Oleh Hamidulloh Ibda
Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) sudah saatnya melakukan akselerasi dari konseptual sampai hal-hal teknis. Mengapa harus melampaui? Selama ini, Ma’arif masih utak-utek masalah internal yang bersiklus, selalu berputar tak pernah rampung. Untuk itu, tahun 2019 ini harus menjadi momentum kebangkitan Ma’arif khususnya di Jawa Tengah dalam melampaui era Revolusi Industri 4.0 yang makin membahana ini.
Kita tahu, NU memiliki LP Ma’arif yang menangani pendidikan dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan LPTNU yang mengurusi perguruan tinggi. Artinya, secara struktural kita sudah lengkap semua peranti organisatorisnya. Namun melihat realitas pendidikan kita hari ini, baik dari kualitas akademik, literasi, dan karakternya, kita masih jauh dari idealitas.
Indikator Kehancuran Bangsa
- Iklan -
Dalam Alquran, ada beberapa terminologi kehancuran. Pertama, jahiliyah yang hancurnya dalam hal akal, intelektual, nalar, cara berpikir. Kedua, fasad, yaitu kehancuran dalam wilayah moral, etika, akhlak, karakter, sopan santun, dan lainnya. Ketiga, zulumat, yaitu kehancuran yang kompleks, di wilayah akal dan moral, bahkan dalam Alquran disebut “era kegelapan”. Jika ini dibiarkan, maka kita tinggal menunggu kehancuran terakhir, yaitu qiamat, baik yang kecil maupun besar.
Sedangkan menurut Thomas Lickona (1991), ada 10 indikator atau tanda tanda dari perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa. Pertama, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Di Ma’arif atau lembaga lain, tentu resah dengan realitas moral bangsa saat ini. Berbagai macam regulasi, model, metode, dan gagasan bernas selalu bermunculan namun moral bangsa masih ironis.
Kedua, ketidakjujuran yang membudaya. Kita tentu paham, dari anak-anak sampai pejabat tinggi, kejujuran saat ini sangat langka. Ketiga, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur pemimpin. Indikator ini juga bagai hamparan pasir yang luas, karena sangat sedikit anak-anak milenial saat ini takzim pada orangtua, guru, dan kiainya. Meski ada, namun jika ditotal sangat sedikit.
Keempat, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan. Faktor pergaulan, kelompok, menggerus remaja bahkan mahasiswa untuk melakukan kekerasan. Tidak hanya kekerasan fisik, namun kekerasan verbal, simbolik, sudah menjamur saat ini. Kelima, meningkatnya kecurigaan dan kebencian. Indikator kelima ini juga tidak jauh dari kehidupan kita sehari-hari.
Keenam, penggunaan bahasa yang memburuk. Banyaknya pengguna media sosial, internet, gawai, menyeret pemuda untuk berkata-kata buruk, kasar, dan tidak mengindahkan etika. Ketujuh, penurunan etos kerja. Generasi saat ini sangat berbeda dengan era zaman dulu. Jika dulu ada istilah generasi flowers (bunga), namun sekarang banyak generasi followers (pengikut, pengekor). Akibatnya, mereka tidak memiliki etos kerja apalagi etos juang yang tinggi karena mereka maunya berpangku tangan, mengekor, bukan menjadi pelopor.
Kedelapan, menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. Kita juga dapat melihat, merebaknya faham, ideologi, dan ormas transnasional, puritan, kaku, lineri, dan tidak nasionalis menggerus rasa cinta pada bangsanya sendiri yang pada akhirnya menjadikan mereka tidak memiliki tanggungjawab pada negaranya.
Kesembilan, meningginya perilaku merusak diri. Kesepuluh, semakin kaburnya pedoman moral. Jika kita teliti dengan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, saya yakin kita mendapat jawaban yang menjadikan kita geleng-geleng kepala. Dus, apa solusinya? Apa peran Ma’arif dalam memutus mata rantai kehancuran di atas? Apalagi, era Revolusi Industri 4.0 sarat akan fenomena disrupsi yang mencerabut sendi-sendi kehidupan, dari urusan budaya, agama, sampai pada teknologi.
Akselerasi Ma’arif
Dalam World Economic Forum (2016), merumuskan tiga pilar kemajuan bangsa, yaitu “literasi, kompetensi, dan karakter”. Bagi saya, tiga pilar ini saja tidak cukup, yang utama justru ada pada ideologi. Untuk itu, jika ditambah ideologi, maka akan menjadi empat pilar. Jika dianalisis sampai ke teknik, maka dapat dijadikan blueprint Ma’arif sebagai alat untuk melakukan akselerasi.
Pertama, penguatan ideologi, yang dalam hal ini tentu kita membutuhkan penguatan Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah. Mulai dari aspek akidah (keyakinan), fikrah (pemikiran), harakah (gerakan), dan amaliyah (tradisi/pengamalan). Ideologi ini harus dikuatkan dan meyakinkan peserta didik, santri, mahasiswa, bahwa mereka benar-benar menjadi generasi mabadi khaira ummah yang memiliki ciri khas tawassut, i’tidal, tawazun, dan tasamuh. Jika ini dapat diterapkan dengan pendekatan struktural dan kultural, maka indikator kehancuran bangsa di atas akan terkikis.
Kedua, penguatan literasi. Kondisi literasi kita saat ini memang ironis. Sangat ironis. Catatan UNESCO pada 2012 menempatkan indeks membaca bangsa Indonesia hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang hanya satu orang yang membaca serius. Data USAID Prioritas juga menunjukkan minimnya budaya baca karena sampai 2017 RI masih di peringkat 60 dari 61 negara yang minat bacanya rendah. Data ini diperbaharui Perpusnas RI (2016), bahwa di antar 1000 orang masih ada 25 yang membaca serius.
Untuk itu, semua lembaga Ma’arif harus menyukseskan Gerakan Literasi Nasional, Gerakan Literasi Sekolah, dan Literasi Keluarga. Selain itu, program Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) yang digagas LPM PWNU Jateng harus menjadi acuan dalam melakukan akselerasi literasi.
Paradigma literasi juga harus disesuaikan zeitgeist (spirit zaman) di era Revolusi Industri 4.0 ini. Artinya, jika dulu hanya bermuara pada kemampuan “literasi lama” yaitu membaca, menulis, dan berhitung, di era Revolusi Industri 4.0 dibutuhkan “literasi baru” yang bermuara pada literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.
Apakah hanya itu? Tentu tidak. Tiga pilar literasi yaitu “membaca, menulis, mengarsipkan” juga harus diterapkan. Mengapa? Karena budaya kita selama ini hanya budaya oral, ngomong, nembang, bukan budaya tulis. Ketika menulis pun, tidak menulis pengetahuan, akademik, sastra, namun lebih pada menulis di media sosial (Facebook, Twitter, Instagram), dan layanan pesan (Blackberry Messengger, Messengger, WhatsApp) dan lainnya.
Ketiga, penguatan kompetensi. Generasi abad 21, harus menerapkan cara berpikir tingkat tinggi, yang dalam gagasan pemerintah dirangkum dalam kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Dalam kompetisi-kompetisi di sekolah/madrasah Ma’arif, harus dikuatkan model evaluasi berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS).
Keempar, penguatan karakter. LP Ma’arif sebagai bagian dari pendidikan formal, maka perlu menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang di dalamnya ada 17 karakter. Hal itu juga diperkuat detail melalui Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal yang bermuara pada empat karakter pokok, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas.
Kelima karakter pokok di atas, ditransformasi ke dalam 17 nilai-nilai atau karakter. Mulai dari religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) ini, dapat dilakukan LP Ma’arif dengan melakukan tugasnya untuk menguatkan karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Mengapa demikian? Sebab, PPK ini memiliki tujuan membangun dan membekali peserta didik sebagai generasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan. PPK juga mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik dengan dukungan pelibatan publik yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia, dan merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK.
Keempat program akselerasi di atas sangat strategis diterapkan semua lembaga pendidikan Ma’arif dari semua jenjang. Artinya, akselerasi bukan sekadar konsep dan bahan diskusi dalam seminar, namun bisa dimulai dengan penguatan guru, manajemen berbasis MBS/MBM, penerapan active learning, penyusunan evaluasi berbasis HOTS, dan penguatan Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) berbasis pembiasaan, pembelajaran, dan keteladanan.
Sudah saatnya LP Ma’arif maju. Sebab, LP Ma’arif merupakan garda depan dalam memajukan pendidikan di negeri ini. Jika tidak LP Ma’arif, lalu siapa lagi?
-Penulis adalah Pimred Majalah Ma’arif LP Ma’arif PWNU Jateng, Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung. Artikel ini sudah dimuat di Majalah Ma’arif edisi 2019.