah dihuni kaum atau kelompok yang melawan nasionalisme.
Sejak Reformasi, berapa banyak aparat negara yang terseret tindak kriminal korupsi, skandal, dan pelanggaran moral, terorisme, dan upaya mengganti sistem negara. Negara dengan pemerintahannya yang taat asas, bersih dari pelanggaran moral, akan menjadi sosok yang punya wibawa sehingga dapat bertindak tegas tanpa takut disalahkan dan sulit menjadi obyek permainan. Mengapa kita sampai tersesat dalam kondisi yang gawat ini? Apakah ini bukti “lunturnya” nasionalisme kita?
Setelah puluhan tahun merdeka, kita belum pernah memiliki struktur negara permanen. Dalam kurun itu, senantiasa terjadi bongkar-pasang negara. Berbagai sistem pemerintahan di segala sektornya tidak memiliki struktur permanen yang mentradisi. Sialnya, setiap kegagalan satu sistem senantiasa diganti dengan sikap kontradiktif.
Kegagalan demokrasi liberal 1950-an segera diganti dengan sistem sebaliknya, yakni demokrasi terpimpin yang membesarkan otoritas tunggal presiden. Kebebasan individu itu buruk sebab menimbulkan berbagai pertentangan primordialisme partai politik dan gerakan-gerakan separatis. Negara terancam perpecahan dan obatnya banting setir ke arah kediktatoran sipil.
Ternyata, bentuk otoriter juga gagal karena rakyat harus antre beras. Gerakan 66 yang dipimpin golongan intelektual, seperti gerakan Reformasi, menginginkan kembali pada liberalisme. Melihat timbulnya gejala kebisingan liberalisme, bandul negara bergerak kembali pada penindasan kebebasan dengan diktator militer yang bersembunyi di balik demokrasi (Pancasila). Akhirnya, tibalah Reformasi sampai saat ini yang prinsipnya mengembalikan bandul kembali ke liberalisme.
Tampak jelas hubungan antara wibawa negara dan kebebasan individu. Ketika pemerintahan otoriter menindas kebebasan, wibawa negara menjadi kukuh, bahkan ditakuti. Ketika kebebasan individu dijalankan, negara menjadi permainan karena kehilangan wibawa. Menyimak dialektika yang amat disederhanakan ini, struktur dan sistem negara yang bagaimana yang cocok untuk bangsa ini? Ketika lembaga negara kuat, kebebasan yang dinginkan. Ketika kebebasan diberikan, selalu ada kecenderungan unsur bangsa yang ingin menguasai Indonesia untuk diperintah secara otoriter dengan kebenaran tunggalnya.
Ketika negara kuat dan berwibawa, rakyat takut dan tertekan. Ketika rakyat diberi kekuatan dengan kebebasan yang diinginkannya, negara menjadi barang mainan. Setiap orang yang mengaku dirinya pakar hukum sekarang ini tidak segan-segan berani mengancam negara dengan dalih kebebasan individunya. Ketika Indonesia ini merdeka, yang terjadi adalah ”mendadak Indonesia”, seperti halnya para artis sekarang ini yang ”mendadak politikus”. Struktur dan sistem negara kolonial yang memerintah Indonesia dalam suasana Pax Nederlandica segera ditinggalkan dan diganti dengan UUD 1945 yang digarap tergesa-gesa kurang dari tiga bulan. UUD 1945 ini belum pernah dilaksanakan konsisten dan konsekuen dan melahirkan dialektika bongkar pasang negara yang tak kunjung mapan ini. Pinjam sana pinjam sini, kutip sana kutip sini. Negara dalam struktur tambal sulam dan kumparan benang yang semakin ruwet.
Puncaknya terjadi sekarang ini. Siapa pun Anda yang tersohor melalui layar televisi akan dikenal rakyat sampai ke pelosok desa. Tidak peduli lagi apakah tersohornya Anda karena bakat Anda menghibur rakyat dengan lawak atau gaya menyanyi Anda, atau Anda terkenal akibat terlibat kasus kriminal yang disorot televisi hampir setiap jam. Sekarang malah ditambah dengan bintang olahraga. Lalu, bagaimana dengan rasa nasionalisme? Apakah hanya sekadar bualan dan bahan untuk ditulis dan didiskusikan?
Meneguhkan Kembali
Semua ini menunjukkan penyakit kaget kita atau ”mendadak merdeka” sejak 1945. Kita masih mengidap penyakit bingung bernegara dan meraba raba dalam gelap. Kita melupakan spirit memiliki, spirit “cinta Tanah Air” dan nasionalisme. Padahal kemerdekaan RI juga merupakan jasa para ulama, kiai, dan pendiri bangsa yang teguh melawan penjajah. Lantas kita mencoba-coba main dadu dengan mengangkat para selebritas (baik atau buruk) menjadi pemimpin negara ini. Jika kita punya tokoh selebritas setingkat almarhum Michael Jackson, barangkali dia calon kuat presiden tahun depan. Bobot kenegarawanan semakin tidak dikenal sekarang ini.
Jabatan negara berubah menjadi semacam ”cari kerja” dengan iming-iming gaji tinggi. Ditambah dengan banjirnya kaum pesohor dalam jabatan negara, kerja mendadak ini mau tidak mau amatiran alias negarawan gadungan. Nasib kita ada di tangan mereka. Kita belum pernah mengenal baik siapa diri kita, Indonesia ini, bangsa ini, rakyat ini, tanah air kepulauan ini. Bagaimana akan memimpin bangsa ini kalau tidak mengenalnya? Hanya mengenal secara meraba-raba? Realitas bangsa yang masih merupakan bayangan kabur para pemimpinnya inilah yang bikin sejarah eksperimen negara kita ini tak kunjung selesai.
Sudah saatnya diteguhkan kembali, bahwa nasionalisme sangatlah penting untuk mengubah kondisi bangsa. Dalam konteks ini, Pramuka harus turut andil di dalamnya dengan melakukan beberapa hal. Pertama, perlu adanya gerakan konsisten menerapkan Pramuka sejak dini di bangku keluarga, maupun pendidikan formal.
Angin segar ini berhembus ketika Kwarnas Pramuka dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang meluncurkan Pramuka Pra Siaga pada peringatan Hari Pramuka, hari ini Rabu 14 Agustus 2019. Target utama Pramuka Prasiaga ini anak-anak di sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK). Ketika kepanduan untuk anak usia dini ini dirasakan sangat penting sebagai upaya membentuk serta penanaman karakter, budi pekerti dan ahlak mulia, serta menamkan semangat nasionalisme generasi hebat anak Indonesia, maka program ini harus dikawal bersama.
Kedua, penguatan karakter nasionalis lewat pembiasaan, pembudayaan, dan keteladanan dalam semua kegiatan Pramuka di sekolah atau madrasah. Ketiga, menjadi nasionalisme menjadi basic need di tubuh Pramuka itu sendiri. Nasionalisme bukan sekadar menjadi bahan tulisan, diskusi, seminar dan sebagainya. Namun, nasionalisme harus ditanamkan sejak dini, dengan cara dan metode apa saja pada diri pemuda. Deretan problem bangsa di atas adalah wujud kegagalan pemimpin, pemerintah dan wakil rakyat yang kering akan jiwa nasionalismenya.
Keempat, untuk Sakoma NU harus dapat menangkap sinyal perubahan era dengan perbaikan sistem perkaderan, sistem pendidikan dan pelatihan sebagai kegiatan pokok dalam membangun nasionalisme. Kelima, sinergi Gerakan Pramuka dengan berbagai elemen termasuk ormas yang komitmen terhadap nasionalisme sejak dulu. Sebut saja NU dan Muhammadiyah.
Keenam, pemerintah harus menggandeng Sakoma NU untuk turut terlibat dalam kegiatan substansial maupun formal yang di sana membutuhkan peran Pramuka NU dalam membangun nasionalisme kaum muda. Ketujuh, perlu program berkala untuk mengaktifkan kembali semua organisasi Pramuka agar tidak formalitas dan insidental belaka.
Kedelapan, simbolisasi Pramuka di semua elemen kehidupan agar menjadi bagian dari penguatan nasionalisme. Kesembilan, mengawal semua kegiatan Pramuka dan mendukung penuh apa yang dilakukan mereka ketika masih dalam “pagar” NKRI dan tidak melawan UUD 1945. Nasionalisme tidak perlu dibumikan lagi, karena hakikatnya ia sudah dekat dengan kita. Di sini, yang perlu dilakukan adalah dengan menguatkannya kembali, baik lewat pembelajaran, pembiasaan/pembudayaan maupun keteladanan.
Jika nasionalisme sudah tertanam pada diri anak-anak, remaja, dan pemuda, Indonesia dipastikan menjadi negara adil makmur, bebas korupsi dan terbebaskan dari perang ideologi transnasional yang ingin mengubah konstitusi negara. Orang yang memiliki jiwa nasionalis, pasti tidak akan mengubah konstitusi negara. Pertanyaannya, mengapa mereka ingin mengubah sistem, dan konstitusi negara? Lah Mbuh!
-Penulis adalah Pengurus Satuan Komunitas Ma’arif (Sakoma) NU Jawa Tengah periode 2018-2023.