Oleh: Ainiyatul Hasanah
Tidak menulis, bukan karena kehabisan kertas atau pun tinta. Bukan pula kehabisan bahan bacaan yang nantinya akan menumbuhkan imajinasi. Saya menjadi pusing saat diberitahu teman bahwa penyetoran naskah nanti malam, tadi sore. Apa yang harus saya setor satu kalimat saja belum, apalagi naskah?
Sebagai penulis pemula saya selalu menemukan sesuatu yang kurang pas saat akan nulis. Entah itu dari tema, bahasa, kalimat hingga perunutan paragraf. Padahal guru bahasa Indonesia saya sering menyampaikan jangan mengedit tulisan sebelum tuntas. Tapi, lakukanlah pengeditan setelah tuntas. Itulah salah satu teori menulis.
Teori tidak begitu penting saat berada dalam keadaan kepepet, tapi jalan pintas menjadi prioritas, itulah asumsi saya saat itu. Mengambil buku lalu menorehkan tinta di atas buku adalah hal pertama saya lakukan, setelah mendapat kabar tersebut. Saya menuliskan apa saja yang terbesit di benak, tidak peduli lagi dengan kurang pas. Sebab satu-satunya yang ada di pikiran saya adalah selesai dan selesai.
- Iklan -
Saya teringat akan kalimat bijak Einstein saat membaca cerpen di salah satu majalah beberapa waktu lalu. Imajinasi labih berharga dari pada ilmu pengetahuan. Logika akan membawa anda dari A ke B. Sementara imajinasi akan membawa anda kemana-mana. Itulah kalimatnya. Saya membenarkan pernyataan tersebut. Sebab saya mengibaratkan dengan sebuah tema yang menjadi tulisan. Dengan lihai penulis itu mengulas berbagai macam hal tentang sebuah tema dari sudut pandang manapun. Yang awalnya hanya beberapa huruf menjadi ratusan bahkan hingga ribuan huruf. Itulah imajinasi yang membawa anda kemana-kemana.
Tersendat-sendat saat menulis sering saya alami terlebih saat itu. Selain tersendat-sendat juga tidak tahu lagi apa yang harus ditulis untuk meneruskan paragraf sebelumnya. Menyedihkan memang, namun saya tetap berusaha untuk tetap nulis hingga muncul sesuatu yang sekiranya nyambung dibahas dalam tulisan itu.
Selain berusaha mencari ide juga berusaha menghindari teman-teman yang saat itu saya anggap sebagai pengganggu. Memecahkan konsentrasi saja. Ketika akan menuangkan ide melalui tulisan ada teman manggil, ada yang ngajak makan, ada pula yang menanyakan sesuatu bahkan ada yang iseng mengerjai saya. Herannya saat itulah ide-ide bermunculan seakan berebutan untuk segera ditulis. Namun masih saja ada hambatan untuk menulisnya. Jika bukan karena tidak tahu istilahnya pasti tidak tahu bagaimana menuturkannya.
Hal tersebut membuat saya berpikir ingin memiliki ilmu ladunni atau menjadi pesulap. Biar tulisan itu saya sulap selesai tanpa harus melalui berbagai macam proses. Meski sebenarnya saya tahu bahwa dengan proses dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan sehingga menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Saya kira keinginan itu dampak dari keadaan yang kepepet.
Waktu semakin mendekati penyetoran, dua jam lagi. Sedangkan ide-ide itu hanya seperti barang dagangan yang tak laku-laku. Bagaimana menjadi kalimat jika sudah mandeg seakan tidak ada sama sekali kata dan kalimat yang dapat ditulis. Plong. Bingung dan akhirnya saya memilih istirahat sejenak. Namun, rupanya saya terinspirasi untuk melanjutkan kembali tulisan itu saat mendengar cerita dari teman saya.
Teman saya bercerita tentang seseorang yang bodoh hingga menjadi ulama besar, ia adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani. Semula ia adalah seorang santri yang bodoh. Bertahun-tahun ia belajar kepada gurunya tapi tidak kunjung tahu nulis dan membaca, hingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Di tengah perjalanan hujan turun dengan lebat hingga ia harus berteduh ke dalam gua. Rupanya disanan terdapat sebongkah batu besar yang berlubang karena ditetesi air hujan bertahun-tahun. Lalu Ibnu Hajar merenungi hal tersebut, akal dan pikiran manusia tidak sekeras batu, kenapa aku harus kalah dengan batu? Lalu ia memutuskan kembali lagi ke pesantren untuk belajar lagi pada gurunya hingga menjadi ulama’ besar dengan julukan Ibnu Hajar. Sebelum menjadi ulama’ besar tentunya Ibnu Hajar belajar dengan rajin dan tekun, serta tidak mengenal putus asa.
Setelah saya menyelasaikan tulisan itu, saya tertawa. Menertawakan diri sendiri yang mulai dari sebelum matahari hampir terbenam sampai jam 21:25 masih sibuk sendiri. Berkutat dengan buku dan bolpen, berhenti nulis sekadar melepas lelah dan mengacuhkan teman-teman. Bahkan saya merasa lucu saat teman yang diacuhkan malah menjadi inspirasi untuk melanjutkan kembali tulisan saya hingga tuntas.
Kemudian saya berasumsi bahwa manusia akan bisa menyelesaikan sesuatu atau meraih sesuatu yang diinginkan jika ia tekun dan bersungguh-sungguh dalam menggapainya. Tidak peduli rintangan bahkan sesulit apapun ia akan tetap berusaha dan berusaha. Tidak mudah putus asa.
-Penulis adalah guru Madrasah Diniyah Al-Ihsan Dempo Timur Pasean Pamekasan