Oleh Syahril Mu’adz
Semenjak Nadiem Makarim menjadi menteri pendidikan di Indonesia, saya berharap besar kepada beliau. Walaupun juga banyak di antara masyarakat Indonesia yang meragukannya sebagai menteri. Sejak dari dulu seorang pemuda selalu berapi-api dalam bergerak dan melangkah, tentu kita tahu andai saja golongan muda tidak mendesak Ir. Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 mungkin bukan hari kemerdekaan kita.
Merdeka dalam belajar, itulah menjadi misi menteri pendidikan era ini. Namun saya menyadari, merevolusi sistem pendidikan di Indonesia juga tidak semudah membalikan tempe di penggorengan. Faktanya masih banyak guru yang belum paham mengenai misi sang menteri. Banyak juga sekolah-sekolah yang belum siap secara materil dan non-materil.
Saat saya masih duduk di sekolah dasar, saya pernah mengetahui sebuah sekolah swasta di Semarang yang menerapkan sistem pendidikan yang merdeka, di mana seorang guru mengutamakan bakat yang dimiliki oleh peserta didik. Namun sistem pembelajaran seperti itu mustahil didapatkan oleh anak seorang penjual siomai.
- Iklan -
Sangat masuk akal juga, apa yang pernah disampaikan oleh Master Of Magician yaitu Deddy Corbuzier, dalam suatu acara, di mana video tersebut sempat viral di medsos. Dia mengatakan bahwa tidaklah adil untuk seorang murid dituntut untuk memahami semua mata pelajaran, sedangkan sang guru hanya mahir dalam satu bidang mata pelajaran.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan pendidikan yang diterapkan oleh beberpa negara maju yang sistem pendidikannya dianggap terbaik di dunia, seperti Finlandia dan Kanada. Dilihat dari sistemnya, di sana seorang guru dibebaskan untuk meramu kurikulum mereka sendiri. Yang kedua anggaran yang diberikan kepada pemerintah untuk sekolah disana sangatlah tinggi. Negara menuntut kepada warganya agar rajin membaca sejak dini.
Apabila kita analisis maka ada dua pilar, dimana hal itu sangat penting bagi sebuah negara. Yang pertama sistem pendidikan, yang kedua adalah sistem perekonomian. Sistem di Indonesia menurut saya adalah suatu hal yang aneh, dimana kapitalisasi dalam ranah pendidikan sangat marak. Contoh siswa-siswa berprestasi, apakah hal ini murni bimbingan dari sekolah? Menurut saya kebanyakan tidak. Siswa berprestasi sudah ia miliki semenjak dini yang terkadang lingkungan bergaul dan orang tua cenderung membentuk dirinya sebagai seorang yang berprestasi. Sekolah menggunakan siswa tersebut sebagai embel-embel agar banyak murid yang mendaftar di sekolahan tersebut. Namun bagaimana nasib siswa yang lain, pakah mereka tidak berprestasi? Jelas tidak berprestasi karena sekolah tidak menumbuhkan bakat dan minatnya. Padahal apabila sekolah memberi bimbingan dan sarana prasarana untuk murid, yang terjadi akan bayak sekali siswa-siswa berperstasi dan sekolah tidak perlu menjadikan embel-embel agar sekolah tersebut diminati, namun hal tersebut akan secara otomatis menjadikan sekolah tersebut diminati.
Orientasi pendidikan yang sempit menjadikan murid tidak kreatif, imajiner, revolusionis. Di Indonesia siswa dituntut untuk mempelajari segala bidang keilmuan dan pada akhirnya murid hanya menguasai beberapa bidang keilmuan dengan tidak matang, hal tersebut diulang-ulang hingga siswa lulus dari SMA. Yang paling saya benci adalah siswa dibimbing untuk menjadi budak bagi pabrik-pabrik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Jarang sekali sekolah memberikan kepada murid arahan-arahan yang menjadikan mereka sebagai orang yang berjiwa besar. Saya masih ingat saat saya duduk dibangku TK, saya ditanya tentang cita-cita.
Tidak ada satupun siswa yang menjawab keluar dari ranah pekerjaan dan apabila diteliti 1:100 orang di sekolah, terpenuhi cita-citanya. Mengapa kita tidak diberi orientasi tentang kehidupan yang bersahaja, berjiwa besar. Akan tetapi mengapa kita dipersiapkan secara nalar dan mental seorang budak oleh sekolah-sekolah.
Apakah sistem ini yang diharapkan oleh Founding Father kita? Jelas sama sekali tidak. Ki Hajar Dewantara yang menjadi tokoh pendidikan kita memiliki sistem pendidikan yang berbeda jauh dengan apa yang diterapkan hingga saat ini. Sebenarnya sistem milik Ki Hajar Dewantara adalah antitesis dari sistem pendidikan milik Belanda, yang kala itu menindas dan hanya menuntut para siswa untuk mempersiapkan dirinya sebagai pekerja. Mengapa sistem milik Belanda kembali diterapkan lagi? Ini yang masih menjadi pertanyaan besar bagi saya.
Bagaimana perokonomian Indonesia jika pendidikan dibangun dengan sistem merdeka belajar? Seperti yang saya utarakan diatas tentang siswa berprestasi. Apabila pemerintah segera menjalankan sitem pendidikan merdeka belajar, negara memfasilitasi pendidikan secara penuh maka tidak diragukan lagi ekonomi Indonesia akan segera maju, selain Finlandia dan Kanada, China juga termasuk pemilik pendidikan terbaik walaupun dibawah rezim komunis. China berani bersaing dengan dunia barat yang berada di puncak keemasan, apabila kita ingat sabda rasul yaitu “tuntutlah ilmu hingga ke negeri China”.
Sedikit mundur kebelakang di mana kejayaan umat islam pada masa Daulah Abassyiyah hingga keruntuhan Ottoman, banyak sekali para cendekiawan muslim yang menjadi perantara bagi ilmuwan-ilmuwan barat menuju zaman keemasannya sekarang. Biografi seorang cendekiawan muslim dahulu, mengapa selalu memiliki keahlian diberbagai bidang. Mereka tidak hanya filsuf namun mereka juga ahli matematik, ahli perbintangan, ahli sosial, ahli sejarah, ahli bahasa, ahli kedokteran dan tentunya ahli agama.
Maka dari itu LP Ma’arif yang seharusnya menjadi kiblat bagi pendidikan yang ada di Indonesia. NU menjadi ahli waris yang sah dalam bidang keilmuan ala pesantren, maka seharusnya LP Ma’arif yang menjadi ujung tombak pendidikan bagi bangsa Indonesia. Jangan malah kita terbawa arus kapitalisasi dan globalisasi. Kita seharusnya menciptakan dunia kita sendiri, hal itulah yang diterapkan barat saat ini. Maka menjadi tugas besar bagi Lembaga Pendidikan Ma’arif membenahi pendidikan yang ada di Indonesia.
-Penulis adalah Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam IAIN Salatiga.