Oleh : Mohammad Iqbal Shukri
Sekitar sepuluh bulan pandemi covid 19 menimpa negeri ini. Sebuah kejutan tak terduga pada awal 2020 lalu, yang memaksa kita untuk menjalankan kehidupan dengan terbatas hingga hari ini. Segala bidang terkena dampaknya, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pendidikan.
Segala yang sudah terencana dipaksa untuk direncanakan ulang. Khususnya di bidang pendidikan, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi salah satu alternatif yang digunakan untuk menghadapi pandemi. Meski begitu, terjadi plus minus dalam pelaksanaan PJJ. Mulai dari beban yang bertambah bagi orangtua untuk lebih intens mendampingi anak belajar dari rumah. Keterbatasan alat teknologi pembelajaran (baca : HP) dan jaringan internet yang belum merata di pelosok desa Indonesia.
Pemerintah tidak diam, sedikit permasalahan-permasalahan tersebut diatasi. Dengan memberikan bantuan demi bantuan untuk pendidikan. Harapannya tidak lain adalah supaya PJJ berjalan dengan baik.
- Iklan -
Meski begitu, terkadang segala upaya yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan. Tapi begitulah adanya, tidak mudah memang untuk menyelesaikan problem demi problem dari negeri yang sangat luas seperti Indonesia ini.
Kemajuan pendidikan tidak hanya ada ditangan pemerintah, namun membutuhkan dukungan dari berbagai elemen. Guru, orangtua, dan lingkungan kiranya juga memiliki peran penting untuk menentukan arah ke mana pendidikan negeri ini akan berkembang.
Kita masih membutuhkan guru
Pola pembelajaran jarak jauh, membuat guru menjadi kurang intensif dalam mendidik dan mengajar muridnya. Ia tak bisa maksimal dalam mengontrol perkembangan pengetahuan dan perilaku muridnya. Ini adalah salah satu di antara dampak dari PJJ yang tidak bisa dihindarkan. Kita melihat, serasa ada yang hilang peran guru dalam pendidikan, meskipun secara formal peran itu tetap ada dan dijalankan. Yaitu pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh guru terhadap murid, dengan bantuan teknologi.
Memang jika menilik zaman digital seperti sekarang, teknologi menawarkan kecanggihan dan kemudahan. Tapi bukan hanya itu yang dibutuhkan pendidikan di negeri ini. Teknologi hanya fasilitas untuk menunjang pembelajaran. Seseorang bisa cerdas dengan adanya kemudahan akses pengetahuan dari teknologi. Namun untuk menjadikan seorang murid menjadi berakhlak atau beradab, peran dari seorang guru tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Guru dalam pengertian bahasa jawa merupakan sebuah akronim dari “digugu lan ditiru”. Artinya guru bisa dipercaya dan ditiru pribadinya. Guru dipercaya bisa memberikan pengetahuan (ilmu) untuk murid, serta menjadi pengingat agar tidak terjerumus ke hal-hal yang buruk, dan penunjuk ke arah hal-hal yang baik (akhlak/adab).
Kita bisa membaca dan menulis tidak lain atas peran guru kita. Kita bisa menghormati yang lebih tua, mengasihi sesama, menyayangi yang umurnya lebih muda dari kita juga dari guru.
Saya masih teringat saat di pesantren dulu, betapa adab atau akhlak itu selalu diajarkan oleh guru. Bahkan mencari ilmu ada akhlaknya, misalnya sikap menghormati guru, merawat buku atau kitab, itu semua dilakukan supaya ilmu bisa masuk ke dalam diri pelajar dengan mudah.
Jadi saya memaknainya, bahwa adab atau akhlak ini tidak lain adalah dasar atau jalan kemudahan dalam mencari ilmu. Sesudah mendapatkan ilmu, adab ini juga tetap berlaku. Sebab pada hakikatnya adab ini memang di atas ilmu. Idealnya, semakin berilmu seseorang maka ia akan semakin beradab. Namun untuk mencapai kata ideal, nampaknya cukup sulit untuk diterapkan. Lihatlah, berapa orang yang terjerat kasus korupsi di tahun 2020 kemarin. Tidak lain mereka adalah orang-orang yang berilmu. Hal itu menjadi gambaran bahwa, orang yang berilmu belum tentu beradab. Terlepas dari itu, saya masih meyakini bahwa di Indonesia ini, masih banyak orang yang berilmu juga beradab.
Ada seseorang yang beradab tapi minim ilmu, tapi ada juga orang yang berilmu tapi minim adab. Tapi bukankah kita sebagai insan yang beriman akan lebih memilih menjadi orang yang beradab juga berilmu?
Menjadikan seseorang beradab adalah Pekerjaan Rumah bersama bagi negeri ini. Pemerintah, guru, orangtua dan lingkungan kiranya bisa bersinergi untuk mendukung pendidikan yang menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah pada peserta didik.
Harapannya adalah negeri ini akan memiliki generasi-generasi penerus yang berilmu juga beradab. Mereka adalah insan yang akan membawa ke arah kemajuan peradaban negeri ini.
Adab dan ilmu mana yang didahulukan?
Suatu waktu guru saya menceritakan kisah santri. Ada seorang santri, dalam kurun waktu satu tahun, ia sudah mondok di tiga pondok pesantren yang berbeda-beda. Saat di pondok pesantren pertama, sang santri hanya disuruh memijit sang kiai, selama tiga bulan. Setelah itu, santri disuruh pulang, karena kata sang kiai periode menimba ilmu sang santri di pondok tersebut sudah selesai. Santri itu, pulang. Kemudian ia kembali mondok di pondok pesantren yang ke dua. Selama tiga bulan, santri itu hanya disuruh untuk memasak untuk sang kiai. Setelah tiga bulan, ia di suruh pulang. Terus melanjutkan ke pondok pesantren yang ketiga.
Selanjutnya, sesudah ia selesai menamatkan belajarnya di tiga pondok berbeda tersebut, santri tersebut lantas merantau ke luar kota untuk bekerja. Sebab anggapannya, ia mondok tidak dapat apa-apa, karena hanya disuruh kiai untuk memijit, memasak dll.
Namun kisah itu berlanjut saat, santri tersebut sowan ke kiai salah satu pondok pesantrennya dulu, setelah beberapa tahun bekerja di perantauan. Ia dengan pakaian seadanya, sowan ke kiai. Lantas tidak lama kemudian, sang santri tersebut disuruh untuk menggantikannya untuk mengajar para santri. Ia diberikan kitab oleh sang kiai, santri itu menerimanya. Namun santri itu masih bingung, karena ia merasa tidak mampu, sebab ia berpikiran bahwa saat mondok dulu, waktunya hanya masak untuk kiai.
Meski begitu, santri itu tidak bisa menolaknya, dan duduk di depan para santri untuk mengajarkan kitab yang ada ditangannya. Tak disangka, santri tersebut bisa mengajar dengan lancar dan baik. Setelah usai mengajar, para santri yang diajarnya tersebut, mendatanginya dan mencium tangannya.
Kisah tersebut mengajarkan pada kita pentingnya adab. Dan dengan adab, seorang santri tersebut mendapat ridha dari sang kiai. Hingga kemudian, ia mendapatkan ilmu dan kecerdasan. Di mana proses-proses tersebut terkadang sulit untuk dilogika oleh manusia pada umumnya.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis berpesan bahwa menjadi orang berilmu itu penting dan baik, namun akan lebih sempurna lagi jika menjadi orang yang berilmu juga beradab.
Jangan sampai negeri ini kaya akan orang-orang berilmu, namun miskin orang beradab.
-Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora, beberapa tulisannya telah dimuat di beberapa media mainstream.