Temanggung, Maarifnujateng.or.id – Adalah kalimat pertama yang muncul dari Bapak Najib Mubarak, M.Sc sebagai pemateri Seminar Pendidikan “Polemik Pendidikan NU” yang dilaksanakan di Aula Kampus STAINU Temanggung, pada Kamis (07/02/2019). Acara ini dihadiri oleh seluruh mahasiswa Tarbiyah dan beberapa pejabat penting STAINU Temanggung
Kalimat tersebut muncul karena pada kenyataannya, pemahaman pelaku pendidikan sendiri mengalami penyempitan makna dari kata tarbiyah yang saat ini mengalami penyempitan seakan-akan menjadi ta’lim. Jika dibahasakan indonesiakan maka dari pendidik sekan menjadi pengajar, pengajar esensinya menjadi nilai (angka hasil belajar) dan bahkan lebih parah lagi pemaknaannya menjadi absen (dalam kelas) saja. Padahal sejatinya Tarbiyah itu adalah bermakna mendidik, yang memiliki tanggung jawab untuk membentuk manusia sepenuhnya, bukan hanya di sekolah, bukan hanya dalam tataran ilmiah, namun juga dalam segala aspek kehidupan individu itiu sendiri termasuk akhlak, ibadah dan ilmiahnya. Hal ini menjadi pembahasan yang menarik pada pelaksanaan Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh HMJ Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama. Persoalan kita saat ini adalah adanya polemik dalam pendidikan di (lingkungan-red) NU.
“Sebagai praktisi pendidikan, setidaknya menurut saya, NU memiliki tujuh polemik pendidikan,” lanjutnya menerangkan.
Di antaranya adalah, pertama, pendidikan dalam NU berangasur-angsur mengalami kehilangan jati diri”. “NU menjadi mayoritas di negara kita, namun dalam prosesnya, NU mengalami gejala-gejala kehilangan jati diri. Apakah jati diri NU itu? Jati diri NU adalah Pesantren,” kata dia.
- Iklan -
Kedua, lanjut dia, NU harus mampu menjadi pengaman terciptanya iklim pendidikan yang sesuai dengan akar kehidupan dan sesuai dengan tujuan pendidikan. “Pada kenyataannya, ada sebagian masyarakat yang belum siap dengan arus perubahan jaman ini. Ada sebagian yang masih kolot dan eksklusif, namun di sisi lain ada yang sudah Inklusif dan mulai terbuka,” ujar dia.
Ketiga, sekolah dan guru, harus berangkat dari masyarakat. Guna menjaga martabat pendidik dan institusi pendidikan. Pada masa lampau, institusi bermula dari pengakuan masyarakat, dan pembangungannya baik secara sarana dan prasarana dilakukan oleh kekuatan pengakuan masyarakat. “Hal ini bertentangan dengan keadaan yang lumrah pada akhir-akhir ini, yaitu muncul banyak sekali institusi pendidikan (non-formal) yang muncul karena inisiatif sendiri (orang tertentu) yang telah selesai menempuh belajar dari pesantren-pesantren dan merasa mampu menjadi wakil mamsyarakat tempat ia tinggal,” paparnya.
Keempat, sekolah dan guru harus inklusif. Miskin dan keterbatasan bukan alasan untuk mengamputasi hak peserta didik dalam mengenyam pendidikan. “Artinya, sekolah harus benar-benar membuka diri sebagai tempat belajar tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Karena pada kenyataannya banyak sekali wali murid yang memiliki pandangan bahwa sekolah yang mahal, pasti lebih baik dari sekolah yang murah. Dan ketidak mampuan yang membayangi tersebut membatasi kesempatan belajar dari peserta didik,” tandas dia.
Kelima, pendidikan NU mengalami kemandegean karena adanya dikotomi antra ilmu agama an ilmu umum. Padahal sejatinya, kedua bidang ilmu tersebut bisa saling bersinergi untuk membentuk pribadi yang luhur sesuai tujuan pendidikan. “Lagipula, tidak dipungkiri bahwa tingkat keilmuan seseorang tidak menentukan nilai agamis seseorang itu sendiri. Bahkan ilmu umum, terkadang bisa membuat orang lebih agamis daripada ilmu agama itu sendiri,” beber dia.
Keenam, mayoritas dalam kuantitas, minoritas dalam kualitas. “Hal ini merupakan pekerjaan kita bersama sebagai jamaah. Masih terbuka besar peluang untuk memayoritaskan ke-minoritas-an kita, dengan mulai berbenah diri, dan melakukan perbaikan secara berjamaah,” lanjut dia.
Ketujuh, stigma yang berkembang dari latar belakang sejarah bahwa NU itu bermasalah pada sisi kedisiplinan, manajemen dan koordinasi. Padahal sebenarnya, kita sedang melakukan perubahan dan pergerakakn membangun. “Hal ini dibuktikan dengan digencarkannya kegiatan PKPNU yang tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas NU baik secara individu maupun secara jamaah, baik secara kultural maupun struktural,” katanya.
Itulah tujuh poin yang disampaikan oleh pemateri M. Najib Mubarak, M.Sc pada Seminar Pendidikan yang dilakukan siang hari tadi (Kamis, 07/02.2019). Sebagai penutup seminar itu, Najib Mubarak berpesan putus asa dalam sekkolah itu hal yang biasa, tapi jangan pernah putus asa dalalm belajar. (Rennen L.P)